Salat berjemaah di husainiyah

Merdeka.com - Syiah kembali menjadi sorotan setelah komunitas mereka di Kabupaten Sampang, Madura, menjadi korban pengusiran. Rumah, masjid, dan harta benda mereka dirusak dan dibakar. Pengadilan negeri Sampang memvonis pemimpin mereka, Tajul Muluk, dua tahun penjara. Syiah sekali lagi dicap aliran sesat.

Untuk mengetahui seperti apa ajaran dan kegiatan Syiah, termasuk selama Ramadan, Muhammad Taufik dari merdeka.com selama seharian, Rabu pekan lalu, mereportase komunitas Syiah saban hari berkumpul di lembaga kebudayaan Iran, Islamic Cultural Center (ICC) di Pejaten, Jakarta Selatan. Berikut laporannya:

Dari jauh pagar bercat putih kehijauan setinggi dua meter itu seperti ikat pinggang bagi bangunan berlantai lima milik lembaga kebudayaan Iran, Islamic Cultural Center (ICC). Sudah satu dekade lamanya gedung itu berdiri di bilangan Pejaten Barat, Jakarta Selatan, hanya berjarak beberapa meter dari kantor koran Republika. Ketika pagi itu gerbang dibuka kira-kira selebar satu meter, petugas jaga bernama Jumadi masih mengantuk di pos saat merdeka.com masuk ke sana, Rabu pekan lalu.

Pagi itu matahari belum tinggi. Suasana di dalam komplek kebudayaan Syiah itu juga belum ramai, tapi sekali-sekali ada orang keluar masuk. Hanya dua orang terlihat sibuk bekerja, memoles cat gedung berfungsi sebagai kantor lembaga, perpustakaan, pusat pendidikan bahasa, dan aula bisa menjadi tempat salat berjemaah disebut husainiyah.

Baru menjelang zuhur, satu per satu pengurus mulai masuk lalu memarkir sepeda motor. Beberapa lagi sibuk menyapu lantai dan mondar-mandir menenteng bungkusan buku. "Dari pagi gerbangnya sudah buka, siapa saja boleh masuk. Tapi kalau kantor baru buka jam sembilan, tunggu saja ustadnya pasti datang," kata Chari Khasman, petugas kebersihan ICC.

Hingga saat itu, Direktur Pendidikan ICC Ustad Abdullah Beik belum datang. Padahal biasanya dia tiba pukul 10.00 WIB. Jumadi dan Chari Khasman juga mengaku belum melihat mobil sang ustad. Staf pemasaran di toko buku ICC, Odong, memastikan Abdullah Beik pasti tiba. "Tunggu di musala saja," ucap Chari yang sudah lima tahun bekerja di ICC.

Sambil menunggu kedatangan Ustad, merdeka.com menyambangi perpustakaan ICC di pojok gedung. Di sana ada sepuluh ribu lebih judul buku, kebanyakan karya ulama Syiah. Menurut Inna Amalia, kepala perpustakaan, rata-rata sehari 20 orang berkunjung ke sana. "Ini perpustakaan umum. Jumlah koleksi buku tepatnya saya lupa, sepuluh ribu lebih. Apalagi saban bulan koleksi buku juga ditambah terus," tuturnya.

Kira-kira sejam di perpustakaan, akhirnya tiba waktu zuhur. "Kalau mau salat, boleh ikut berjemaah di aula. Tapi kalau mau salat sendiri, di musala juga bisa," kata Syifa, staf perpustakaan.

Selain sebagai tempat salat tamu, musala juga berfungsi sebagai tempat tunggu. Para pegawai dan staf kantor sebanyak 30 orang bersama jemaah Syiah lain memilih salat berjemaah di aula atau disebut husainiyah; tempat pelbagai kegiatan, mulai salat berjamaan, mengaji, hingga berdoa. Di sela zuhur itulah Ustad Abdullah Beik tiba. Kami akhirnya berbincang-bincang usai salat jemaah.

Menurut Abdullah Beik, ada 300 yayasan Syiah tersebar di seluruh Indonesia. Mereka tidak membangun masjid di komplek yayasan karena di sana terlalu banyak kegiatan. Syiah meyakini masjid itu harus suci, tidak boleh ada najis sedikitpun, perempuan haid juga tak boleh masuk.

Kemudian muncul majelis duka buat Husain, cucu Nabi Muhammad. Majelis itu diberi nama husainiyah. Di mana saja yayasan Syiah berada, husainiyah selalu ada. Tempat itu kemudian menjadi tempat serba guna, termasuk buat salat berjemaah tiga waktu: subuh, zuhur dan asar digabung, begitu pula dengan magrib serta isya.

Sebab itu, husainiyah dibangun senyaman mungkin sehingga orang betah di sana. "Dengan begitu perempuan juga bisa bebas beraktivitas meski haid," ujar Abdullah. Lalu bagaimana dengan masjid? "Orang-orang Syiah di luar bisa berbaur di mana saja." (mdk/fas)