Profil
Jahja Daniel Dharma
Jahja Daniel Dharma Laksamana Muda TNI (Purnawirawan) Jahja Daniel Dharma atau yang lebih dikenal sebagai John Lie adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tionghoa yang telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia.
John Lie lahir dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio pada tanggal 9 Maret 1911 di Manado, Sulawesi Utara. Leluhur John diketahui berasal dari daerah Fuzhou dan Xiamen, China yang pada abad ke 18 berlayar sampai ke tanah Minahasa. Walaupun John dilahirkan dari keluarga yang beragama Budha namun John sendiri dikenal sebagai penganut Kristen yang taat. Perkenalannya dengan agama Kristen terjadi saat dia bersekolah di Christelijke Lagere School, Manado.
Pada usia 17 tahun, John meninggalkan tanah kelahirannya menuju Batavia dan kemudian menjadi buruh di pelabuhan Tanjung Priok. Dia bekerja sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM lalu tak berapa lama kemudian dia bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima di Angkatan Laut RI. Semula John diperintahkan untuk bertugas di Cilacap dengan pangkat Kapten. Di pelabuhan ini selama beberapa bulan dia menorehkan prestasi dengan berhasil membersihkan semua ranjau yang ditanam Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya ini, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor. Dia lalu ditugaskan untuk mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia yang diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis.
Di awal tahun 1947, John pernah bertugas mengawal kapal yang membawa 800 ton karet untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan. Sejak itu, dia secara rutin melakukan operasi menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain yang telah berhasil dibawa ke Singapura dibarter dengan senjata yang nantinya akan diserahkan kepada pejabat Republik Indonesia di Sumatera sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan. Untuk keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat yang dia namakan the Outlaw. Bersama kapal ini, John selalu berhasil menembus barikade Belanda yang peralatan tempurnya jauh lebih hebat dari pada milik Angkatan Laut Indonesia. Berkali-kali dia juga berhasil mengelabui Belanda. Berulang kali John selamat dari kejaran kapal-kapal musuh.
Pada awal 1950 ketika berada di Bangkok, John dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut dia aktif dalam penumpasan RMS (Republik Maluku Selatan) di Maluku. John mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember 1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda. John meninggal dunia karena stroke pada 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas segala jasa dan pengabdiannya, pada 10 Nopember 1995 John dianugerahi Bintang Mahaputera Utama yakni Bintang Mahaputera Adipradana oleh Presiden Soeharto dan pada 9 November 2009 John dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahroh