Kemendagri Usut Dugaan Keterlibatan Aparat Desa dalam Kasus HGB Laut
Wamendagri Bima Arya Sugiarto akan menindak bila ada aparat desa yang melanggar.

Kementerian Dalam Negeri mendalami dugaan keterlibatan aparat desa dalam kasus penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) lahan pagar laut di perairan Tangerang. Wamendagri Bima Arya Sugiarto akan menindak bila ada aparat desa yang melanggar.
"Ya tentu, silakan diproses saja sesuai ketentuan, ya Kemendagri pasti akan mendalami menilai kelanjutannya itu apabila ada sumpah jabatan dilanggar," katanya ditemui Grand Sahid Jaya, Jakarta, Jakarta, Kamis (30/1).
Sebelumnya, Kemunculan 263 sertifikat di laut Tangerang membuat publik heboh. Tidak hanya masyarakat pesisir utara, publik juga menyoroti para kepala desa yang tiba-tiba bergelimang harta saat praktik kotor penggusuran dan penerbitan sertifikat dilakukan aparatur desa.
Seperti diungkapkan Hendri Kusuma, tim advokat warga Kohod, Kecamatan Pakuhaji yang menyebutkan jika nama salah satu klien berinisial NS dicatut dengan modal KTP yang dipinjam aparat desa untuk menerbitkan sertifikat seluas 1,4 hektar.
“Jadi gini, khusus di Desa Kohod ada beberapa sertifikat, si kepala desa ini mengerahkan dalam tanda petik individu-individu salah satunya warga,” katanya dalam rekaman suara yang diterima, Selasa (28/1).
KTP Warga Dipinjam untuk Buat SHM
Menurut dia, individu-individu atau warga yang digunakan data identitasnya itu dibohongi aparatur desa dengan peminjaman Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga untuk pembuatan PM1.
“Itu dibohongi dan dibikinlah PM 1, istilahnya PM1 . PM 1 diurus sama kepala desa dan kroni-kroninya nah salah satunya warga kami itu anaknya diminta KTP tanpa sepengetahuan, dibuatkan ternyata SHGB,”’ujar Hendri.
NS, warga yang identitasnya dicatut mengaku tak pernah merasa memiliki tanah laut yang belakang diketahui telah terbit Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama anaknya.
“Saya sama sekali enggak punya (tanah) semeter pun saya enggak, di darat pun saya enggak punya apalagi itu di laut. Itukan laut negara,” ungkap dia.
Menurut dia, SHM atas namanya itu muncul setelah KTP anak NS dipinjam aparatur desa. Dalam sertifikat itu, NS diketahui meninggalkan waris terhadap anaknya seluas 1,4 hektar lahan laut.
“Apalagi disitu saya disebut sudah meninggal dan meninggalkan waris untuk anak 1,4 hektar. Padahal semeter pun saya engga punya. Jangan di laut, di darat pun engga punya,” ungkapnya.
Penggusuran Rumah Warga
Pencatutan identitas warga Pantura Tangerang juga tidak hanya dilakukan untuk penerbitan sertifikat semata. Oknum aparatur desa nakal juga mencatut identitas warga dengan meminjam KTP warga untuk menggusur lahan tempat tinggal mereka.
“Kami tidak diajak kompromi atau musyawarah. Masyarakat enggak ada. Dan lebih sakit lagi, tanah kami dari bantaran kali diukur sama Bina Marga itu diambil sepuluh meter,” ungkap KH.
Diterangkan dia, tanah yang diambil dengan alasan bantaran kali oleh pihak yang mengaku dari Bina Marga itu sepanjang 10 meter dari bibir kali. Namun ironis, saat ini kali yang dijadikan alasan untuk perluasan itu justru ikut diurug.
“Dari bantaran kali sepuluh meter, diambil untuk katanya sih, ya saya tanya kami tanya itu. untuk sepadan sungai. Tetapi sekarang lihat, kalau para rekan-rekan wartawan lihat, di sana itu udah diuruk sama pengembang. Kali kami sudah sempit. Katanya tadi buat kali diambil sepuluh meter kiri-kanan jadi sepuluh meter kan. Tapi sekarang diuruk,” ujarnya jengkel.
“Kami tidak tahu PT (perusahaan) apa yang membeli kami. Katanya ASG, kami tidak percaya bahwa itu ASG. ASG tidak mungkin langsung beli ke masyarakat, dia melalui vendor-vendor. Jadi kami tidak dipertemukan dangan pembeli langsung. Si penjual dan pembeli tidak dipertemukan,” jelas KH, warga Kampung Alar Jiban, Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.
Dia menegaskan proses jual-beli tanah dan bangunan warga di Desa Kohod, umumnya dilakukan oleh pemerintah desa dan vendor (calo) mereka kerap mengatasnamakan proyek pemerintah untuk menguasai dan menakut-nakuti warga agar lahan dan bangunan rumahnya dijual melalui mereka.
“Kalau Pemdes memang pasti terlibat, karena kami tidak pernag dipertemukan dengan pembelinya. Enggak langsung ke kami, tapi kabar burung, katanya mau langsung diurug, engga dibayar tapi kami tidak mendengar langsung intimidasi itu. Dan kami tetap bertahan dan kami sudah kuat dimari, kalau mereka mau bayar sesuai, kami pergi. Kalau tidak kami bertahan,” jelas KH yang hidup bersama puluhan KK lain di Kampung Alar Jiban.
Selama lima tahun terakhir, warga Alar Jiban mengaku hanya dihadapkan oleh aparat pemerintah desa yang bertindak selaku negosiator dan juru bayar atas lahan milik masyarakat. Mereka juga dijanjikan tempat relokasi sesuai luas lahan dan bangunan sebagai ganti rugi atas penggusuran yang dilakukan pengembang.