Koalisi Guru Besar Antikorupsi Surati MK, Minta Batalkan Revisi UU KPK
Merdeka.com - Koalisi Guru Besar Antikorupsi Indonesia mengirimkan surat kepada Mahkamah Konstitusi (MK) meminta agar pengundangan revisi UU KPK dibatalkan. Koalisi ini terdiri dari 51 Guru Besar dari berbagai universitas di Indonesia.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan vonis atas uji materi UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 pada hari Selasa 4 Mei 2021.
Berikut isi surat dari para guru besar seperti dikutip dari keterangan tertulis yang diterima merdeka.com, Jumat (30/4).
-
Siapa yang ingin mundur dari KPK? 'Da seingat saya malah Pak Agus sempat mau mengundurkan diri itu. Jadi untuk bertahan dalam komitmen untuk perkara SN tetap dijalankan. itu Pak Agus sempat mau mengundurkan diri,' kata dia.
-
Siapa yang menggugat Dewas KPK? Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku sudah mengantisipasi gugatan pimpinan KPK Nurul Guhfron di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menguji materi etiknya karena membantu mutasi ASN di Kementan dari pusat ke daerah.
-
Siapa yang minta perguruan tinggi verifikasi data KIP Kuliah? Oleh karena itu, Suharti meminta perguruan tinggi untuk segera melakukan identifikasi dan verifikasi data mahasiswa penerima KIP Kuliah yang sedang berjalan atau belum menerima KIP Kuliah pada semester genap 2023/2024, serta berkoordinasi dengan Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) Kemendikbudristek untuk memproses pencairan.
-
Siapa yang dicopot dari jabatan Ketua MK? MKMK menyatakan Anwar Usman dicopot dari jabatannya karena terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
-
Siapa yang mengajukan gugatan ke MK? Diketahui, ada 11 pihak yang menggugat aturan batas usia capres dan cawapres ke MK. Dengan sejumlah petitum.
Yth. Yang Mulia Hakim Konstitusi Republik Indonesia
Perihal: Permohonan Pembatalan Pengundangan Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi
Dengan hormat,Bapak dan Ibu Yang Mulia Hakim Konstitusi Republik Indonesia, teriring doa dari kami agar seluruh penjaga konstitusi (guardian of constitution) selalu diberi kesehatan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Melalui surat ini izinkan kami menyampaikan situasi terkini pemberantasan korupsi paska perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang 19 Tahun 2019.
Nasib pemberantasan korupsi sedang berada di ujung tanduk, sebagaimana yang dapat kita lihat dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 lalu, Bapak dan Ibu Yang Mulia Hakim Konstitusi. Jika ditarik sejak pembentuk undang-undang merevisi UU KPK, berturut-turut permasalahan datang menghampiri badan antikorupsi yang selama ini kita andalkan. Alih-alih memperkuat, eksistensi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 justru memperlemah pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Situasi ini sangat bertolak belakang dengan cita-cita pembentukan KPK yang menitikberatkan pada upaya pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, danberkesinambungan.
Seperti yang diketahui bersama, substansi UU No 19 Tahun 2019 secara terang benderang telah melumpuhkan lembaga antirasuah itu, baik dari sisi profesionalitas dan integritasnya. Kita dapat membentang masalah krusial dalam UU, mulai dari hilangnya independensi, pembentukan dan fungsi berlebih Dewan Pengawas, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sampai pada alih status kepegawaian KPK ke ASN. Sehingga, akibat perubahan politik hukum pemerintah dan DPR itu, terdapat persoalan serius yang berimplikasi langsung pada penanganan perkara tindak pidana korupsi. Dua di antaranya, kegagalan KPK dalam memperoleh barang bukti saat melakukan penggeledahan di Kalimantan Selatan dan penerbitan SP3 untuk perkara mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
KPK juga mengalami degradasi etika yang cukup serius. Pelanggaran kode etik, pencurian barang bukti, dan praktik penerimaan gratifikasi serta suap untuk menghentikan perkara korupsi yang ditangani pelan tapi pasti telah merusak reputasi KPK yang sejak lama justru jadi barometer badan antikorupsi yang cukup ideal.
