Profil
Icuk Sugiarto
Icuk Sugiarto adalah legenda juara dunia bulu tangkis tahun 1983, yang juga merupakan tunggal putra bulu tangkis Indonesia bersama Liem Swie King, Lius Pongoh, Hastomo Arbi, Kartono, dll, di era 1980-an. Ia dikenal sebagai pemain yang menguasai teknik-teknik tajam yang selalu digunakannya pada setiap pertandingannya dahulu. Bahkan hingga kini, ia masih belum kehilangan kepiawaiannya dalam bemain bulu tangkis. Hal ini dibuktikan dengan keaktifannya melatih anak didiknya di klub PB Pelita Bakrie.
Putra ke tiga dari tujuh bersaudara dari pasangan Harjo Sudarmo dan Ciptaningsih (alm.) ini sudah menunjukkan bakatnya dalam bermain bulu tangkis semenjak usia 12 tahun. Setelah menyelesaikan pendidikan SMP di Solo, Icuk diboyong ke Jakarta untuk mendapat pelatihan bulu tangkis yang lebih maksimal.
Pada tahun 1983 Icuk menikah dengan Hj. Nina Yaroh, seorang atlet bulu tangkis putri nasional dari Medan, dan pada tahun 1984 pasangan tersebut dianugrahi anak pertama mereka, Natassia Octaviani Sugiarto, dan menyusul Tommy Sugiarto dan si bungsu Jauza Fadhilla Sugiarto pada tahun 1988 dan 1999. Kehidupan keluarga Icuk tidak jauh dari dunia bulu tangkis. Karena selain Tommy Sugiarto yang telah mengikuti jejaknya untuk menjadi pemain bulu tangkis profesional, Hj. Nina Yaroh, sang istri, saat ini juga menjabat sebagai Ketua Kepengurusan cabang PBSI daerah Jakarta Barat.
Icuk sudah tertarik pada bulu tangkis sejak berusia 12 tahun. Sang ayah yang merupakan seorang pensiunan Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta dari bagian Karawitan, selalu mendukung apa yang menjadi tujuan hidup Icuk, yaitu menjadi atlet bulutangkis. Pada tahun 1974 Icuk pun dimasukkan ke dalam klub bulu tangkis pertamanya, yaitu Klub Taruna, kemudian pindah ke klub Abadi Sekolah Atlet Ragunan. Pelatih Suratman adalah orang yang pertama kali mempengaruhi gaya bermain Icuk.
Pada tahun 1979, M. Ridwan S, yang pada saat itu menjabat sebagai pelatih sekaligus pencari bibit atlet muda dari Bimantara Tangkas, menggandeng Icuk dan memasukkannya ke sekolah atlet Ragunan di Jakarta Selatan. Tak lama di sana, Icuk ditarik ke Pelatihan Nasional (Pelatnas) dibawah bimbingan pelatih Tahir Djide. Icuk pun berhasil meraih juara I Kompetisi Bulutangkis Pelajar Se-Asia di tahun yang sama, saat usianya 17 tahun. Setahun selepas saat itu, Icuk berhasil meraih juara I Kejuaraan Nasional di Nomor Ganda Putra bersama Sigit Pamungkas.
Perjuangan Icuk mencapai puncaknya pada tahun 1983. Dia berhasil menjadi Juara Dunia di Kejuaraan Dunia Di Coppenhagen, Denmark. Sejak saat itu prestasi Icuk semakin meningkat. Dalam kurun waktu antara tahun 1983-1989, Icuk menyabet sekitar 32 gelar kejuaraan.
Pada tahun 1989, Icuk memutuskan untuk pensiun. Meskipun demikian, ia tidak lepas begitu saja dari dunia bulu tangkis. Icuk memulai karier sebagai pelatih klub PB Paelita Bakrie. Kecintaannya terhadap bulu tangkis Indonesia dibuktikan dengan menolak tawaran menjadi pelatih di luar negeri, seperti di Perancis dan Malaysia. Keaktifannya dalam organisasi bulu tangkis membawanya hingga kepengurusan PBSI.
Tahun 2004, ia melepaskan posisi di PBSI setelah diangkat menjadi Staff Khusus Menteri Negara Pemuda dan Olahraga untuk periode 2004-2009. Saat ini ia tercatat sebagai pelatih di PB Pelita Bakrie. Kerja kerasnya telah membuahkan hasil dengan mencetak atlet-atlet muda handal, seperti Candra Wijaya, Nova Widianto, Markis Kido, Vita Marissa, Toni Gunawan, dll.