Profil
Mohamad Sobary
Mohammad Sobary, akrab disapa Kang Sobary, lahir di Bantul, Yogyakarta, 7 Agustus 1952. Mantan Pemimpin Umum Kantor Berita Antara ini adalah seorang budayawan yang kerap kali menuangkan gagasan-kritikan mengenai pola kehidupan dan isu-isu hangat bangsa melalui tulisan-tulisannya. Tak hanya melalui tulisan, Kang Sobary juga biasa mengkritik "ideologi" bangsa yang menurutnya "nyeleneh".
Pernah ia "berseloroh" bahwa Bupati-bupati Indonesia adalah Bupati yang bodoh. Ia mengungkapkan dalam kritikannya bahwa seringkali calon bupati memberikan janji-janji palsu yang dikemas apik dalam kata-kata manis. Sebagai contoh pembangunan ekonomi yang banyak dijanjikan oleh para calon bupati demi kesejahteraan, padahal nyatanya kesejahteraan yang dijanjikan adalah kesejahteraan bagi mereka kaum pembesar. Mereka yang miskin akan semakin tercekik dengan kalimat "surgawi" calon bupati yang sebelumnya mereka elu-elukan.
Pria peneladan Gus Dur ini bertutur bahwa kebijakan ekonomi di Indonesia masih jauh dari kata mandiri. Prinsip ekonomi yang diberlakukan di Indonesia masih banyak diatur oleh bangsa dan pihak lain. Akibat hal inilah tatanan ekonomi bangsa masih semrawut, tuturnya beberapa waktu lalu.
Selain aktif "mengkritik" lelucon bangsa melalui komentar-komentarnya, pria lulusan Monash University ini aktif menulis dan membukukannya. Beberapa karya-karyanya masih bisa dinikmati di toko buku-toko buku di Indonesia. Di lain kesempatan, ia juga pernah berkomentar mengenai kerja politik di indonesia yang sering "kurang pintar" karena merasa puas melihat sebuah "struktur" yang bagus wujudnya, tapi kering dan kosong isinya, tanpa jiwa.
Padahal, ia mewakili harapan sebagian besar masyarakat Indonesia, merindukan dan ingin mewujudkan sebuah "jiwa" ke-Indonesia-an, untuk memberi makna lebih riil pengertian "adil dan beradab" bagi semua kalangan. Ia mengkhususkan pemikirannya pada rakyat yang selama ini tertindas sepatu tentara, polisi, birokrat, pedagang, dan para politisi yang telah menelantarkan jiwa mereka kepada semua perombak kemanusiaan.
Oleh: Atiqoh Hasan