Dahulu: Jokowi Adalah Kita, Saat ini: Jokowi Siapa?
Bak seorang raja, Joko Widodo juga sudah mempersiapkan pangeran dan permaisuri untuk mengisi jabatan-jabatan berikutnya.
Oleh: Kunto Adi Wibowo
Pengamat Politik Universitas Padjajaran
10 tahun lalu, Jargon “Jokowi adalah Kita” menjadi slogan untuk pemimpin harapan Indonesia. Pemimpin yang rela masuk gorong-gorong, pemimpin yang mau blusukan ke rumah-rumah untuk bertemu warga, pemimpin yang memilih naik motor dibandingkan naik limousine, pemimpin yang dengan senang hati menyapa demonstran yang memprotes kebijakannya. Kesan ini dipertebal dengan produksi film layar lebar dengan judul serupa. Sebuah kerja propaganda ala Goebbels untuk menancapkan persepsi tentang pemimpin yang membawa harapan baru bagi Indonesia.
Pada masa awal periode kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo sangat dekat dengan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa Jokowi adalah angin segar dari politikus-politikus generasi terdahulu yang terasa sangat ‘Elit’, sangat ‘pejabat’, sangat jauh dari rakyat. Jokowi bahkan dipercaya sebagai pengejawantahan mitos Jawa tentang Raja yang adil, rela setiap malam masuk ke pasar-pasar dan kampung-kampung kumuh dengan mengenakan baju layaknya seperti orang biasa. Ketidakmampuannya merangkai kata-kata yang indah bahkan terkesan lugu dan polos memberikan harapan kepada rakyat bahwa Jokowi adalah orang yang tulus, jujur, apa adanya.
Pada awal kepemimpinannya, sosok-sosok profesional juga mengisi pos Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo, misalnya saja Susi Pudjiastuti yang tidak tunduk kepada elit politik dan berani mengambil kebijakan-kebijakan out of the box. Nama Ignatius Jonan yang berhasil mengubah secara radikal layanan kereta api di Indonesia memberikan rasa optimis bagi rakyat, bahkan bagi pasar.
Belum satu tahun menjabat, Ketua DPP PDI Perjuangan saat itu Effendi Simbolon dengan lantang mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo berhak untuk dimakzulkan/impeachment. Salah satu pernyataan Effendi adalah, “Kalau tunduk kepada kepentingan asing, berarti Jokowi bukan petugas partai lagi, tapi petugas Amerika Serikat,". Dalam wawancaranya dengan sebuah media nasional pada awal Maret 2015, terkuak adanya keretakan antara Jokowi dengan PDIP, partai yang mengantarkannya sejak menjadi Walikota Surakarta, Gubernur Jakarta, dan Presiden Republik Indonesia.
Sejak peristiwa tersebut, Presiden Joko Widodo mulai beralih melakukan konsolidasi kekuasaan. Konsolidasi kekuasaan itu dimulai dengan membentuk Relawan Jokowi—pihak-pihak yang membawa dirinya dari menjadi Gubernur DKI Jakarta hingga Presiden Indonesia. Relawan Jokowi kemudian menjadi salah satu organisasi pendukung paling militan dan fanatik, yang tentu saja dirawat oleh Istana. Istilah BuzzerP (Buzzer Pemerintah) melekat kepada relawan-relawan Joko Widodo yang beralih fungsi menjadi amplifikasi aktivitas-aktivitas pemerintah, terutama aktivitas Presiden Jokowi, melalui internet dan media sosial.
Aktivitas di media sosial ini diamplifikasi dengan menggaet ‘Influencer’ dari berbagai bidang. Sederet influencer mulai diundang ke berbagai kegiatan, termasuk pernah menginap di Istana Cipanas pada tahun 2018, lalu terus diikutsertakan untuk mengendorse kebijakan pemerintah, tak terkecuali mempromosikan Ibukota Negara baru, IKN atau Ibu Kota Nusantara. Pendengung dan pesohor media sosial menjadi bidak catur Jokowi dalam membentuk opini publik yang positif bagi dirinya dan kinerjanya terhadap pemerintahan. Jokowi adalah presiden Indonesia yang pertama kali menggunakan media sosial secara masif sebagai instrumen komunikasi politik baik saat pemilu maupun ketika sudah menjabat.
Kantor Staff Kepresidenan juga memegang peranan penting untuk mengatur arus keluar-masuk informasi serta narasi yang berkembang di media. Pada pertengahan periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi (2015-2019), hampir setiap hari kita melihat sosok Fadjroel Rachman, Jubir Presiden Joko Widodo, muncul di televisi untuk memberikan pandangan seputar isu-isu terkini yang terjadi di Indonesia. Kantor Staff Kepresidenan akhirnya menjadi dirijen yang bertugas untuk mengorkestrasi narasi yang sesuai dengan keinginan Presiden Jokowi. Siapa pemain instrumennya? Tidak lain dan tidak bukan adalah humas kementerian dan lembaga, bahkan humas perusahaan BUMN. Mengomunikasikan prestasi pemerintah menjadi pekerjaan rumah humas-humas pemerintah yang juga dibantu dengan pasukan pendengung dan pesohor di media sosial.
