MK Tolak Gugatan Risma-Gus Hans dan Danny Pomanto-Azhar Arsyad Terkait Hasil Pilkada 2024
Menurut MK, dalil Pemohon terkait adanya manipulasi suara untuk paslon 02 Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak dalam Sirekap tidak beralasan menurut hukum.

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak menerima gugatan sengketa Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur (Jatim) 2024 yang dilayangkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur nomor urut 03 Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta Gus Hans.
"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," tutur Ketua MK Suhartoyo dalam sidang putusan dismissal sengketa Pilkada 2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (4/2).
Wakil Ketua MK Saldi Isra mengulas, bahwa dalil Pemohon terkait adanya manipulasi suara untuk paslon 02 Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak dalam Sirekap tidak beralasan menurut hukum. Seperti soal persentase perolehan suara yang ada di Sirekap disebutnya dapat selalu stabil pada angka tertentu.
"Andai pun benar stabilnya persentase perolehan suara paslon nomor urut 02 pada Sirekap merupakan manipulasi, quod non, Pemohon tidak mendalilkan dalam permohonannya bahwa manipulasi pada Sirekap juga terjadi pada penghitungan suara riil yang dilakukan Termohon yang kemudian dilakukan rekapitulasi secara berjenjang pada tingkatan di atasnya," ujar Saldi.
Kemudian soal dalil adanya pengurangan suara untuk pasangan Risma-Gus Hans dan penambahan untuk pasangan Khofifah-Emil, hal itu juga dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Pihak Risma-Gus Hans juga dinilai tidak dapat membuktikan dugaan atas dampak penyaluran bansos program keluarga harapan terhadap elektabilitas pasangan Khofifah-Emil. Dengan begitu, kesimpulan yang diambil Pemohon disebut bersifat asumtif.
"Bahwa dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil Pemohon yang menyatakan penyaluran Bansos PKH telah menguntungkan elektabilitas pasangan calon tertentu adalah tidak beralasan menurut hukum," ujar Saldi.
MK Tolak Juga Gugatan Danny Pomanto-Azhar Arsyad
Tak hanya Risma-Gus Hans, gugatan paslon gubernur-wakil gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) nomor urut 01 Moh Ramdhan Pomanto alias Danny Pomanto dan Azhar Arsyad juga ditolak MK.
Menurut Mahkamah, Pemohon tidak dapat membuktikan lebih lanjut dalil-dalil permohonan, sehingga gugatan dinilai tidak beralasan menurut hukum.
“Dalam pokok permohonan menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” tutur Ketua MK Suhartoyo.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyampaikan, Mahkamah berpendapat terhadap permohonan ini tidak terdapat alasan untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon sebagai syarat formil dalam mengajukan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah.
Selain itu, MK juga tidak menemukan adanya kejadian khusus yang dapat dinilai telah menciderai penyelenggaraan Pilgub Sulsel 2024. Sebab itu, Mahkamah menilai tidak relevan untuk meneruskan permohonan a quo pada pemeriksaan persidangan lanjutan dengan agenda pembuktian.
Seperti soal selisih perolehan suara Pemohon dengan paslon peraih suara terbanyak untuk dapat mengajukan permohonan PHPU Gubernur Sulsel 2024 adalah 46.143 suara, sebagaimana 1 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan KPU Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 4.614.284 suara.
Sedangkan perbedaan perolehan suara antara Pemohon yakni 1.600.029 suara dan Pihak Terkait sebagai paslon peraih suara terbanyak yaitu 3.014.255 suara, adalah 1.414.226 suara atau 34,68 persen, sehingga selisih perolehan suara antara Pemohon dan paslon peraih suara terbanyak melebihi ketentuan 1 persen tersebut.
Tolak Gugatan Sengketa Pilgub Sultra 2024
MK memutus tidak menerima permohonan Perkara Nomor 249/PHPU.GUB-XXIII/2025 terkait sengketa Pemilihan Gubernur (Pilgub) atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) yang diajukan pasangan calon (paslon) gubernur-wakil gubernur nomor urut 04 Tina Nur Alam dan La Ode Muh Ihsan Taufik Ridwan.
