Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Mimpi rekonsiliasi mantan Gerwani

Mimpi rekonsiliasi mantan Gerwani Soemini mantan anggota Gerwani. ©2017 Merdeka.com/Nuryandi

Merdeka.com - Ponsel Soemini terus berdering. Suara berasal dari saku kanan bawah pakaiannya. Siang itu dia memakai kemeja batik hijau. Tangan kanannya segera merogoh, mengambil ponsel lawas asal Jepang warna hitam. Terlihat notifikasi satu pesan singkat dari seseorang. Pesan dibuka. Isinya mengingatkan Soemini untuk menonton televisi malam nanti.

Dahi Soemini agak mengernyit ketika membaca isi pesan. Sambil merapikan kaca mata, satu per satu kata dibaca hingga tuntas. Dalam pesan itu, temannya meminta agar dia menyaksikan program televisi dipandu Karni Ilyas, seorang jurnalis senior dan pemimpin redaksi TvOne. Acara Selasa pekan lalu itu mengambil tema besar soal Partai Komunis Indonesia (PKI).

Perempuan 71 tahun itu lalu tersenyum. Pesan singkat hanya dibaca, tak dibalas. Tak lama pesan singkat masuk. Teman lainnya memberitahu hal serupa. Tanggapannya santai, tapi tetap membuatnya penasaran untuk menontonnya nanti malam. Sebab, banyak tokoh hadir. Mulai dari keluarga jenderal pahlawan revolusi, anak ketua PKI hingga purnawirawan antikomunis.

"Ini teman-teman kasih tahu buat nonton televisi, bahas soal PKI," ujar Soemini ketika merdeka.com berkunjung ke kediamannya di Pati, Jawa Tengah.

Sudah setiap tahun memasuki September, Soemini harus pasang kuping tebal-tebal. Terpaksa pula menahan sakit hati. Pembahasan mengenai PKI selalu membuka luka masa mudanya. Ingatan itu membekas. Bagaimana dia menerima siksaan hingga dilecehkan. Ditahan tanpa pernah disidang. Cap komunis juga terus membekas sampai sekarang.

Soemini remaja bukan sosok biasa. Usianya kala itu masih 18 tahun. Dia sudah terpilih menjadi Ketua ranting Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) Desa Ngerandu, Pati. Sebuah organisasi besar dan terafiliasi dengan PKI. Ditunjuk sebagai ketua juga karena alasan sederhana. Soemini lulusan SMA dan bisa membaca.

Sejak duduk di bangku sekolah, Soemini dikenal aktif dalam organisasi Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Semua terinspirasi kakak pertamanya, Kartoyadio. Tanpa paksaan. Saat itu kakaknya aktif sebagai anggota Buruh Tani Indonesia (BTI), organisasi disebut milik PKI. Mereka sering membahas mengenai kehidupan miskin para petani. Banyak referensi. Dari baca buku, koran dan melihat kenyataan. Hingga akhirnya Soemini gabung sebagai Gerwani.

Menjabat ketua ranting Gerwani menjadi kesempatan mengembangkan diri. Bukan hanya membahas kehidupan petani, Soemini juga suka seni. Dia gabung Lekra. Belajar nyanyi dan tari hingga bermain sandiwara. Semua didapat ketika gabung dengan kelompok seni disebut pula bagian dari PKI.

Soemini memperagakan tari dan nyanyian Anjang Sono kepada kami. Gerakan kedua tangannya masih luwes. Bergerak ke kanan dan kiri. Suaranya masih lantang. Meski kakinya sudah mulai kaku. Sulit menekuk. Sakit. Tetapi tertutup raut wajahnya. Terlihat ceria di depan kami. Ingatannya kuat. Hafal tiap gerakan tarian lagu tersebut.

Anjang Sono, kata dia, merupakan lagu tentang bertamu. Maksud isi lagu tersebut menceritakan soal silaturahmi warga untuk membahas soal isu terkini. Pada zaman itu, biasanya warga berkumpul dan membahas terkait hasil tani menurun. Selanjutnya mencari solusi bersama.

"Tiap lagu waktu itu memang menggambarkan kejadian sebenarnya," ujar Soemini teringat masa lalunya.

