Awas, setiap pilihan punya risiko
Merdeka.com - Pekan ini masyarakat Indonesia di manapun berada, yang tidak golput, telah mengambil keputusan penting, menentukan pilihan yang diyakini bisa memberikan angin baik bagi Indonesia ke depan. Apakah Anda sekadar memilih atau serius melakukan pertimbangan masak, harus disadari bahwa setiap pilihan mengandung risiko.
Paling tidak, kalau yang Anda pilih amanah maka akan menjadi bagian proses perbaikan bangsa. Sebaliknya, kalau tidak amanah, maka siap-siap kecewa. Karena tak sesuai dengan yang diharapkan.
Tidak hanya di pemilu. Dalam dunia usaha bisnis yang berkaitan dengan jasa maupun produk, maka selalu ada karya produk yang sifatnya temuan baru dan ada yang sekadar meniru. Yang temuan baru, kita sebuat sebagai pioner bisnis. Yang sifatnya menyontek kita sebut saja sebagai follower bisnis (copycat).
-
Kenapa penting untuk berani mengambil risiko? Berani mengambil risiko adalah kunci menuju kesuksesan.
-
Kenapa pemimpin harus berani ambil risiko? Keberanian adalah hal yang paling penting bagi seorang pemimpin.
-
Siapa yang lebih berani mengambil risiko bisnis? Menarik untuk dicatat, terdapat peningkatan yang signifikan pada individu berusia 50 tahun ke atas yang memilih untuk menjadi freelancer.
-
Siapa yang terinspirasi untuk membuka usaha? Usaha ini bermula dari suami Qori yang memiliki ketertarikan dalam dunia kuliner.
-
Bagaimana meminimalisir risiko di awal membangun bisnis? Dia berpesan, dalam video tersebut, memulai bisnis dari hal yang kecil membantu untuk meminimalisir risiko dan bisa lebih fleksibel untuk melakukan trial and error.
-
Apa yang harus dipertimbangkan saat memulai bisnis? Dia juga berpesan agar memperhatikan ketersediaan dana, setidaknya bisa mencakupi Pengeluaran tetap seperti gaji, sewa dan lain-lain.
Menjadi pioner bisnis, memang gagah. Tapi harus disadari, bahwa untuk menjadi seperti itu, ada banyak risiko atau efek yang akan ditemui: menjadi benchmark, keluar biaya riset, biaya pengamanan produk (paten), harga jadi mahal (premium), potensi gagal besar (risk taker), berpeluang sukses (glory).
Menjadi benchmark atau percontohan bagi pihak lain. Karena menjadi pioner, Anda dalam membuat model bisnis, formula dan lain-lain tidak bisa mencontoh orang lain. Justru apa-pun yang Anda lakukan jadi patokan orang. Ini memang menarik, tapi tuntutannya adalah Anda tidak bisa berhenti dalam satu temuan. Semua pihak yang mengikuti Anda akan menunggu apa yang baru. Artinya, Anda mesti selalu membuat riset-riset regular yang memberikan sesuatu yang baru.
Dengan banyak melakukan riset, tentu saja bukan barang gratis. Tindakan riset selalu berbiaya. Karena dengan riset, selalu berusaha mengumpulkan data, menganalisa, dan memberikan kesimpulan yang sesuai dengan produk Anda. Entah itu sekadar asesoris atau yang sifatnya enhancement. Bila risetnya menghasilkan sesuatu yang significant, bisa membuat varian produk yang kuat dan baru. Perusahaan-perusahaan besar biasanya sadar dengan melakukan riset sebagai upaya agar tidak mati ketika produk eksisting sudah kehabisan masa ekonomisnya (economic lifecycle).
Setelah membuat riset, tentu Anda akan berusaha mati-matian untuk menjaga agar temuan hasil riset tersebut tetap dalam kekuasaan dan tidak diketahui oleh orang lain. Temuan berupa resep, ramuan, atau formula produk bisnis, adalah sesuatu yang sangat bernilai. Untuk itu, sah saja bila Anda mesti memproteksinya, misalnya dengan mempatenkan produk. Ini tidak gratis. Namun dengan memiliki pengaman berupa paten, Anda bisa membuat kelas dari produk tersebut di atas tara barang lain.
Karena produk sudah memiliki paten, sah bila Anda menjualnya dengan harga premium. Bila produk itu berhasil menyedot perhatian konsumen (momentum disruptive), maka dengan mudah mengendalikan atau mempengaruhi pasar. Menjadi pemimpin pasar bukan hal yang sulit bila syarat-syarat di atas bisa dicapai. Konsumen tidak keberatan dengan harga premium yang ditawarkan bila produknya memang menggoda dan lain dari yang lain.
