Kisah Pilu Tiga Saudara di Purbalingga Berjuang Melawan Thallasemia
Merdeka.com - Eva Tiana mengidamkan obat dan jarum tak lagi membayangi hidupnya. Sudah tujuh tahun lamanya, ia mesti bolak balik dari rumahnya di Dusun Bawahan, Desa Gunung Wuled, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga ke RS Goetheng Tanuadibrata.
Bocah berusia 13 tahun itu, saban bulan mesti transfusi darah. Saat berusia 6 tahun, Eva divonis mengidap thallasemia
Dalam lubuk hati, Eva ingin seperti teman-teman sebayanya. Beraktivitas tanpa ketergantungan pada obat.
-
Bagaimana siswi terdampak penyakit? Mereka melaporkan penyakit ini telah melumpuhkan kaki mereka, sehingga sebagian besar dari mereka tidak mampu berjalan.
-
Dimana sekolah itu berada? Peristiwa itu terjadi di Sekolah Al-Awda di Abasan al-kabira, bagian selatan Jalur Gaza dekat Khan Younis.
-
Gimana Komaruddin jalan kaki? Selama 14 hari berjalan, dia melewati sejumlah kota di Yogyakarta, Jawa Tengah, sampai Jawa Barat. Selama itu pula, dia turut dikawal para motor rider dari yayasan kesehatan di Bekasi di setiap kota, untuk memastikan kondisinya, termasuk menyediakan ambulans untuk berjaga-jaga.
-
Dimana anak Komeng bersekolah? Keduanya lulus dari International Islamic School (IISS).
-
Kenapa siswa SMK perlu PKL? Bukan tanpa alasan, PKL adalah kegiatan implementasi yang diberikan kepada siswa SMK agar bisa mendapatkan berbagai manfaat.
-
Kapan anak perempuan mulai berjalan? Kedua jenis kelamin umumnya mulai berjalan secara mandiri setelah berusia 1 tahun, seringkali sekitar bulan ke-14.
"Ingin sekolah secara normal seperti anak-anak yang lain. Saya sering bolos karena sakit," kata Eva, Minggu (21/6).
Eva duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Perjuangannya menempuh pendidikan juga tak mudah. Menuju ke sekolah, ia harus berjalan kaki selama 1 jam.
Kondisi ekonomi keluarga, tidak memungkinkan bagi Eva untuk memanfaatkan jasa pengojek di kampungnya.
Giseroseni, ibu Eva berusia 47 tahun. Sehari-hari, ia dan suaminya, Sunarso, bekerja sebagai buruh tani serabutan. Pendapatan keluarga, kata Giseroseni, hanya cukup untuk makan.
"Sisa uang kami kumpulkan agar bisa membayar ojek ke rumah sakit. Itupun kadang-kadang tidak langsung dibayar, nunggu ada uang lagi," kata Giseroseni.
Meski untuk tranfusi gratis, namun biaya transport ke rumah sakit acapkali jadi kendala. Tak jarang, demi kesembuhan anaknya, Giseroseni berhutang.
"Dulu pernah beberapa kali diantar oleh Baznas, tapi kadang bisa kadang tidak. Apalagi ditambah sekarang masa pandemi jadi lebih susah," imbuhnya.
Di lingkungan keluarga ini, Eva tak sendirian mengidap thallasemia. Dari empat buah hati pasangan Giseroseni dan Sunarso (47), tiga anak mengidap thallasemia. Anak pertama Sumiarti (26), mengidap penyakit tersebut ketika berusia 12 tahun. Sedang anak kedua, Keriyani (25) mengidap thallasemia sejak berusia 14 tahun.
Giseroseni bercerita, kediaman mereka yang terpelosok membuatnya cukup kesulitan untuk mengetahui sejak awal jenis penyakit yang diderita oleh anak-anaknya. Baru setelah ke RS Goeteng, ia mengetahui, bahwa thalasemia yang kerap membuat anak-anaknya mengeluh lemas.
Sumiarti, si anak sulung, pernah merasa dijauhi teman-temannya karena takut akan tertular penyakitnya. Selain itu ia kerap mendapat cibiran ketika perutnya membuncit. Teman-temannya pernah mengira ia sedang hamil.
Aktivitas sehari-hari Sumarni, menyulam bulu mata palsu yang populer disebut mengidep di Purbalingga. Meski uang yang ia peroleh tak seberapa, kegiatan ini baginya dapat mengisi kegiatan di rumah. Pasalnya, kondisi kesehatannya tak memungkinkan bagi Sumari untuk bekerja diluar rumah.
Ia dan adiknya, Keriyani, mesti berhenti sekolah karena sering alami sakit-sakitan.
"Memang tidak melanjutkan lagi karena tidak ada biaya," katanya.
Problem lain yang dialami keluarga ini di masa pandemi covid-19, mereka kesulitan untuk transfusi darah. Pasalnya, jumlah stok darah di rumah sakit berkurang.
"Biasanya dapat 2-3 kantong, kalau sekarang paling 1 kantong, itupun kalo ada semua. Kalau nggak ada ya gantian transfusinya," kata Sumarni sembari membereskan bulu mata palsu hasil kerjaannya.
(mdk/rhm)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Berikut kisah siswa kelas 1 SDN rela jalan kaki ke sekolah demi mengejar cita-cita.
Baca SelengkapnyaViral perjuangan siswa di Samosir harus berjalan kaki menuju sekolah dalam keadaan hari masih gelap.
Baca SelengkapnyaPerjalanan ke tempat bertugasnya itu harus ditempuh dengan penuh perjuangan.
Baca SelengkapnyaPerjuangan guru yang mengajar di sekolah terpencil ini viral di tiktok, berangkat lewati jalan berlumpur hingga muara.
Baca SelengkapnyaAda perjuangan dan kerja keras dari sosok bocah bernama Iyyang.
Baca SelengkapnyaTantangan yang dihadapinya bukan hanya soal jalanan yang rusak, tetapi juga hewan-hewan liar di sepanjang perjalanan.
Baca SelengkapnyaSeorang perempuan bernama Amanda berhasil membuat haru karena kisahnya yang mampu bangkit dari keterpurukan hidup.
Baca SelengkapnyaBerikut momen AKBP Aryuni Novitasari mengenang masa lalu saat menuju sekolah SMP.
Baca SelengkapnyaBahkan, para guru ini harus menggunakan perahu untuk menuju ke tempat sekolah tersebut.
Baca SelengkapnyaSetiap hari mereka menyeberang sungai itu tanpa didampingi orang tua
Baca SelengkapnyaSang ayah mengadu hingga diberi solusi oleh politikus Dedi Mulyadi.
Baca Selengkapnya