Masa muda Soemini terbilang gemilang. Ikut berorganisasi membuatnya aktif berkegiatan. Bahkan mendukung program Presiden Soekarno untuk memberantas buta huruf. Kelas belajar digelar. Soemini berkeliling tiap desa di Pati. Mengajar membaca. Banyak peserta merupakan orang tua. Cara diterapkannya saat itu lumayan. Jiwa seni dimilikinya sangat membantu. Membuat nyanyian agar gampang masuk ingatan.

Sebagai Gerwani, Soemini haus belajar. Tidak mau cepat-cepat dinikahkan. Nasibnya tak mau seperti kakak perempuannya. Dipaksa menikah ketika masih berusia sangat belia. "Masih kelas II SR (sekolah rakyat) jadi pengantin."

Dia terus menolak. Lebih memilih melanjutkan jenjang pendidikan. Koran Harian Rakyat saat itu membuat pengumuman pembukaan tes sebagai mahasiswa Institut Pertanian dan Gerakan Tani (IPGT). Kampus itu milik yayasan PKI, berlokasi di Bogor, Jawa Barat. Tes masuk diikuti. Soemini lolos. Keinginannya ingin membuat petani sejahtera semakin terang.

Meminta izin kepada orang tua, pertengahan Juli 1965 dia hijrah. Menuju ke Bogor. Meninggalkan kampung halaman. Perkuliahan masih dalam tahap perkenalan. Tak ada perploncoan. Soemini generasi ke-2 di kampus tersebut. Banyak teman baru dikenalnya. Dari pelbagai daerah.

Hingga memasuki awal Oktober 1965. Suasana kampus mulai mencekam. Dikepung banyak orang. Pemicunya karena peristiwa penyerangan 30 September 1965. PKI dituduh sebagai dalang pembunuhan enam jenderal dan satu perwira. Suasana mencekam. Soemini dan mahasiswa lainnya ketakutan. Kampus ditimpuk batu dari luar. Selang beberapa hari, kampus mereka kembali diserang. Kini lebih parah. Semua barang dijarah. Mesin tik, meja dan peralatan milik kampus lainnya ludes. Kampus mereka dituduh sarang PKI.

Rektor IPGT langsung mengumpulkan para mahasiswa. Menjelaskan tengah ada konflik internal militer angkatan darat. Semua mahasiswa dipulangkan sementara hingga konflik reda. Soemini dengan berat hati harus kembali ke Pati.

Tanggal 8 Oktober 1965, dia tiba di kampung halamannya. Suasana dirasa berbeda. Papan dan bendera PKI tak ada. Mulai merasa aneh. Soemini lantas masuk ke dalam rumah. Memberi salam dan mencari kedua orang tua. Baru sebentar di dalam, tiba-tiba rumahnya di kepung. Tentara hingga ormas menyeretnya. Jumlahnya banyak. Kedua tangannya dipegang agar tak berontak. Ayah Soemini melihat langsung kejadian itu.

Dalam keadaan dikepung, Soemini dituduh terlibat insiden Lubang Buaya, Jakarta. Dianggap mencungkil mata para jenderal pahlawan revolusi. Hingga menari tarian erotis Harum Bunga. "Saya masuk rumah di geruduk pemuda. Dituduh, ini yang nyiletin penis jenderal, yang bunuh jenderal," ungkapnya.

Soemini dipaksa masuk dalam truk. Ditendang seperti bukan orang. Ayahnya syok melihat putri bungsunya disiksa, dihajar bogem mentah. Kondisinya langsung drop. Dua hari kemudian ayah Soemini meninggal dunia. Diduga tak kuat melihat anaknya mengalami penyiksaan.

Sudah dua hari Soemini ditahan di Polres Pati. Di sana dia juga mengalami banyak siksa. Hingga kabar duka akhirnya tiba. Dia diberi tahu ayahnya meninggal dunia. Perasaannya hancur. Segera dia meminta izin untuk pulang dari tahanan. Guna mengurus kematian sang ayah. Izin didapat. Namun Soemini tetap dijaga ketat.

Kepala kepolisian Polres Pati memberi Soemini izin dua hari. Dari tahanan, dia dikawal menuju rumah. Semua gerak-gerik Soemini dalam pengawasan. Tetapi dia cuek. Merasa tak masalah. Malah dia merasa bak pejabat memiliki pengawal.

"Saya makan diawasi, tidur diawasi, aku enggak peduli. Ya merasa seperti orang besar. Tetapi tetangga saja pada heran," kata Soemini sambil tertawa mengingat kejadian itu.

