Elvira Sari Dewi, Dosen Odapus Tak Henti Teliti Lupus
Elvira dan pasien Lupus lain bermimpi obat Lupus yang ideal sesuai kebutuhan bisa ditemukan.
Elvira Sari Dewi (32) dalam 12 tahun terakhir menderita Lupus atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Elvira Sari Dewi, Dosen Odapus Tak Henti Teliti Lupus
Elvira Sari Dewi (32) dalam 12 tahun terakhir menderita Lupus atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Penyakit penyerang system kekebalan tubuh itu diderita sejak usia 20 Tahun.
Perempuan lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FK UB) Malang itu baru mengetahui menderita Lupus ketika duduk di Semester 4 (2011). Kendati gejala sakitnya sebenarnya telah dirasakan setahun sebelumnya.
"Saat itu kuliah Semester 2, ketahuan di Semester 4. Yang saya rasakan, kaki bengkak. Di bagian sendi-sendi bengkak, sehingga nyeri dan susah buat berjalan," kisah Elvira Sari Dewi kepada Merdeka.com, Minggu (8/9).
Penderita Lupus memang kebanyakan merasakan gejala peradangan seperti yang dirasakan Elvira.
Penyakit autoimun kronis itu terjadi karena sistem kekebalan tubuh melawan sel sehat dalam tubuh.
Keluarga Elvira awalnya mengira kalau putrinya menderita Chikungunya, yakni infeksi virus yang ditularkan nyamuk. Karena memang saat itu sedang terjadi wabah di kampung tempat tinggalnya.
Namun Elvira tidak kunjung sembuh, sementara warga yang lain sudah kembali sehat. Tubuhnya masih bengkak dan kakinya tidak bisa digunakan untuk berjalan.
Puskesmas tempatnya berobat memberikan antinyeri dan antiradang, tapi kondisinya tidak juga membaik, bahkan sebaliknya. Kondisi memburuk dan tidak diketahui kepastian penyebab sakit tubuhnya itu dirasakan selama sekitar setahun.
Keluarga curiga dan menduga kemungkinan penyakit lain menjadi penyebabnya. Sampai pada akhirnya diketahui Elvira menderita Lupus.
"Pasca keluar hasilnya, syok. Walaupun ada senengnya, karena sudah setahun bertanya-tanya sakit apa, bahkan tidak sedikit yang berkata itu diguna-guna," ungkapnya.
Sementara Elvira tetap meyakini kalau sakit yang dirasakan itu pasti memiliki penyebab secara medis. Apalagi saat itu, dirinya kuliah di kesehatan yang tentu tidak begitu saja menerima jawaban bersifat takhayul.
"Jadi antara seneng karena ketahuan penyakitnya, tapi saat tahu kok Lupus. Ada kayak perasaan angger (marah), dis-angger itu muncul semua," urainya.
Belakangan setelah menggeluti dunia medis, Elvira baru mengetahui bahwa Lupus adalah penyakit 1000 wajah. Gejalanya banyak dan antara satu pasien dengan pasien lain berbeda-beda.
Pasien biasanya merasakan demam seperti gejala pada demam berdarah, termasuk trombosit rendah. Tetapi ketika minum obat demam berdarah kondisinya tidak membaik apalagi sembuh. Pasien juga bisa mengalami gejala sakit perut dan dites diagnosisnya typus. Tetapi ternyata bukan typus dan diobati tidak sembuh karena memang penyakitnya Lupus.
Pasien lain juga bisa merasakan ginjalnya bermasalah, tetapi ketika diobati tidak membaik. Atau mengalami gejala gangguan kulit, kayak kupu hitam seperti terbakar matahari di sekitar mata. Tetapi saat diobati atau menjalani perawatan tidak juga sembuh.
"Tetapi saat pemeriksaan ke laboratorium dengan tes darah baru diketahui kalau Lupus. Keunikan Lupus itu suka meniru penyakit lain. Be great imitator atau peniru ulung," tegasnya.
Awalnya Elvira tidak dapat begitu saja menerima kenyataan sebagai Odapus, apalagi stigma salah yang melekat tentang Lupus. Karena memang saat itu masih belum banyak informasi tentang Lupus, termasuk munculnya anggapan penyakit itu kategori menular seperti HIV/AIDS dan disebut belum ditemukan obatnya.