Ancaman pemakzulan dari partai yang mengantarkannya menjadi presiden membuat Jokowi harus mengkonsolidasikan kekuatan politiknya. Perlahan tapi pasti, Jokowi mulai lebih dekat dengan menteri-menterinya yang berasal dari partai lain, terutama Partai Golkar. Luhut Binsar Panjaitan menjadi menjadi salah satu andalan Jokowi sebagai operator di pemerintahan maupun di gelanggang politik.
Perpecahan di tubuh Partai Persatuan Pembangunan yang bermuara pada Muktamar VIII PPP pada tahun 2016 memberikan kesempatan bagi Jokowi untuk bisa cawe-cawe terhadap partai politik. Presiden Jokowi selain membuka Muktamar VIII PPP yang disambut baik oleh anggota PPP sebagai legitimasi terhadap partai, juga mengangkat Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama yang berasal dari kubu Romahurmuzy. Jokowi akhirnya menetapkan Romahurmuzy sebagai ketua PPP melalui Menkumham.
Pada tahun 2017, Jokowi ikut berperan dalam kongres Partai Golkar 2017. Setelah Ketua Umum sebelumnya, Setya Novanto, ditahan KPK, Airlangga Hartarto berhasil naik menjadi ketua umum usai mendapatkan restu dari banyak pihak, tak terkecuali restu dari Presiden Joko Widodo yang akhirnya memuluskan langkah Airlangga Hartarto menuju kursi ketua umum Golkar.
Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu Presiden 2019 membawa tantangan baru bagi status quo Presiden Joko Widodo. Sosok Anies Baswedan, Rizieq Shihab, dan Prabowo Subianto mulai mengancam status quo dan citra Presiden Jokowi. Mereka mempresentasikan kekuatan yang anti-Jokowi. Pertempuran sengit di berbagai daerah antara Koalisi Presiden Jokowi melawan oposisi menjadi sangat sengit, terlihat jelas dalam polarisasi 2 kubu (cebong vs kampret) pada pemilu-pemilu kala itu.
Setelah Pilpres 2019 selesai, ada perpecahan di kubu Partai Amanat Nasional (PAN). Pada 25 Agustus 2019, Zulkifli Hasan mengatakan bahwa PAN mendukung Jokowi tanpa syarat. Tapi pada 22 Oktober 2019, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hanafi Rais mengatakan PAN akan berada di luar pemerintah. Sejarah menceritakan bahwa akhirnya PAN bergabung dengan pemerintahan Joko Widodo, sedangkan elemen yang masih loyal dengan Amien Rais memilih keluar dan membentuk partai Ummat. Presiden Joko Widodo cukup banyak memberikan berbagai insentif ke PAN, termasuk mengajak bergabung ke pemerintahan dengan menawarkan posisi Menteri Perdagangan kepada Zulkifli Hasan.
Partai Demokrat juga dicoba digoyangkan secara tidak langsung melalui KLB versi Moeldoko yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP). Meskipun tidak berhasil, namun pada akhirnya pendekatan lain dengan menawarkan posisi di Pemerintahan (AHY menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang/ATR) akhirnya membuat Cikeas tergoda untuk bergabung dan mengalihkan dukungan mereka dari Anies Baswedan.
“Saya kira Presiden Joko Widodo ini memberi pelajaran bagi kita semua. Beliau menang, beliau punya kekuasaan, tapi beliau merangkul yang dikalahkan,” kutipan tersebut adalah ucapan Prabowo Subianto pada tahun 2023 di depan pendukungnya pada saat kampanye Pilpres 2024. Sang Raja Jawa, Presiden Joko Widodo, memiliki kemampuan yang mungkin tidak pernah dimiliki oleh Presiden-presiden sebelumnya dan belum tentu dimiliki oleh Presiden yang akan datang—kemampuan untuk merangkul lawan menjadi kawan.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang memang sudah memiliki tendensi untuk mendukung Presiden Jokowi akhirnya berhasil diambil alih sepenuhnya ketika Kaesang ditunjuk menjadi Ketua Umum. Di sisi lain, Airlangga Hartarto yang telah membantu memenangkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024 dan mendapatkan 102 kursi di DPR ternyata tidak aman dari guncangan Raja Jawa. Melalui Munas, Bahlil Lahadalia terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum Golkar yang baru. Setelah terpilih, Bahlil pernah mengatakan bahwa jangan main-main dengan sang Raja Jawa, "Soalnya, Raja Jawa ini, kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu aja, jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh, ini ngeri-ngeri sedap barang ini, saya kasih tahu,".
