Profil
Marthen Indey
Marthen Indey dilahirkan di Doromena, Jayapura pada tanggal 16 Maret 1912. Sebelumnya, pria yang akrab disapa Marthen ini merupakan polisi Belanda yang kemudian berbalik mendukung Indonesia setelah bertemu dengan beberapa tahanan politik yang diasingkan di Digul, salah satunya adalah Sugoro Atmoprasojo. Saat itu, ia bertugas untuk menjaga para tahanan politik yang secara tidak langsung berhasil menumbuhkan jiwa nasionalismenya dalam pertempuran melawan penjajah.
Jiwa nasionalisme Marthen memang tumbuh sangat kuat, namun beberapa upaya yang direncanakan olehnya dan puluhan anak buahnya dalam menangkap aparat pemerintah Belanda berulang kali gagal. Perjuangan Marthen dalam membela tanah kelahirannya sempat gagal beberapa kali, namun hal itu tidak menyurutkan niat dan semangat juang pria lulusan Sekolah Polisi di Sukabumi, Jawa Barat ini menyerah dan tunduk pada musuh begitu saja.
Pada tahun 1944, sekembalinya dari pengungsian di Australia selama tiga tahun, Marthen ditunjuk sekutu untuk melatih anggota Batalyon Papua yang nantinya akan difungsikan sebagai tentara pelawan Jepang. Setahun berikutnya, ia diangkat sebagai Kepala Distrik Arso Yamai dan Waris selama dua tahun. Dalam tahun-tahun tersebut Marthen tak hanya tinggal diam, namun ia melakukan kontak terhadap mantan para pejuang Indonesia yang pernah ditahan di Digul. Dalam kontak tersebut, mereka merencanakan suatu pemberontakan untuk mengusir Belanda dari tanah Cendrawasih. Namun, usaha mereka gagal begitu Belanda mencium gelagat Marthen dan rencana mereka batal diekskusi.
Di tahun ia merangkap menjadi Kepala Distrik Arso Yamai dan Waris, tepatnya pada tahun 1946, Marthen bergabung dengan sebuah organisasi politik bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang kemudian dikenal dengan sebutan Partai Indonesia Merdeka (PIM). Saat menjabat sebagai ketua, Marthen dan beberapa kepala suku yang ada di Papua menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan Belanda yang berencana memisahkan wilayah Irian Barat dari wilayah kesatuan Indonesia. Mengetahui pihaknya membelot, Belanda menangkap Marthen dan membuinya selama tiga tahun di hulu Digul karena pasukan Belanda merasa dikhianati oleh aksinya tersebut.
Belum berhasil merebut Irian Barat untuk disatukan kembali dengan wilayah kesatuan Indonesia, pada tahun 1962 Marthen bergerilya untuk menyelamatkan anggota RPKAD yang didaratkan di Papua selama masa Tri Komando Rakyat (Trikora). Di tahun yang sama, Marthen menyampaikan Piagam Kota Baru yang berisi mengenai keinginan kuat penduduk Papua untuk tetap setia pada wilayah kesatuan Indonesia. Berkat piagam tersebut, Marthen dikirim ke New York untuk melakukan perundingan dengan utusan Belanda tentang pengembalian Irian Barat yang selama ini berada di bawah pemerintahan sementara PBB ke dalam wilayah kesatuan Indonesia.
Akhirnya, dalam perundingan tersebut, Irian Barat resmi bergabung dengan wilayah kesatuan Indonesia dan berganti nama menjadi Irian Jaya. Berkat jasanya, Marthen diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) sejak tahun 1963 hingga 1968. Tak hanya itu, ia juga diangkat sebagai kontrolir diperbantukan pada Residen Jayapura dan berpangkat Mayor Tituler selama dua puluh tahun.
Marthen meninggal pada usia 74 tahun tepatnya pada tanggal 17 Juli 1986. Berkat jasanya terhadap negara, Marthen mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 14 September 1993.
Riset dan analisa oleh Atiqoh Hasan.