Tidak hanya itu, bahkan proses pengesahan revisi UU KPK juga diwarnai dengan permasalahan serius, terutama ihwal proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana Bapak dan Ibu Hakim Konstitusi ketahui, Undang-Undang KPK hasil perubahan dikerjakan secara kilat (14 hari) oleh pemerintah dan DPR. Tentu secara kasat mata sudah dapat dipahami bahwa pembahasan regulasi itu juga telah mengabaikan partisipasi masyarakat karena prosesnya tertutup dan tidak akuntabel. Padahal, UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara tegas menjamin partisipasi masyarakat dalam setiap proses dan tahapan legislasi. Jika praktik ini dianggap benar bukan hanya isu tertib hukum saja yang dilanggar, namun jauh lebih esensial, yakni mempertaruhkan masa depan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Kian melemahnya iklim pemberantasan korupsi di Indonesia juga tergambar dalam riset Transparency International beberapa waktu lalu. Kala itu, TI menemukan fakta bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2020 merosot tajam, baik dari segi skor maupun peringkat.
Singkatnya, sebelum UU KPK direvisi, Indonesia berada pada peringkat 85 dunia dengan skor IPK 40. Namun semuanya berubah setelah revisi UU KPK dilakukan. Citra Indonesia di mata dunia semakin memburuk dengan turunnya peringkat menjadi 102 dan degradasi skor tiga poin menjadi 37. IPK ini tentunya dapat mencerminkan bahwa arah politik hukum semakin menjauh dari penguatan pemberantasan korupsi.
Pada konteks lain, kepercayaan publik kepada KPK juga merosot drastis. Sepanjang tahun 2020 semenjak UU KPK baru berlaku, KPK semakin menjauh dari ekspektasi publik. Dalam pemantauan kami, setidaknya delapan lembaga survei telah mengonfirmasi hal tersebut. Padahal, sebagaimana diketahui oleh Bapak dan Ibu Yang Mulia Hakim Konstitusi, selama ini KPK praktis selalu mendapatkan apresiasi dan citra positif di mata publik.
Berangkat dari permasalahan yang telah disampaikan, kami menaruh harapan besar pada Mahkamah Konstitusi untuk mengembalikan kondisi pemberantasan korupsi seperti sedia kala. Harapan itu hanya akan terealisasi jika Bapak dan Ibu Yang Mulia Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi UU KPK hasil revisi. Jika itu dilakukan, kami yakin penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, akan kembali pada ke khittahnya.
Pada akhir surat ini, kami ingin mengutip kembali konsiderans UU Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hormat Kami,Koalisi Guru Besar Antikorupsi Indonesia
Beberapa guru besar yang menandatangani surat itu adalah Prof Emil Salim (Guru Besar FEB UI), Prof Sulistyowati Irianto (Guru Besar FH UI), Prof Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah), Prof Sigit Riyanto (Guru Besar FH UGM), Prof Ni'matul Huda (Guru Besar FH UII), Prof. em. Dr. Franz Magnis-Suseno (Guru Besar STF Driyarkara), dan Prof Jan S Aritonang (Guru Besar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta).
Total ada 51 nama guru besar yang tergabung dalam koalisi ini.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dewan Guru Besar UI menilai revisi UU Pilkada dapat menimbulkan sengketa antarlembaga tinggi, seperti MK versus DPR, yang akan merusak kehidupan bernegara.
Baca SelengkapnyaRombongan massa aksi mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Pilkada mulai berdatangan ke Gedung MK.
Baca Selengkapnyanies Baswedan mengaku senang berbagai kampus turut menyuarakan kepeduliannya terhadap kondisi demokrasi.
Baca SelengkapnyaRevisi UU Pilkada dinilai menguntungkan individu atau kelompok tertentu sehingga dianggap merupakan bentuk korupsi kebijakan.
Baca SelengkapnyaPeristiwa sosial, politik, ekonomi dan hukum belakangan ini sebuah rangkaian dari menurunya kualitas demokrasi selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Baca SelengkapnyaRevisi ini dinilai sebagai praktik pembegalan demokrasi yang secara nyata dipertontonkan kepada publik.
Baca SelengkapnyaDewan Guru Besar UI Sampaikan Petisi Kritik Pemerintah Jokowi, Rektor Tidak Hadir
Baca SelengkapnyaMAKI sebelumnya mengajukan permohonan uji materi ke MK terkait masa jabatan pimpinan KPK yang telah diubah menjadi 5 tahun.
Baca SelengkapnyaKoentjoro menerangkan jika pihaknya menilai masa pemerintahan Jokowi saat ini telah melakukan penyimpangan dari nilai-nilai demokrasi
Baca SelengkapnyaLewat Kampus Menggugat ini, civitas akademika UGM menyerukan untuk bersama-sama mengembalikan etika dan konstitusi di Indonesia.
Baca SelengkapnyaMahasiswa di Bali Tuntut Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari Mundur
Baca SelengkapnyaAlumni Unas mendesak agar lembaga negara netral dalam pemilu 2024
Baca Selengkapnya