Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Koalisi Guru Besar Antikorupsi Surati MK, Minta Batalkan Revisi UU KPK

Koalisi Guru Besar Antikorupsi Surati MK, Minta Batalkan Revisi UU KPK Gedung Mahkamah Konstitusi. ©2018 Liputan6.com/Immanuel Antonius

Merdeka.com - Koalisi Guru Besar Antikorupsi Indonesia mengirimkan surat kepada Mahkamah Konstitusi (MK) meminta agar pengundangan revisi UU KPK dibatalkan. Koalisi ini terdiri dari 51 Guru Besar dari berbagai universitas di Indonesia.

Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan vonis atas uji materi UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 pada hari Selasa 4 Mei 2021.

Berikut isi surat dari para guru besar seperti dikutip dari keterangan tertulis yang diterima merdeka.com, Jumat (30/4).

Yth. Yang Mulia Hakim Konstitusi Republik Indonesia

Perihal: Permohonan Pembatalan Pengundangan Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi

Dengan hormat,Bapak dan Ibu Yang Mulia Hakim Konstitusi Republik Indonesia, teriring doa dari kami agar seluruh penjaga konstitusi (guardian of constitution) selalu diberi kesehatan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Melalui surat ini izinkan kami menyampaikan situasi terkini pemberantasan korupsi paska perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang 19 Tahun 2019.

Nasib pemberantasan korupsi sedang berada di ujung tanduk, sebagaimana yang dapat kita lihat dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 lalu, Bapak dan Ibu Yang Mulia Hakim Konstitusi. Jika ditarik sejak pembentuk undang-undang merevisi UU KPK, berturut-turut permasalahan datang menghampiri badan antikorupsi yang selama ini kita andalkan. Alih-alih memperkuat, eksistensi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 justru memperlemah pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Situasi ini sangat bertolak belakang dengan cita-cita pembentukan KPK yang menitikberatkan pada upaya pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, danberkesinambungan.

Seperti yang diketahui bersama, substansi UU No 19 Tahun 2019 secara terang benderang telah melumpuhkan lembaga antirasuah itu, baik dari sisi profesionalitas dan integritasnya. Kita dapat membentang masalah krusial dalam UU, mulai dari hilangnya independensi, pembentukan dan fungsi berlebih Dewan Pengawas, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sampai pada alih status kepegawaian KPK ke ASN. Sehingga, akibat perubahan politik hukum pemerintah dan DPR itu, terdapat persoalan serius yang berimplikasi langsung pada penanganan perkara tindak pidana korupsi. Dua di antaranya, kegagalan KPK dalam memperoleh barang bukti saat melakukan penggeledahan di Kalimantan Selatan dan penerbitan SP3 untuk perkara mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

KPK juga mengalami degradasi etika yang cukup serius. Pelanggaran kode etik, pencurian barang bukti, dan praktik penerimaan gratifikasi serta suap untuk menghentikan perkara korupsi yang ditangani pelan tapi pasti telah merusak reputasi KPK yang sejak lama justru jadi barometer badan antikorupsi yang cukup ideal.

Tidak hanya itu, bahkan proses pengesahan revisi UU KPK juga diwarnai dengan permasalahan serius, terutama ihwal proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana Bapak dan Ibu Hakim Konstitusi ketahui, Undang-Undang KPK hasil perubahan dikerjakan secara kilat (14 hari) oleh pemerintah dan DPR. Tentu secara kasat mata sudah dapat dipahami bahwa pembahasan regulasi itu juga telah mengabaikan partisipasi masyarakat karena prosesnya tertutup dan tidak akuntabel. Padahal, UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara tegas menjamin partisipasi masyarakat dalam setiap proses dan tahapan legislasi. Jika praktik ini dianggap benar bukan hanya isu tertib hukum saja yang dilanggar, namun jauh lebih esensial, yakni mempertaruhkan masa depan kehidupan demokrasi di Indonesia.

Kian melemahnya iklim pemberantasan korupsi di Indonesia juga tergambar dalam riset Transparency International beberapa waktu lalu. Kala itu, TI menemukan fakta bahwa Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2020 merosot tajam, baik dari segi skor maupun peringkat.

Singkatnya, sebelum UU KPK direvisi, Indonesia berada pada peringkat 85 dunia dengan skor IPK 40. Namun semuanya berubah setelah revisi UU KPK dilakukan. Citra Indonesia di mata dunia semakin memburuk dengan turunnya peringkat menjadi 102 dan degradasi skor tiga poin menjadi 37. IPK ini tentunya dapat mencerminkan bahwa arah politik hukum semakin menjauh dari penguatan pemberantasan korupsi.

Pada konteks lain, kepercayaan publik kepada KPK juga merosot drastis. Sepanjang tahun 2020 semenjak UU KPK baru berlaku, KPK semakin menjauh dari ekspektasi publik. Dalam pemantauan kami, setidaknya delapan lembaga survei telah mengonfirmasi hal tersebut. Padahal, sebagaimana diketahui oleh Bapak dan Ibu Yang Mulia Hakim Konstitusi, selama ini KPK praktis selalu mendapatkan apresiasi dan citra positif di mata publik.

Berangkat dari permasalahan yang telah disampaikan, kami menaruh harapan besar pada Mahkamah Konstitusi untuk mengembalikan kondisi pemberantasan korupsi seperti sedia kala. Harapan itu hanya akan terealisasi jika Bapak dan Ibu Yang Mulia Hakim Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi UU KPK hasil revisi. Jika itu dilakukan, kami yakin penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, akan kembali pada ke khittahnya.