Menurut Mahkamah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) sebagai syarat formil pengajuan permohonan.
“Dalam pokok permohonan, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” tutur Suhartoyo.
Hakim Konstitusi Arsul Sani mengulas bahwa tidak terdapat alasan untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 158 UU Pilkada yang berkaitan dengan kedudukan hukum Pemohon sebagai syarat formil dalam mengajukan permohonan sengketa Pilgub Sultra 2024.
Mahkamah juga tidak menemukan adanya kejadian khusus yang dapat dinilai telah mencederai penyelenggaraan Pilgub Sultra 2024, sehingga dapat dijadikan alasan menyampingkan Pasal 158 UU Pilkada.
Sebab itu, MK menyatakan tidak relevan untuk meneruskan permohonan tersebut pada pemeriksaan persidangan lanjutan. Arsul juga menjelaskan selisih perolehan suara Pemohon dengan paslon peraih suara terbanyak untuk dapat mengajukan permohonan sengketa Pilgub Sultra 2024 adalah 22.194 suara, sebagaimana 1,5 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan KPU Provinsi Sultra sebanyak 1.479.591 suara.
Sedangkan perbedaan perolehan suara antara Pemohon yakni 308.373 suara dan Pihak Terkait sebagai paslon peraih suara terbanyak yaitu 775.183 suara, adalah 466.810 suara atau 31,55 persen. Dengan demikian, selisih perolehan suara antara Pemohon dan paslon peraih suara terbanyak melebihi ketentutan 1,5 persen tersebut.
“Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” ungkap Arsul.
Tidak ketinggalan, Mahkamah menyebut permohonan gugatan diajukan oleh paslon 04 Tina Nur Alam dan La Ode Muh Ihsan Taufik Ridwan. Sementara, ihwal surat pencabutan kuasa dan penarikan permohonan oleh La Ode Muh Ihsan tidak dilakukan sebagaimana mestinya, karena hanya disampaikan ke MK dan tidak kepada kuasa hukum, sehingga Mahkamah menyatakan menolak penarikan dimaksud.
Namun begitu, dalil-dalil yang diajukan dalam permohonan juga dinilai tidak beralasan menurut hukum, sehingga Mahkamah memberlakukan ketentuan Pasal 158 UU Pilkada.
Termasuk dalil adanya pemalsuan tanda tangan Ketua DPD Partai Hanura Provinsi Sultra, serta pelanggaran administratif dan politik uang secara terstruktur, sistematis, dan masif di 13 kabupaten/kota di Sultra telah terbantahkan berdasarkan sidang dengan agenda Mendengarkan Jawaban Termohon, Keterangan Pihak Terkait, dan Keterangan Bawaslu dalam perkara ini.
“Bukti-bukti lain yang diajukan Pemohon berupa foto dan video dapat dinilai terlalu sumir untuk membenarkan adanya dugaan politik uang dimaksud. Bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon tersebut tidak cukup meyakinkan Mahkamah terkait terjadinya pelanggaran berupa money politic yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masih sehingga kemudian dapat mempengaruhi perolehan hasil suara pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara Tahun 2024,” kata Arsul.
MK Kabulkan Penarikan Gugatan Pilgub Kalteng 2024
Pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) nomor urut 01 Willy Midel Yoseph-Habib Ismail Bin Yahya menarik gugatan Pilgub Kalteng 2024. Atas hal tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan mengabulkan penarikan kembali permohonan tersebut.
“Menetapkan mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon Nomor 269/PHPU.GUB-XXIII/2025. Menyatakan permohonan a quo ditarik kembali, para Pemohon tidak dapat mengajukan permohonan kembali,” tutur Suhartoyo.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan, berdasarkan fakta hukum dan ketentuan perundang-undangan, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) pada tanggal 30 Januari 2025 telah berkesimpulan terhadap permohonan penarikan perkara tersebut adalah beralasan menurut hukum.
“Para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan a quo serta memerintahkan pada Panitera MK untuk mengembalikan salinan berkas permohonan kepada para Pemohon,” kata Enny.