Sambut Ramadan dengan "Perang Air", Ini Makna di Balik Tradisi Gebyuran Bustaman di Semarang
Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1743 dan diwariskan secara turun-temurun.

Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1743

Sambut Ramadan dengan "Perang Air", Ini Makna di Balik Tradisi Gebyuran Bustaman di Semarang

Setiap menjelang Bulan Ramadan, warga di Kampung Bustaman, Kota Semarang, mengadakan sebuah tradisi “perang air” yang dinamakan Gebyuran Bustaman.
Dilansir dari kanal YouTube Semarang Pemkot, Gebyuran Bustaman merupakan sebuah tradisi sambut Ramadan yang diwariskan secara turun-temurun.
“Gebyuran” di sini merupakan simbol untuk mensucikan diri sebelum datang Bulan Ramadan. Dengan kata lain, tradisi ini sama halnya dengan tradisi padusan yang lazim dilakukan oleh kebanyakan masyarakat di beberapa daerah di Jawa Tengah dan DIY sehari menjelang puasa.
Dalam tradisi ini, warga Kampung Bustaman, dari orang dewasa sampai dengan anak-anak saling melempar air menggunakan berbagai alat mulai dari ember, selang, plastik, hingga gelas plastik.

Sebelum perang air itu dimulai, acara didahului dengan pembacaan doa yang dipimpin oleh sesepuh. Selanjutnya ritual dilanjutkan dengan pengisian air warna-warni ke dalam sebuah plastik. Setelah itu barulah acara saling melempar air dimulai.


Dalam sejarahnya, tradisi ini bermula dari kebiasaan Kiai Kertoboso Busman, sesepuh Kampung Bustaman, yang sering memandikan cucunya setiap menjelang Bulan Ramadan.
Tradisi ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1743 silam. Lalu baru pada tahun 2013 masyarakat setempat bersama dengan salah satu komunitas seni di Semarang menghidupkan kembali tradisi tersebut yang kemudian menjadi acara rutin tahunan hingga sekarang.
Kini, tradisi Gebyuran Bustaman sudah menjadi salah satu daya tarik dan ikon Kota Semarang. Bahkan tak hanya diikuti warga Kampung Bustaman saja, namun juga warga dari daerah lain dan sekitarnya.

Dilansir dari Merdeka.com, tradisi ini biasanya dimulai setelah aalat asar sampai menjelang magrib.
Sebelum "perang air" dimulai, biasanya warga sengaja mengotori tubuh dan mencoret-coret wajah sebagai simbol angkara murka. Setelah berdoa, warga saling melempar air hingga basah kuyup.