Pada akhir surat ini, kami ingin mengutip kembali konsiderans UU Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hormat Kami,Koalisi Guru Besar Antikorupsi Indonesia

Beberapa guru besar yang menandatangani surat itu adalah Prof Emil Salim (Guru Besar FEB UI), Prof Sulistyowati Irianto (Guru Besar FH UI), Prof Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah), Prof Sigit Riyanto (Guru Besar FH UGM), Prof Ni'matul Huda (Guru Besar FH UII), Prof. em. Dr. Franz Magnis-Suseno (Guru Besar STF Driyarkara), dan Prof Jan S Aritonang (Guru Besar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta).

Total ada 51 nama guru besar yang tergabung dalam koalisi ini.

(mdk/bal)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Dewan Guru Besar UI Desak DPR Hentikan Revisi UU Pilkada
Dewan Guru Besar UI Desak DPR Hentikan Revisi UU Pilkada

Dewan Guru Besar UI menilai revisi UU Pilkada dapat menimbulkan sengketa antarlembaga tinggi, seperti MK versus DPR, yang akan merusak kehidupan bernegara.

Baca Selengkapnya
FOTO: Padati Depan Gedung MK, Massa dari Forum Guru Besar hingga Aktivis 98 Rapatkan Barisan Kawal Konstitusi dan Demokrasi
FOTO: Padati Depan Gedung MK, Massa dari Forum Guru Besar hingga Aktivis 98 Rapatkan Barisan Kawal Konstitusi dan Demokrasi

Rombongan massa aksi mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Pilkada mulai berdatangan ke Gedung MK.

Baca Selengkapnya
Muncul Gerakan Universitas Selamatkan Demokrasi, Anies: Kampus Bicara Setelah Tangkap Suara Rakyat
Muncul Gerakan Universitas Selamatkan Demokrasi, Anies: Kampus Bicara Setelah Tangkap Suara Rakyat

nies Baswedan mengaku senang berbagai kampus turut menyuarakan kepeduliannya terhadap kondisi demokrasi.

Baca Selengkapnya
Revisi UU Pilkada Bentuk Korupsi Kebijakan, ICW Minta Pembahasan Dihentikan
Revisi UU Pilkada Bentuk Korupsi Kebijakan, ICW Minta Pembahasan Dihentikan

Revisi UU Pilkada dinilai menguntungkan individu atau kelompok tertentu sehingga dianggap merupakan bentuk korupsi kebijakan.

Baca Selengkapnya
Giliran Guru Besar hingga Alumni Unpad buat Petisi Kritik Pemerintah
Giliran Guru Besar hingga Alumni Unpad buat Petisi Kritik Pemerintah

Peristiwa sosial, politik, ekonomi dan hukum belakangan ini sebuah rangkaian dari menurunya kualitas demokrasi selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Baca Selengkapnya
Iluni FH UI Tolak RUU Pilkada Anulir Putusan MK: Pembegalan Demokrasi Nyata Dipertontonkan
Iluni FH UI Tolak RUU Pilkada Anulir Putusan MK: Pembegalan Demokrasi Nyata Dipertontonkan

Revisi ini dinilai sebagai praktik pembegalan demokrasi yang secara nyata dipertontonkan kepada publik.

Baca Selengkapnya
Dewan Guru Besar UI Sampaikan Petisi Kritik Pemerintah Jokowi, Rektor Tidak Hadir
Dewan Guru Besar UI Sampaikan Petisi Kritik Pemerintah Jokowi, Rektor Tidak Hadir

Dewan Guru Besar UI Sampaikan Petisi Kritik Pemerintah Jokowi, Rektor Tidak Hadir

Baca Selengkapnya
Tolak Gugatan MAKI, MK Tetap Perpanjang Masa Jabatan Pimpinan KPK Menjadi 5 Tahun
Tolak Gugatan MAKI, MK Tetap Perpanjang Masa Jabatan Pimpinan KPK Menjadi 5 Tahun

MAKI sebelumnya mengajukan permohonan uji materi ke MK terkait masa jabatan pimpinan KPK yang telah diubah menjadi 5 tahun.

Baca Selengkapnya
VIDEO: Barisan Guru Besar UGM Kritik Jokowi Pakai Petisi Bulaksumur: Menyimpang dari Dekokrasi!
VIDEO: Barisan Guru Besar UGM Kritik Jokowi Pakai Petisi Bulaksumur: Menyimpang dari Dekokrasi!

Koentjoro menerangkan jika pihaknya menilai masa pemerintahan Jokowi saat ini telah melakukan penyimpangan dari nilai-nilai demokrasi

Baca Selengkapnya
Civitas Akademika UGM Gelar Kampus Menggugat, Serukan Tegaknya Etika dan Konstitusi
Civitas Akademika UGM Gelar Kampus Menggugat, Serukan Tegaknya Etika dan Konstitusi

Lewat Kampus Menggugat ini, civitas akademika UGM menyerukan untuk bersama-sama mengembalikan etika dan konstitusi di Indonesia.

Baca Selengkapnya
Mahasiswa di Bali Tuntut Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari Mundur
Mahasiswa di Bali Tuntut Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari Mundur

Mahasiswa di Bali Tuntut Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari Mundur

Baca Selengkapnya
Giliran Alumni Unas Bikin Petisi Selamatkan Demokrasi, ASN, TNI-Polri dan KPU Diminta Netral di Pemilu
Giliran Alumni Unas Bikin Petisi Selamatkan Demokrasi, ASN, TNI-Polri dan KPU Diminta Netral di Pemilu

Alumni Unas mendesak agar lembaga negara netral dalam pemilu 2024

Baca Selengkapnya