Waktu Soemini habis. Ayahnya telah dimakamkan. Dia dipanggil lagi untuk kembali ke tahanan. Raut wajahnya kembali gelisah. Menunggu kembali disiksa.

Teringat kejadian pahit itu Soemini masih sedih. Dadanya mendadak berat. Terutama ketika tahu bajunya telah berganti. Pikirannya sudah buruk. Sebab, selama disiksa Soemini sudah tak sadar. Kondisinya pingsan. Luka pukulan dari benda tumpul dan tajam banyak di wajah dan tubuhnya.

Total selama 6,5 tahun Soemini ditahan tanpa diadili. Enam bulan pertama di Polres Pati. Selanjutnya dipindah ke Bulu, Semarang, Jawa Tengah. Selama ditahan sebenarnya banyak sisi positif dia dapat. Bertemu dengan para tahanan senasib dengannya, dia melihat kuatnya solidaritas. Bukan hanya itu. Di tahanan dia juga belajar menjahit.

gerwani bertemu anak jenderal

Bulan Maret 1971, Soemini akhirnya dibebaskan bersama lima tahanan lain dari Semarang. Dibawa memakai mobil jip. Dalam perjalanan, iring-iringan kendaraan pembawa tahanan sempat beristirahat di Kudus. Semua tahanan turun. Di sana bukan hanya tahanan dari Semarang. Dia juga bertemu dengan tahanan penjara lain. Di sana dia bertemu dengan Slamet Iswandi dan para tahanan Nusa Kambangan, Jawa Tengah.

Keduanya lalu berkenalan. Bertukar cerita. Dari situ dia tahu, bahwa Slamet berasal dari Pati. Ceritanya juga pedih. Slamet dituduh PKI. Lantaran mempunyai istri cantik. Ketika itu seorang tentara suka dengan istri Slamet dan berkeinginan merebut. Cara paling ampuh menuduh Slamet sebagai antek PKI. Strategi sang tentara berhasil. Slamet ditahan. Istrinya lantas dinikahi tentara.

Pertemuan Soemini dan Slamet di Kudus, terus berlanjut. Selama dua tahun mereka kenal. Hingga akhirnya memutuskan menikah. Namun perjalanan cinta mereka tak mudah. Soemini dan Slamet sempat dituduh melakukan rapat gelap. Ini dikarenakan ada seorang polisi ingin menjadikan Soemini sebagai istri nomor dua.

Soemini menolak. Akhirnya dia kembali dipanggil lagi ke Polres Pati. Di sana dia diinterogasi. Dituduh melakukan rapat gelap. "Ya aku merasa aneh, bilang ke komandannya: Bapak kan pernah muda, masa rapat cuma dua orang. Itu rapat apa rapet?" cerita Soemini terkekeh mengenang kejadian itu.

Pernikahannya dengan Slamet, mendapat tiga anak laki-laki. Anak pertama bernama Agung Peristiwanto, lahir setahun setelah mereka menikah. Lalu Dwi Susanto Nugroho pada tahun 1977. Dan anak terakhirnya Heru Trisekwanto, lahir empat tahun kemudian. Sang suami kini telah tiada. Meninggal pada tahun 2010 lalu.

Setelah lepas dari tahanan, kehidupan Soemini tak berarti lekas pulih. Dia masih menderita. Beruntung ibunya masih memiliki sedikit perhiasan emas. Ini lantas diberikan kepada Soemini. Pemberian itu dijual dan buat dijadikan modal. Dia lalu membelikan mesin jahit. Keahlian menjahit didapat selama di penjara diharap mampu mengembalikan hidupnya. Sebab, setelah bebas dia tak bisa mencari kerja. Cap eks tapol di kartu tanda penduduknya (KTP) menjadi halangan.

Hidup dari menjahit juga bukan tanpa rintangan. Lingkungannya sempat mencibir. Banyak tuduhan buruk kepadanya. Masih disebut tempat jahit Gerwani. Tetapi itu tak buat Soemini patah arang. Perlahan usahanya tumbuh. Hingga sudah menikah dengan suaminya, dia mulai melebarkan sayap.

