Kisah Para Pemuda Tionghoa Gugur Demi Republik Indonesia

Merdeka.com - Kehidupan mapan tidak menjadikan dua pemuda Tionghoa itu melupakan kewajiban mereka membela negara. Itu dilakukan bahkan sampai titik darah penghabisan.
Penulis: Hendi Jo
Andaikan anda memiliki kesempatan berkunjung ke Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga di Kampung Rawagede, Karawang, maka carilah nisan yang bertulisan nama Tongwan. Mengacu kepada cerita orang-orang tua di sana, Tong Wan adalah anak muda kelahiran Karawang pada 1928 yang dikenal sangat fanatik terhadap Republik.
-
Apa prestasi yang dimiliki kedua prajurit TNI? Keduanya diketahui memiliki kemampuan mumpuni di bidang olahraga. Di antaranya yakni lari, terjun atletik, hingga sukses mengikuti ajang triatlon di berbagai kesempatan.
-
Bagaimana prajurit menunjukan dedikasi kepada tanah air? 'Aku selalu paham benar perjuangan dari perwira. Sebagai patriot bangsa, ia akan memberikan segala yang terbaik termasuk juga menyerahkan nyawanya untuk Indonesia. Bukan lagi soal materi, kekuasaan, dan hal memukau lainnya. Sosoknya selalu tahu siapa saja yang harus segera ditendang untuk berjuang demi sebuah bangsa, tanah air, negara, dan keluarga.'
-
Siapa yang harus menjaga semangat Sumpah Pemuda? Sebagai generasi penerus bangsa, warga Indonesia memiliki tanggung jawab untuk meneruskan semangat Sumpah Pemuda dalam membangun Indonesia yang lebih baik.
-
Siapa yang punya peran dalam menjaga Sumpah Pemuda? Di tengah tantangan global dan dinamika sosial yang terus berubah, Hari Sumpah Pemuda menjadi panggilan bagi pemuda Indonesia untuk terus memperkuat jati diri dan berperan aktif dalam pembangunan bangsa.
-
Bagaimana cara prajurit TNI menunjukkan tanggung jawab mereka? Jadi image-image yang negatif tentang daerah kita mari kita buktikan dengan hal yang positif yang bisa kita lakukan selama kita selama kita berada di daerah perantauan ini. Tunjukkan kita bisa menjadi anak rantau yang bertanggung jawab,' imbuh Edward.
-
Siapa yang mengorbankan anak-anak? Sebagai pusat kekuasaan utama di Mesoamerika pra-Hispanik, Chichén Itzá terkenal dengan tradisi berdarahnya, penduduk masa ini juga mengorbankan kerabat termasuk saudara kandung khususnya laki-laki.
Menurut Telan (95) dan Kastal (96), sejak 1946 Tongwan telah banyak keluar masuk organisasi perlawanan melawan Belanda. Mulai laskar Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) dan Hizbullah, sebelum akhirnya direkrut oleh TRI (Tentara Republik Indonesia).
Pemuda Tong Wan lahir dan besar di kalangan keluarga Tionghoa kaya. Ayahnya adalah salah seorang pedagang kelontong paling sukses di Rawagede. Orang-orang menyebutnya sebagai Babah Engkim, pemasok kebutuhan sehari-hari para juragan beras dan kaum Indo Eropa.
Berbeda dengan bapaknya yang memilih untuk 'tutup mata' terhadap arus revolusi yang tengah mengalir deras saat itu, Tongwan memutuskan untuk memihak republik setegas-tegasnya. Artinya dia berlaku bukan sebagai mata-mata atau simpatisan semata, tapi langsung turun menjadi bidak revolusi di palagan-palagan sekitar Karawang. Telan mengenang Tongwan sebagai pemuda periang dan supel. Kepada siapapun dia selalu berusaha bersikap ramah.
"Berbeda dengan orang-orang China umumnya, dia bergaul dengan masyarakat," kata Telan, rekan Tong Wan di Hizbullah.
Pekik Merdeka Saat Tertembak
Desember 1947, dinihari militer Belanda menyerbu Rawagede. Kastal masih ingat bagaimana Tongwan yang bertubuh agak pendek namun kekar itu, keluar Markas TRI dengan tergopoh-gopoh.
Sembari mengokang karaben Jepangnya, dia berteriak kepada orang-orang kampung untuk secepatnya menyelamatkan diri masing-masing. Pada saat itulah, sebutir peluru menembus dadanya.
"Saya dengar, dia masih teriak 'merdeka'," kenang Kastal.
Tongwan tersungkur di pinggir sungai dengan lumuran darah memenuhi seluruh tubuhnya. Beberapa serdadu Belanda menendangnya sebelum melepaskan lagi tembakan penghabisan ke tubuh malang itu. Tongwan mengerejat sejenak, nyawanya lantas terbang meninggalkan raganya yang terkapar kaku.
Jasad Tong Wan sekarang dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga Rawagede. Nisan sederhana yang tertulis namanya, menjadi saksi bisu bahwa gerakan pembebasan bukan soal etnis, agama atau warna kulit melainkan keyakinan akan kemerdekaan yang diinginkan setiap manusia di mana pun berada.
Dua Serangkai di Solo
Hampir sezaman dengan Tong Wan, di Solo tersebutlah seorang anak muda Tionghoa lain bernama Sie King Lin. Pada 1949, remaja kelahiran tahun 1933 itu tercatat sebagai anggota Tentara Pelajar Subwehrkreise 106 Arjuna.
Bersama rekannya bernama Soehadi, King Lin yang akrab dipanggil Ferry, dikenal kawan-kawannya sebagai dua serangkai yang pandai membuat pamflet dan coretan propaganda melawan pendudukan tentara Belanda.
"Salah satu karya mereka yang dikenal masyarakat Solo saat itu adalah sebaris coretan yang tertera di suatu tembok, berbunyi “eens komt de dag dat Republik Indonesia zal herrijzen” yang artinya: pada suatu hari Republik Indonesia akan muncul kembali," ungkap Iwan Santosa Ong, penulis buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara sampai Indonesia.
Suatu malam pada 14 Juli 1949, King Lin bersama Soehadi kembali melakukan aksinya. Tak dinyana, saat mereka memasang pamflet di satu tembok kota, kepergok suaseregu patroli militer Belanda yang dilengkapi sebuah panser. Terjadilah pertempuran yang tak seimbang yang pada akhirnya menyebabkan kedua remaja patriotik itu gugur tertembak peluru senapan mesin tentara Belanda.
Jasad Soehadi dan King Lin yang merupakan keponakan pengusaha pabrik gelas di Kertodipuran belakangan dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Bahagia, Jurug, Solo. Pemakaman kembali dilakukan secara militer dalam suasana yang khidmat dan penuh keharuan karena menghadirkan keluarga dan kawan-kawan seperjuangannya.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Peristiwa berdarah di Tebing Tinggi, merupakan perjuangan para pemuda melawan penjajah pasca kemerdekaan Indonesia.
Baca Selengkapnya
Berikut kesaksian pilu anggota KKO TNI AL saat berjuang di operasi Dwikora hingga nyaris meregang nyawa. Simak informasinya.
Baca Selengkapnya
Pelajar SMP Madiun tak gentar melawan penjajah. Di tengah kesulitan yang dihadapi, mereka tetap berjuang
Baca Selengkapnya
Kumpulan kata-kata sumpah pemuda yang bisa membakar semangat nasionalisme para pemuda.
Baca Selengkapnya