Jaksa Agung Minta Anak Buah Pelajari KUHP Nasional yang Berlaku Mulai 2026
Menurutnya, mulai dipelajarinya KUHP Nasional itu sangat penting untuk menyongsong Indonesia Emas 2045.
Jaksa Agung ST Burhanuddin meminta kepada jajaranya untuk memulai mempelajari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) atau KUHP Nasional yang akan berlaku pada 2026 nanti.
Permintaan itu disampaikan Burhanuddin saat pidato dalam acara dialog bersama Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (Ditjen PP) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI (Kemenkumham) RI.
"Penegakan supremasi hukum tersebut dapat diawali melalui tataran kebijakan, salah satunya dengan penerapan kebijakan percepatan pembaharuan substansi hukum peninggalan kolonial," kata Burhanuddin dalam keteranganya, Kamis (1/ 8).
"Yang saat ini kita perjuangkan dengan telah diterbitkannya KUHP Nasional untuk kemudian melahirkan tanggung jawab berikutnya dan menyusun aturan-aturan pelaksanaanya sebagai penopang pembaruan substansi hukumnya," imbuhnya.
Menurutnya, mulai dipelajarinya KUHP Nasional itu sangat penting untuk menyongsong Indonesia Emas 2045. Salah satunya, transformasi sistem penuntutan menuju single prosecution system dan transformasi lembaga Kejaksaan RI sebagai advocaat generaal.
Dalam hal sistem penegakan hukum single prosecution system, Jaksa akan menjadi pengendali proses penuntutan mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi. Dengan demikian tugas, fungsi dan kewenangan Kejaksaan RI akan lebih diperkuat.
Sedangkan, posisi Kejaksaan RI sebagai advocaat generaal artinya Kejaksaan RI adalah penasihat hukum tertinggi bagi Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kejaksaan RI bertanggung jawab untuk memberikan pendapat hukum yang independen mengenai kasus-kasus yang diajukan ke Mahkamah Agung RI.
"Banyaknya kewenangan baru bagi aparat penegak hukum khususnya Jaksa dalam mengimplementasikan KUHP Nasional juga perlu mendapat perhatian," kata dia.
Oleh sebab itu, demi menjaga marwah dominus litis soal proses kewenangan penuntutan. Burhanuddin mendorong jajaran Kejaksaan untuk mengawal proses pembahasan dan penyusunan RPP tentang Pelaksanaan KUHP Nasional ini.
"Terlebih sebagai pemegang asas dominus litis tentunya akan memiliki peranan besar dalam menentukan arah penegakan hukum," ucapnya.
Adapun beberapa beberapa poin yang menjadi pesan Jaksa Agung untuk dapat disikapi oleh jajaran Kejaksaan dalam proses penyusunan RPP tentang Pelaksanaan KUHP ini sebagai berikut:
Pertama, ketentuan Pasal 2 Ayat (3) KUHP Nasional mengatur mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kejaksaan harus mengawal pembuatan RPP tersebut agar dalam hukum materiilnya benar-benar memberikan peran bagi masyarakat hukum adat untuk melaksanakan norma hukum adat sebagai penyelesaian konflik di masyarakat itu sendiri dan sebagai bentuk perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Kedua, ketentuan Pasal 54 KUHP Nasional yang mengatur konsep dari asas Rechterilijke Pardon atau pemaafan hakim dalam tindak pidana.
Dalam perkembangannya pemerintah sedang menyusun RPP tentang penyelesaian perkara berdasarkan pendekatan keadilan restoratif. Kejaksaan berperan penting untuk mendorong pendekatan keadilan restoratif dapat diimplementasikan dalam satu kesatuan proses peradilan pidana sehingga terwujudnya keharmonisan peraturan pada masing-masing institusi penegak hukum.
Ketiga, ketentuan Pasal 69 ayat (2) KUHP Nasional, mengatur mengenai tata cara perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara 20 (dua puluh) tahun diatur dalam Peraturan Pemerintah, apabila mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi, maka perubahan tersebut menjadi domain Presiden dalam memberikan Grasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung. Kejaksaan dalam hal ini perlu untuk terlibat sebagai proses pemberian pertimbangan Grasi mengingat peran Penuntut Umum sebagai pelaksana putusan pengadilan;
Keempat, ketentuan Pasal 76 Ayat (6) KUHP Nasional, mengatur bahwa Jaksa dapat mengusulkan pengurangan masa pengawasan kepada hakim jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan;
Kelima, ketentuan Pasal 110 Ayat (3) KUHP Nasional, mengatur bahwa Jaksa diberikan kewenangan menghentikan perawatan di rumah sakit jiwa untuk diusulkan kepada hakim dan tata caranya akan diatur dalam PP;
Keenam, ketentuan Pasal 111 KUHP Nasional, mengatur tata cara pidana dan tindakan akan diatur dalam peraturan pemerintah. Tindakan sendiri dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok berupa konseling, rehabilitasi, pelatihan kerja, perawatan di lembaga dan perbaikan akibat tindak pidana;
Ketujuh, ketentuan Pasal 124 KUHP menyebutkan bahwa dalam Pasal 118 s.d Pasal 123 KUHP akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dimana pasal-pasal tersebut mengatur mengenai pidana dan tindakan bagi korporasi, untuk itu peran Kejaksaan mendorong agar pembuatan PP tersebut diperlukan pola pemidanaan terhadap korporasi dapat sesuai dengan prinsip-prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi maupun selaras dengan tujuan pemidanaan itu sendiri.
Sebelum mengakhiri sambutannya, Jaksa Agung mengajak seluruh stakeholder untuk saling bersinergi untuk menyamakan persepsi khususnya tentang kedudukan Jaksa pada rencana peraturan pemerintah terkait pelaksanaan KUHP Nasional baru.
"Semoga dengan adanya forum diskusi ini nantinya dapat mendorong Kejaksaan dan stakeholders pada kementerian /lembaga beserta para Akademisi dapat mempersamakan pemikiran dan perspektif tentang arah kebijakan supremasi hukum khususnya yang berhubungan dengan peran Kejaksaan," pungkas Jaksa Agung.
Turut hadir dalam acara ini yaitu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Yasonna Laoly, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, Ketua Komisi Kejaksaan RI Pujiyono Suwadi, Ketua Komisi Yudisial RI Amzulian Rifai, Akademisi Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Prof. Indriyanto Seno Adji,
Lalu, Wakil Jaksa Agung Feri Wibisono, Para Jaksa Agung Muda, Para Kepala Badan, Para Staf Ahli Jaksa Agung, Para Pejabat Eselon II di Lingkungan Kejaksaan Agung, Para Kepala Kejaksaan Tinggi yang mengikuti secara daring dan luring, Para Dekan Fakultas Hukum beserta Para Pengajar dan Mahasiswa.