Bertahun-tahun menjahit dan menjual pakaian, keuntungan itu lalu dibelikan tanah. Tak puas, perlahan mulai membangun rumah. Ukurannya cukup besar. Di kelilingi pepohonan. Sejuk. Di halaman depan, Soemini senang menanam tanaman obat keluarga. Pelbagai macam. Sedangkan di bagian belakang terdapat kebun. Juga diisi banyak pepohonan besar.

Pundi-pundi dari hasil dagang habis. Semua dialokasikan buat membangun rumah. Beruntung tiga anaknya masih bisa bersekolah. Soemini lalu mencoba meminjam uang. Dia butuh Rp 100.000 buat modal. Dia ingin berjualan makanan. Tetapi sulit. Meski akhirnya dapat sampai menggadai akta rumah miliknya. Lagi-lagi, Soemini mendapat cibiran serupa ketika menjual makanan. Hingga difitnah memakai minyak babi.

"Itu masakan Gerwani, pakai minyak babi," ucap dia menirukan cibiran di lingkungannya.

Sudah 52 tahun, sejak Soemini ditahan tahun 1965. Kehidupannya perlahan berubah. Tetapi stigma negatif masih saja melekat. Hidup dengan status eks Gerwani membuat kenyamanannya terganggu. Selalu diawasi tentara dan polisi hingga kini.

Mimpinya sederhana. Dia ingin bertemu dengan keluarga jenderal pahlawan revolusi. Menjalin rekonsiliasi. Melebur sebagai sesama korban. Sekaligus menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah terlibat dalam pembunuhan. Apalagi ikut menyilet penis dan mencungkil mata. Tetapi cap itu terus membekas. Tuduhan itu hanya membuat Soemini menarik napas dalam-dalam. Menahan sabar.

"Semoga bisa bertemu. Dan menjadi perdamaian," ucap Soemini berharap bisa bertatap muka dengan keluarga Pahlawan Revolusi. Apalagi kini usianya sudah senja. Perasaannya ingin lega menjalani masa tua.

(mdk/ang)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Kenang 28 Tahun Peristiwa Kudatuli, Hasto Singgung Suasana Seperti Orde Baru Jilid 2
Kenang 28 Tahun Peristiwa Kudatuli, Hasto Singgung Suasana Seperti Orde Baru Jilid 2

Dalam mengenang peristiwa kudatuli yang dahulu mungkin ideologi Megawati dianggap sebelah mata oleh orde baru.

Baca Selengkapnya
Sosok Soekitman, Polisi Saksi Sejarah Kelam Penculikan Jenderal TNI saat G30S 1965
Sosok Soekitman, Polisi Saksi Sejarah Kelam Penculikan Jenderal TNI saat G30S 1965

Indonesia tengah memperingati peristiwa kelam Gerakan 30 September oleh PKI.

Baca Selengkapnya
Kondisi Terkini Pegi Setiawan, Setiap Malam Nangis karena Tertekan Dikabarkan Dipindah ke Nusakambangan
Kondisi Terkini Pegi Setiawan, Setiap Malam Nangis karena Tertekan Dikabarkan Dipindah ke Nusakambangan

Kondisi itu dikarenakan Pegi mendengar kabar jika dirinya akan dipindah ke Nusakambangan.

Baca Selengkapnya
Usai Konferensi Pers Kasus Kematian Vina Cirebon, Pegi Setiawan Meronta-ronta Sampai Angkat Tangan
Usai Konferensi Pers Kasus Kematian Vina Cirebon, Pegi Setiawan Meronta-ronta Sampai Angkat Tangan

Polda Jawa Barat akhirnya menghadirkan Pegi Setiawan (PS) alias Perong terkait kasus kematian Vina Cirebon di konferensi pers, Minggu (26/5).

Baca Selengkapnya
Said Abdullah Cerita Awal Mula Bertemu Megawati
Said Abdullah Cerita Awal Mula Bertemu Megawati

Menjadi elit PDIP dan langganan sebagai Anggota DPR RI tidak diperoleh dengan mudah begitu saja oleh MH Said Abdullah.

Baca Selengkapnya
Disambut Hangat, Intip Potret Kehidupan Oki Setiana Dewi di Mesir yang Menempuh Pendidikan Kembali
Disambut Hangat, Intip Potret Kehidupan Oki Setiana Dewi di Mesir yang Menempuh Pendidikan Kembali

Seperti apa potret-potret Oki Setiana Dewi yang kini tinggal di Mesir?

Baca Selengkapnya