"Karena saat didiagnosis kena Lupus, Anda tidak boleh kuliah! Saat itu bengong, benarkan saya tidak bisa kuliah. Saya nggak punya masa depan. Terus nanti siapa yang bertanggung jawab dengan masa depan saya," kisahnya.
Tetapi setelah proses cukup panjang yakni sekitar 8 tahun, Elvira mengaku mendapatkan banyak hikmah lewat sejumlah peristiwa dalam hidupnya. Setidaknya dua peristiwa menunjukkan bahwa Tuhan Maha Pengasih.
"Salah satunya pernah dalam proses satu tahun (awal sakit) itu saya terjatuh. Saya dianggap sudah meninggal dunia. Itu dianggap oleh orang-orang sudah mau meninggal dunia," ungkapnya.
Kondisi serupa kembali dirasakan saat menjalankan salat ketika opname. Posisinya saat itu i'tidal dan hendak bersujud, tetapi Elvira kehilangan kesadaran. Tubuhnya jatuh bersujud dan tidak bisa bangun kembali.
"Di situ saya berdoa, ya Tuhan, saya masih ingin pulang, saya masih ingin ketemu keluarga. Saya ingin ketemu teman-teman saya. Saya minta kesempatan satu kali saja, untuk melakukan yang terbaik. Setelah itu terserah Tuhan mau ambil saya kapanpun."
Kata Elvira
@merdeka.com
Doa itu ternyata dikabulkan. Elvira mampu bangun dan menyelesaikan salat sampai akhir. Ucapan doa itu menjadi magic word yang menjadi kekuatannya hingga sekarang ini.
"Bahkan orang-orang yang menunggu saya, ibu dan ayah saya mengira sedang salat khusuk. Padahal saya habis jatuh. Itu seperti magic word, karena itu saya harus melakukan yang terbaik apapun itu dalam hidup saya," sambungnya.
Sejak peristiwa itu, Elvira merasakan sebuah energi baru dalam hidupnya. Semangat hidupnya muncul kendati di tengah kondisi tubuh yang harus terus bertahan dan menyesuaikan diri.
Semangat itu menjadi tambahan bagi Elvira yang merasa sejak kecil dididik keluarganya untuk harus berjuang. Orang tuanya selalu mendorongnya bekerja keras dalam perjuangan dan tidak mudah menyerah dalam kesulitan hidup.
Walaupun dokter tidak memperbolehkannya kuliah, Elvira tetap ngeyel ke kampus. Kondisi tubuhnya saat itu dinilai kurang sehat dan harus istirahat, tetapi hanya dirinya yang paling tahu dan mampu mengukur kekuatannya.
Nilai kuliah yang sebelumnya turun akibat sakit di dua semester awal, mendadak melejit dan naik peringkat. Ketika lulus pun berhasil masuk tiga besar hingga membuka kesempatan mengikuti bea siswa melanjutkan jenjang Strata 2.
Komunitas dan Lupus
Elvira mendapatkan beasiswa S2 Fast Track dari Kemendikbud untuk melanjutkan pendidikan Program Magister Ilmu Biomedik (PMB) FK UB. Ilmu yang dipelajari pun tidak jauh, bahkan konsentrasi mempelajari Lupus.
"Bidang yang saya pelajari dan Profesor pembimbing saya itu orang-orang ahli Lupus. Kayak suatu keajaiban yang tidak pernah saya duga dalam hidup saya," ungkapnya.
Saat ini Elvira sebagai dosen di Jurusan Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan (Fikes) Universitas Brawijaya (UB) Malang. Hidupnya didedikasikan bagi penelitian seputar penyakit Lupus, serta mendampingi para penderita penyakit autoimun tersebut.
Puluhan penelitian dan temuannya hampir keseluruhan tentang Lupus. Elvira adalah penemu konsep inovasi kompres dingin untuk mengatasi stres pasien Lupus (2012).
Ia juga meneliti fungsi Vitamin D untuk meningkatkan kemampuan tentara tubuh pasien Lupus (sel neutrofil) dalam membunuh bakteri. Kemudian meneliti efek pemberian ekstrak daun cocor bebek untuk Lupus dan lain-lain.
