Profil
Mer-C
MER-c (Medical Emergency Rescue Committee) merupakan organisasi sosial kemanusiaan yang memberi pelayanan medis untuk korban perang, kekerasan akibat konflik, kerusuhan, dan bencana alam yang terjadi di dalam maupun di luar negeri. Organisasi ini pertama kali dibentuk pada tanggal 14 Agustus 1999 di Jakarta. Pada awalnya organisasi ini dibentuk oleh mahasiswa dari Universitas Indonesia yang mengambil inisiatif untuk melakukan bantuan medis bagi korban konflik di Maluku yang terjadi pada bulan Agustus 1999.
Dalam perjalanan organisasi kemanusiaan ini, MER-C selalu memberikan bantuan terhadap korban-korban konflik. Salah satu usaha MER-C terlihat saat terjadi gemba bumi berkekuatan 7,3 Skala Richter (SR) yang terjadi di Jawa Barat pada September 2009. MER-C mengirimkan tim medis untuk melayani korban-korban serta memberikan obat-obatan. Selain itu MER-C juga ikut menangani bencana banjir yang sempat terjadi di Wasior, Papua.
Tak hanya peduli dengan korban dalam negeri saja, dengan sifat sifat amanah, profesional, netral, mandiri, sukarela dan mobilitas tinggi, MER-C juga ikut andil dalam kegiatan kemanusiaan di luar negeri. Salah satunya yakni ikut serta dalam kegiatan sosial di negara konflik seperti Palestina. Pada tahun 2010, setidaknya lebih dari 5 relawan MER-C berhasil menembus daerah perbatasan Gaza. Para relawan MER-C ini kemudian mempunyai rencana untuk membangun Rumah Sakit Indonesia di daerah tersebut. Pada tahun 2013 ini Rumah Sakit ini resmi dioperasikan. Dengan bermodalkan dana sumbangan bagi Palestina sebesar 5 miliar dan beberapa dana lain dengan total produksi hingga mencapai 30 miliar, Rumah Sakit Indonesia yang terletak di Bayt Lahiya, Gaza Utara telah rampung dikerjakan. Pengerjaan proyek ini sendiri telah hampir berjalan 2 tahunan. Rumah Sakit itu sendiri berukuran 60 x 60 meter yang merupakan tanah wakaf dari Pemerintah Palestina dengan bentuk bangunan segi delapan dan mempunyai basement. Rumah Sakit ini sendiri menjadi tempat untuk pemulihan trauma dan rehabilitasi bagi warga Gaza yang menjadi korban konflik bersenjata Palestina-Israel. Fasilitas itu dapat menampung sedikitnya 100 pasien.
Riset dan analisa oleh Tryning Rahayu Setya W.