Menjadi pioner dengan harus melakukan riset, tentu tidak selalu langsung jadi. Kalaupun sudah jadi, belum tentu diterima pasar. Artinya potensi kegagalan juga besar. Kalau meniru model Google, maka jika gagal maka akan mencaplok perusahaan lain yang punya produk sesuai dambaan yang sukses. Begitu pula yang dilakukan Facebook. Kalau meniru model risetnya Apple, maka dokumentasi riset yang gagal di pasar disimpan lalu dilakukan riset-riset lanjutan. Sampai akhirnya environtment dan ekosistem penunjang sudah memungkinkan, maka akan dimunculkan lagi. Contohnya MacBook Air itu dulunya adalah PowerBook Duo yang gagal. Setelah Apple menemukan sistem SSD (solid state disc) maka MacBook Air jalan dengan baik dan laku bak kacang goreng.
Sebagai pioner, mentalnya juga harus disiapkan bila produknya sukses. Apa itu? Anda jangan sampai kehabisan stok. Sebab, begitu terjadi permintaan tinggi sementara stok terbatas, akan menimbulkan kekecewaan pelanggan. Kalau sekadar kecewa, tidak masalah. Namun kalau ternyata ketika kecewa itu ada produk perusahaan lain yang dengan cepat meniru atau memenuhi kebutuhan orang-orang yang kecewa itu, maka kegagalan besar bagi seorang pioner. Apalagi kalau rival Anda itu bisa memenuhi tak hanya jumlah stok tapi juga kualitas dan kemasan yang sesuai, harga yang memadahi, bisa-bisa kepioniran bisnis Anda tak bermakna.
Lantas, bagaimana bila menjadi follower. Dalam konteks bisnis, menjadi follower tidak ada salahnya. Sah-sah saja. Bahkan, dari sisi margin, belum tentu pengusaha peniru itu untungnya kecil. Karena tidak banyak keluar biaya riset, tidak perlu beli hak paten, potensi kegagalannya relatif kecil, mudah mendapatkan bisnis model dan berbagai contoh benchmark, maka biaya yang dikeluarkan akan kecil. Maka, margin yang didapat akan besar.
Untuk orang-orang pengusaha yang berpikir simple, maka melakukan copy paste (copycat), adalah tidak masalah. Margin di depan mata dan bisnis cepat jalan (running business). Namun apakah bisnis copycat tidak berisiko? Tentu saja. Selamanya, bisnis Anda dituding sebagai tukang contek saja atawa cuma bisa foto copy. Bukan pemilik ip (intellectual property) karena hanya meniru.
Dalam setiap keputusan calon konsumen, produk Anda akan menjadi pilihan kedua. Sebagai pilihan kedua, yang bisa didapat tentu saja harga yang ditawarkan bukan premium. Kalaupun mau menjadikan produk premium, maka itu hanya terjadi bila Anda memberikan bungkus (packaging) yang menarik. Termasuk dalam hal branding, tidak akan banyak yang bisa diklaim oleh pemain bisnis follower.
Sebagai follower Anda harus siap bahwa mindset orang ketika ditanya (top of mind), bukan menyebut produk milik Anda. Misalnya dalam hal teh kemasan, orang tetap menyebut yang asli itu Teh Botol, begitu juga air minum kemasan sebagian besar menyebut Aqua. Beberapa nama produk pioner yang sudah identik menjadi nama barang, antara lain Sanyo (pompa air), Indomie (mie instan), Kanebo (lap sintetis), Infocus (projector), Stabilo (spidol penanda transparan), Levis (celana jean), Chiki (snack ringan), dan lain-lain.
Tidak ada yang salah dalam bisnis. Masing-masing sah untuk melakukan pilihan. Setiap pilihan selalu ada risikonya. Seorang inventor atau pioner tentu memiliki pride atau kebangaan tersendiri bila sukses. Di balik suksesnya ada upaya yang berat sehingga sah bila mendapat tempat di hati konsumen dan menguasai pasar.
Namun seorang copycatter tetap bisa meraih sukses karena kadang menjanjikan margin yang besar tanpa harus repot-repot riset dan sebagainya. Tinggal tergantung Anda, mau menjadi pioner atau penyontek belaka!
*) Penulis adalah penggerak konten lokal KlikIndonesia, Sekjen APJII, dan COO Kapanlagi & merdeka.com
(mdk/tts)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kata-kata bijak memulai sesuatu itu sulit dapat menjadi motivasi Anda untuk mengawali berbagai hal.
Baca SelengkapnyaUntuk memulai bisnis, dibutuhkan berbagai strategi agar bisnis tetap maju.
Baca Selengkapnya