Sejak 2017, Elvira juga menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan Kupu Parahita Indonesia, sebuah komunitas peduli Lupus di Malang. Ia mendapat amanah untuk mengurus organisasi beranggotakan sekitar 300 pasien Lupus di Malang Raya, Tulungagung, Blitar dan Jember.
Elvira mengaku diperkenalkan dengan komunitas Lupus, berawal dari produk hasil penelitiannya yakni kompres dingin untuk menurunkan stres. Karena Odapus memang menghadapi kondisi rentan stres akibat kondisi imunitas tubuhnya.
Produk penelitiannya itu diinspirasi oleh kesejukan tempat wisata alam Cuban Rondo Malang. Kondisi alam yang sejuk dapat menghilangkan kepenatan dalam hidup.
"Saya kemudian terinspirasi untuk membuat sesuatu yang bisa menyimpan suhu tadi dalam bentuk alat. Saya mikirnya helm atau bantal, tapi akhirnya belajar-belajar terus muncul kompres itu," ungkapnya.
Karena kompres dingin berdasarkan literatur, menurunkan rasa nyeri, bengkak dan demam. Walaupun belum bisa menurunkan stres seseorang, terutama bagi penderita Lupus.
"Hanya saja saya punya pikiran kalau ini potensi untuk menurunkan stres. Saya meneliti itu dan karena penelitian saya itu harus diujicobakan, saya mencari komunitas di Malang," ungkapnya.
Bentuk temuannya berupa kantong berisi jeli dari bahan singkong yang menyejukkan. Kantong itu kemudian diberi nama Kompres Samchong yang hingga kini terus dikembangkan.
Elvira juga mengetahui belakangan, kalau ternyata pembina Yayasan Kupu Parahita adalah ahli Lupus yang kemudian menjadi Dosen Pembimbing saat S-2, yakni Profesor Handono Kalim dan Profesor Kusworini. Mereka berkolaborasi mendirikan Pusat Kajian Lupus tahun 2015.
Lewat komunitas, kata Elvira dapat berbagi semangat kepada pasien Lupus dan masyarakat umum, termasuk memberikan pendampingan. Dari berbagai lini kegiatan membangun kesadaran dan kepedulian kepada masyarakat.
"Mereka (pasien Lupus) gabung. Mereka ingin tahu lebih detail dan lebih dalam terkait sakitnya seperti apa. Kami sebagai pengurus bagaimana kualitas hidup anggota kami terus meningkat," ungkapnya.
Atas segala dedikasinya itu Elvira banyak menerima apresiasi dan penghargaan. Hasil penelitian juga banyak diterbitkan di berbagai Jurnal Nasional dan Internasional.
Elvira juga menulis Buku Lupuspedia dan terlibat pembuatan film pendek berjudul Didiagnosis Lupus. Elvira juga sebagai penerima Apresiasi Satu Indonesia Awards 2017 bidang kesehatan di tingkat propinsi dari PT. Astra Internasional Tbk.
"Saya mempunyai keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah bercanda. Ketika Tuhan memberikan sesuatu pasti ada maksudnya. Walaupun awal-awal saya tidak tahu maksud Allah itu apa. Ya yang bisa saya lakukan waktu itu ya menangis, saya tidak tahu bagaimana. Ya minta petunjuk," katanya berlinang.
Elvira tidak segan menangis kepada Sang Pencipta untuk meminta jalan petunjuk. Karena sejatinya dirinya tidak pernah tahu yang diinginkan oleh tubuh sakitnya itu.
"Kalau ingin menangis ya menangis. Ketika ingin menyendiri ya menyendiri, ingin tidur ya tidur. Pingin apapun saya turutin, maunya tubuh seperti apa. Ternyata benar, Tuhan memiliki maksud lain di balik itu," ungkapnya.
Elvira dan pasien Lupus lain bermimpi obat Lupus yang ideal sesuai kebutuhan bisa ditemukan. Mimpi itu butuh waktu panjang, tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan.
"Kami harus minum obat itu setiap hari. Kayaknya masih harus dilakukan penelitian terkait obat. Itu butuh waktu panjang. Suatu saat berharap bisa sembuh tanpa obat, punya aktivitas tanpa keterbatasan, bisa kembali sehat," pungkasnya.