Diam-diam menghanyutkan, seperti katak yang sedang direbus. Andil Presiden Jokowi sebagai chess master kontestasi Politik di Indonesia membuat berbagai partai seakan terlena dan tidak memiliki resistensi untuk melawan keinginan Presiden Jokowi. Siapapun akan bergabung dengan Jokowi, cepat atau lambat.
Meskipun sudah jelas melakukan cawe-cawe politik sebagai Presiden Indonesia, namun hasil riset dari berbagai lembaga survei seringkali menunjukkan bahwa angka kepuasan terhadap Presiden Joko Widodo kerap mencapai lebih dari 60%. Ada 2 faktor utama yang mempengaruhi tingginya kepuasan masyarakat: Citra diri Presiden Jokowi dan kebijakan populis.
Image Presiden Jokowi sejak menjabat sebagai Walikota Solo tidak pernah pudar, kemampuan beliau untuk terus terlihat merakyat masih melekat. Bahkan survei di berbagai daerah menunjukkan bahwa pemimpin yang merakyat dan sering blusukan merupakan ciri-ciri pemimpin yang masih diharapkan oleh masyarakat Indonesia di tahun 2024.
Walaupun harga bahan pokok melambung naik, hukum semakin tajam ke bawah dan tumpul ke atas, dan pelayanan publik tak kunjung cepat dan efisien namun kepuasan terhadap Presiden Joko Widodo juga tinggi. Permasalahan-permasalahan di Indonesia akhirnya dibingkai pada masalah tidak kompetennya pemimpin daerah, institusi, maupun menteri, bukan terhadap Presiden Joko Widodo. Jokowi adalah orang baik, yang jahat dan tidak punya kemampuan adalah orang-orang di sekelilingnya. Kepercayaan ini hasil dari kampanye politik Jokowi tidak hanya pada masa pemilu namun selama jadi presiden tak lelah untuk berkampanye bahwa dia adalah orang yang baik dan merakyat.
Presiden Jokowi pernah menolak Koruptor mendapat remisi saat Covid-19. Menteri Hukum dan HAM saat itu, Yasonna Laoly, pernah mengusulkan bahwa untuk merevisi Peraturan Pemerintah No 99 Tahun 2012 (PP 99/2012) yang akan menghilangkan syarat remisi, termasuk untuk koruptor, dengan dalih agar korban pandemi Covid-19 tidak meluas. Kebijakan yang tidak populer pada saat itu, Presiden Jokowi langsung dengan tegas menolak usulan tersebut. Viral-Based Policy menjadi pola yang akan terus dilakukan oleh Presiden Joko Widodo selama masa pemerintahannya. Berbagai kebijakan Menteri dan kepala daerah yang dinilai tidak populer akan ditolak oleh Presiden Joko Widodo. Dengan menolak/merevisi berbagai usulan undang-undang yang mendapat kritik dari publik, Jokowi terus membangun citra diri sebagai juru selamat bagi masyarakat.
Sang Raja Jawa ini tidak hanya sebutan, tetapi secara semiotika juga dilaksanakan oleh Joko Widodo dimana beliau mengenakan baju adat Ageman Songkok Singkepan Ageng saat memimpin upacara peringatan detik-detik kemerdekaan RI pada tahun 2023.
Setiap kebijakan penting negara juga seringkali diputuskan pada hari Rabu Pon, belum lagi berbagai kegiatan seremonial seperti setiap Gubernur di Indonesia diminta membawa tanah dan air dari wilayah mereka masing-masing ke IKN. Tidak lupa juga ketika mobil nasional Esemka dimandikan air kembang tujuh rupa. Seremonial yang bersifat sakral ini mengiringi 10 tahun perjalanan Presiden Joko Widodo.
Bak seorang raja, Joko Widodo juga sudah mempersiapkan pangeran dan permaisuri untuk mengisi jabatan-jabatan berikutnya. Anaknya, menantunya, orang-orang kepercayaannya, siap melanjutkan dinasti politik warisan Jokowi. Dari seorang rakyat biasa menjadi raja, sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh segelintir orang di dunia. Patut diakui bahwa manuver Jokowi selama 10 tahun sangat lembut, seorang chess master andal dalam dunia komunikasi politik, sehingga kita baru tersadar di akhir periode kekuasaannya.
Pada tahun 1974, Astana Giribangun yang berada di Desa Girilayu, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah mulai dibangun sebagai tempat peristirahatan mantan Presiden Soeharto bersama keluarganya. Akhirnya tempat ini menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi presiden kedua Indonesia, Soeharto, dan istrinya, Siti Hartinah atau lebih dikenal dengan Ibu Tien Soeharto. Seperti pendahulunya, Presiden Joko Widodo juga sangat ngotot mendorong IKN sebagai proyek strategis nasional, sebagai legacy terakhir, hal terakhir yang akan dikenang masyarakat Indonesia, ratusan tahun ke depan, for better or worse.