Bawaslu Soroti Pimpinan KPU Tidak Hadir di Sidang Perkara Jumlah Caleg Perempuan
Pimpinan KPU sudah berada di Jakarta namun tidak hadir dalam sidang karena kesibukan.
Pimpinan KPU sudah berada di Jakarta namun tidak hadir dalam sidang karena kesibukan.
Bawaslu Soroti Pimpinan KPU Tidak Hadir di Sidang Perkara Jumlah Caleg Perempuan
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menggelar sidang soal dugaan pelanggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, terkait jumlah calon anggota legislatif (Caleg) perempuan yang tidak mencapai target minimum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Pemilu.
Untuk agenda sidang ini diketahui pemeriksaan saksi serta jawaban terlapor yakni KPU, atas laporan soal jumlah caleg perempuan yang diduga tidak sesuai aturan.
KPU menjadi terlapor dalam dugaan pelanggaran administratif Pemilu Nomor 010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI/2023. Laporan ini berasal dari Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan.
Dalam sidang dengan Ketua Majelis Pemeriksa Puadi dengan anggota Majelis Pemeriksa Lolly Suhenti dan Totok Hariyono, ternyata tidak dihadiri oleh pimpinan KPU sebagai pihak terlapor.
"(Pimpinan KPU) sudah di Jakarta, tapi karena memang ada kegiatan-kegiatan lain bersamaan. Sehingga, pada kesempatan kali ini diwakilkan pada kami kuasa terlapor," kata salah seorang perwakilan KPU, Edho Rizki Ermansyah di Ruang Sidang, Kamis (23/11).
Meski diwakili, namun Majelis Pemeriksa menyayangkan sikap para Pimpinan KPU yang tidak menghadiri sidang tersebut.
"Catatan majelis ya. Semestinya kita berharap karena ini persidangan sangat penting ya, supaya seharusnya principal perwakilan 1 harus hadir. Tapi karena sudah dikuasakan paling tidak ini menjadi justifikasi. Catatan majelis ya," ujar Puadi.
Kemudian, ia pun menanyakan kepada pihak yang mewakili KPU. Apakah sudah menyiapkan jawaban atas laporan yang kini sedang disidangkan atau belum.
"Tapi nanti jawaban terlapor sudah siap ya? Sudah dikoordinasikan dengan prinsipalnya ya," tanya Puadi.
"Sudah siap," jawab Edho.
Saat itu, Edho sebagai orang yang mewakili terlapor pun menjawab bahwa laporan dugaan pelanggaran administrasi soal jumlah keterwakilan perempuan di Pemilu kabur dan tidak jelas.
"Dalam pandangan terlapor, laporan para pelapor kabur atau tidak jelas karena tidak menjelaskan dengan jelas dan rinci mengenai perbuatan terlapor mana yang terkualifikasi sebagai pelanggaran administratif Pemilu dan menimbulkan kerugian bagi para pelapor," ujar Edo.
Lalu, KPU menilai laporan yang dibuat itu juga kurang pihak. Karena, tidak menjadikan partai politik peserta Pemilu sebagai pihak terlapor dalam perkara ini.
Edho menjelaskan pihaknya sudah mengakomodir soal mekanisme penghitungan keterwakilan perempuan minimal 30 persen lewat Penerbitan Keputusan KPU 1562/2023.
Menurutnya, Penerbitan Keputusan KPU 1562/2023 tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini karena sudah menindaklanjuti Putusan Mahkamah Agung (MA) 24P/HUM/2023.
Sebagaimana diketahui, MA sudah menetapkan Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang mengatur soal penghitungan keterwakilan 30 persen caleg perempuan, melanggar UU Pemilu. Kemudian KPU menindaklanjutinya dengan menerbitkan Keputusan KPU 1562/2023.
Atas dasar ini, Edho mengatakan laporan itu tidak terbukti. "KPU memohon kepada Majelis Pemeriksa Bawaslu, agar menyatakan menolak seluruh laporan para pelapor atau setidak-tidaknya menyatakan laporan para pelapor tidak dapat diterima, dan menyatakan KPU tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administratif Pemilu," jelasnya.
Selanjutnya, sidang pun dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi, salah satunya yakni Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro. Menurutnya, pemerintah akan melanggar HAM jika tidak memenuhi kouta minimal 30 persen keterwakilan pada Pemilu 2024.
"Ketika UU mengatakan 30 persen kuota perempuan untuk menjadi calon legislatif tidak terwujud, maka negara telah melakukan pelanggaran HAM. Akibat dia gagal to fulfill, memenuhi, hak dari perempuan untuk menjadi Caleg," ujar Atnike.
Ia pun menjelaskan, untuk pelanggaran HAM bukan hanya semata dalam bentuk kekerasan atau pemaksaan terhadap satu hak saja. Karena, pada prinsipnya tugas negara terkait HAM dijelaskannya yaitu menghormati atau to respect, memenuhi atau to fulfill, dan melindungi atau to protect.
"Nah ketiga-tiganya ini harus dihadirkan kalau salah satu tidak hadir maka di situlah terjadi pelanggaran HAM," jelasnya.
Selain itu, Atnike menegaskan, terkait dengan tugas KPU dalam pesta demokrasi yakni menjadi wasit. Salah satunya menilai sejauh mana Partai Politik (Parpol) telah melakukan kewajibaannya sesuai persyaratan Pemilu
"Sehingga dia berhak mengikuti atau menjadi kontestan di dalam Pemilu. Apa aturannya? Peraturan perundang-undangan. Nah tugas KPU lah untuk menjadi wasit dalam hal itu," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah menyampaikan, jika suatu komposisi tidak ada keterwakilan perempuan, maka pembentukan perundang-undangan disebutnya tidak memenuhi kepentingan dari kelompok rentan tersebut.
"Misal, pembentukan perundang-undangan ketika tidak ada kepentingan perempuan yang disuarakan, maka peraturan perundang-undangan yang dihasilkan itu akan lebih merugikan," ujar Aminah.
Aminah menjelaskan, terkait pentingnya keterwakilan perempuan. Salah satunya yakni mendengarkan dan mengakui ada pengalaman yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melaporkan KPU ke Bawaslu karena dinilai melanggar aturan terkait penetapan perwakilan perempuan pada daftar calon tetap (DCT) anggota DPR.
Karena tidak sesuai dengan tata cara penerapan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan sebagaimana perintah Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, mengatakan daftar DCT anggota DPR yang ditetapkan tidak memenuhi keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
"Kami melihat mengetahui bahwa KPU RI telah menetapkan daftar calon tetap itu banyak daftar pemilih yang ditetapkan tersebut tidak memenuhi kriteria atau keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Ini bertentangan dengan undang-undang dan konstitusi dimana perempuan sebetulnya punya hak dilindungi," ujar Hadar Nafis kepada wartawan di kantor Bawaslu, Senin (13/11).