Ditahan karena Rugikan Negara Rp2,1 T, Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Seret Nama Dahlan Iskan
Sebelumnya, Dahlan Iskan mengklaim mengaku tak tahu menahu perihal pembelian gas alam cair itu.
Mantan Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan menyeret nama mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan dalam kasus pengadaan gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) yang merugikan keuangan negara Rp2,1 triliun.
Ditahan karena Rugikan Negara Rp2,1 T, Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Seret Nama Dahlan Iskan
Karen menyatakan Dahlan Iskan mengetahui proyek itu dan merupakan penanggung jawabnya.
Hal itu disampaikan Karen seusai ditahan tim penyidik KPK setelah diperiksa sebagai tersangka dalam kasus ini.
"Pak Dahlan tahu, karena Pak Dahlan penanggung jawab di dalam Inpres Nomor 14 Tahun 2014."
Mantan Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (19/9).
Karen membantah dirinya tidak melibatkan jajaran direksi serta pemerintah dalam pengadaan dan penujukkan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat sebagai produsen dan supplier LNG.
"Begini, begini, yang namanya instruksi presiden, itu adalah perintah jabatan, harus dilaksanakan. (Jadi) pemerintah tahu. Itu perintah jabatan dan saya melaksanakan sudah sesuai dengan melaksanakan sebagai pelaksanaan anggaran dasar," kata dia.
Karen menyangkal dirinya menunjuk langsung CCL LLC Amerika Serikat dalam pengadaan tersebut. Dia mengklaim sebelum penunjukan sudah ada keputusan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan melibatkan beberapa konsultan.
"Ada due diligence (uji kelayakan), ada 3 konsultan yang terlibat. Jadi sudah ada 3 konsultan, dan itu sudah disetujui oleh seluruh direksi secara kolektif kolegial dan secara sah karena ingin melanjutkan apa yang tertuang dalam proyek strategis nasional," kata dia.
Sebelumnya, KPK telah memeriksa mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan soal kebijakan dan kontrak pengadaan gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina tahun 2011-2021. Diketahui pengadaan ini berujung korupsi pada Kamis (14/3).
"Dahlan Iskan (Menteri BUMN Periode 2011-2014), saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan penentuan kebijakan pemerintah saat saksi menjabat Menteri BUMN dalam menetapkan kebutuhan LNG di Indonesia," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Jumat (15/9).
"Selain itu dikonfirmasi juga mengenai proses dilakukannya kontrak pengadaan LNG di PT Pertamina tahun 2011-2021," Ali menambahkan.
Seusai diperiksa selama kurang lebih enam jam oleh tim penyidik KPK, Dahlan Iskan menyebut pemeriksaannya sebagai saksi untuk tersangka mantan Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan.
"Terkait Bu Karen. Iya (Karen tersangka)," ujar Dahlan Iskan usai pemeriksaan, Kamis (14/9/2023).
Dahlan Iskan mengklaim saat pemeriksaan tak ditanya soal aliran uang. Dia mengaku hanya ditanya perihal pembelian gas alam cair oleh penyidik. Namun dia mengaku tak tahu menahu berkaitan hal tersebut.
"Enggak ada (pertanyaan aliran uang). Ditanya tahu enggak beli-beli LNG. Saya bilang enggak tahu," kata Dahlan.
Dahlan mengaku lupa total pertanyaan yang dilontarkan tim penyidik kepadanya. Namun demikian, Dahlan mengisyaratkan ada tanda tangan dirinya dalam berkas yang diperlihatkan penyidik. Namun, dia tak merinci berkas yang dimaksud.
"Aduh enggak hapal aku. Lama karena baca dulu dokumen-dokumen lama, ternyata tanda tangan saya berbeda ya antara Dirut PLN sama Menteri. Saya baru ingat," kata dia.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan mantan Dirut PT Pertamina (Persero), Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan sebagai tersangka. Karena langsung ditahan di Rutan KPK terhitung 19 September 2023 hingga 8 Oktober 2023.
Ketua KPK Firli Bahuri menyebut perbuatan Karen merugikan keuangan negara sebesar Rp2,1 triliun.
"Dari perbuatan GKK alias KA (Karen) menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar USD140 juta yang ekuivalen dengan Rp2,1 triliun," ujar Firli dalam jumpa pers di Gedung KPK, Selasa (19/9).
Firli mengungkap konstruksi kasus yang menjerat Karen. Semua bermula pada 2012, saat PT Pertamina memiliki rencana untuk mengadakan liquefied natural gas (LNG) sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia.
Defisit gas yang diduga akan terjadi di Indonesia di kurun waktu 2009 hingga 2040 membuat PT Pertamina mengadakan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN (Persero), Industri Pupuk, dan Industri Petrokimia lainnya di Indonesia.
Firli menyebut, Karen kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan supplier LNG yang ada di luar negeri, di antaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat.
Saat pengambilan kebijakan dan keputusan, Karen secara sepihak memutuskan melakukan kontrak perjanjian perusahaan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina.
Selain itu, pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dalam hal ini pemerintah, tidak dilakukan sama sekali, sehingga tindakan Karen tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu.
Dalam perjalanannya, seluruh kargo LNG milik PT Pertamina Persero yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat menjadi tidak terserap di pasar domestik yang berakibat kargo LNG menjadi oversupply dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia.
"Atas kondisi oversupply tersebut, berdampak nyata harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh PT Pertamina Persero," kata Firli.
Karen disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.