Kini Sukses di Tanah Rantau, Begini Kisah Transmigran Asal Kebumen yang Tinggal di Sulbar
Hidup di lokasi transmigrasi memang berat, tapi Pak Tumiran membuktikan bahwa ia bisa hidup sejahtera asal mau bekerja keras
Hidup di lokasi transmigrasi memang berat, tapi Pak Tumiran membuktikan bahwa ia bisa hidup sejahtera asal mau bekerja keras
Pak Tumiran merupakan pria asal Kebumen yang bertransmigrasi ke Provinsi Sulawesi Barat. Ia melakukan transmigrasi pada tahun 2017. Kini segala jerih payah yang ia lakukan di tanah rantau telah banyak membuahkan hasil.
Saat pertama kali ikut program transmigrasi tahun 2017, Pak Tumiran diberi fasilitas berupa rumah seluas 6x6 meter dan dua lahan usaha yang masing-masing seluas 1 hektare.
Rumah yang didapatkan Pak Tumiran memiliki satu ruang tamu, dua kamar tidur, dan satu kamar mandi.
Saat pertama kali sampai di sana, lahan usaha seluas satu hektare yang didapatkan ia tanami jeruk, cokelat, alpukat, dan durian.
“Sekarang hasilnya paling tidak sudah bisa membantu kebutuhan di rumah,” kata Pak Tumiran dikutip dari kanal YouTube Disnaker Kabupaten Kebumen.
Di lahan transmigrasi itu Pak Tumiran sudah punya delapan ekor sapi ternak. Dia juga sudah punya satu unit motor untuk transportasi sehari-hari.
“Para transmigrant di sana ada yang sukses, ada juga yang nggak. Karena kemampuan masing-masing peserta kan beda. Ada yang semangat, ada yang agak kendor. Tapi rata-rata berhasil,” kata Pak Tumiran.
Pak Tumiran pulang ke Kebumen dua tahun sekali. Di tanah rantau, ia juga sudah punya satu rumah baru. Rumah baru itu letaknya bersebelahan dengan rumahnya yang lama.
“Saya beli rumah baru, saya bongkar rumah lama, terus dua rumah itu saya jadikan satu,” kata Pak Tumiran.
Dari dua hektare lahan awal saat datang ke lokasi transmigrasi, kini Pak Tumiran juga sudah punya lahan total seluas 12 hektare.
“Saya kadang beli lahan satunya orang lokal, lahan duanya orang lokal. Waktu di sana saya beli masih murah, sekitar Rp2 juta, 3 juta per hektare,” kata Pak Tumiran.
Pak Tumiran berharap makin banyak teman-temannya yang ingin ikut program transmigrasi. Apalagi menurutnya masih banyak lahan di sana yang bisa digarap.
Selain itu, Pak Tumiran juga berharap pengadaan senso (alat gergaji mesin) dari pemerintah. Apalagi penggunaannya penting untuk membuka lahan sebelum ditanam.
“Selama ini mereka kalau mau pakai senso harus sewa. Per harinya Rp100 ribu. Padahal kalau mau buka lahan satu hektar butuh waktu 4-5 hari. Itu belum bahan bakarnya dan ongkos operatornya,” kata Pak Tumiran.
Puluhan lahan pertanian transmigrasi di Kalimantan Utara terendam banjir akibat pasang air laut.
Baca SelengkapnyaCerita petani berhasil panen padi hingga 1 ton di lahan transmigrasi yang ia garap.
Baca SelengkapnyaWalaupun keluarganya sudah membujuknya untuk tinggal bersama mereka, namun Mbah Subeno tetap memilih tinggal menyendiri di sana.
Baca SelengkapnyaAkibat banjir, masyarakat beraktivitas menggunakan paruh karena akses jalan tidak bisa dilalui.
Baca SelengkapnyaMbah Sakinem ialah imigran Jawa yang kini tinggal di Suriname. Ia disebut menjadi saksi hidup satu-satunya perjalanan para imgiran Jawa ke Suriname.
Baca SelengkapnyaMayoritas warga di sana merupakan petani yang menggarap lahan tadah hujan. Kalau musim kemarau lahan itu dibiarkan kosong.
Baca SelengkapnyaBangunan semi permanen ini berukuran sedang, terkesan seperti minimalis.
Baca SelengkapnyaSaat musim hujan tiba, kampung itu benar-benar terisolir karena jalan ke sana terhalang aliran air sungai yang deras
Baca SelengkapnyaSemakin ke sini kehidupan mereka semakin terancam. Diduga ada kaitannya dengan usaha ekspansi sumber daya alam.
Baca Selengkapnya