Naik Kelas karena Ekonomi Digital
Hadirnya ekonomi digital tidak melulu demi pemasukan negara. Manfaat ini juga dirasakan masyarakat yang ingin mengubah nasib hidupnya menjadi lebih baik.
"Terima kasih ya Kakak, ditunggu pengirimannya." Kalimat itu meluncur cepat dari mulut Dira. Pemudi asal Desa Gunan, Kecamatan Slogohimo, Kota Wonogiri itu baru saja menjajakan dagangannya. Dia bukan sedang di pasar. Sambil melirik layar ponsel di genggaman tangan, dia cekatan berjualan. Semua dikerjakan dari ruang tengah rumah yang cukup lapang.
Bermodal pencahayaan ring light dan tripod, Dira saban hari beraksi di depan kamera handphone selama beberapa jam. Di belakangnya terparkir bagian belakang mobil pick-up. Baknya penuh buah petai. Di sisi kanan dan kirinya juga bertumpuk berbatang-batang buah petai. Mengelilingi Dira yang duduk di kursi lipat.
"Awalnya iseng-iseng aja, gimana sih cara buka seller," kata Dira mengenang awal mula terjun ke bisnis online. Memakai kemeja biru navy dalam rekaman video Youtube Tanilink TV pada 11 bulan yang lalu, Dira memperkenalkan diri sebagai owner akun media sosial Produksi_Wonogiri.
Keisengan Dira dimulai dari Solo. Punya 5 papan petai, dia menjajal berjualan lewat live streaming media sosial. Satu papan petai biasanya berisi 10-18 biji petai. Tergantung kualitas tanaman. Tak disangka siaran iseng itu direspons. Sembulan pesanan masing-masing 5 papan petai datang. "Itu udah seneng banget," ujar dia riang.
Jiwa Dira bergejolak melihat antusias pembeli itu. Dia kembali membuat live streaming. Kali ini lebih mencengangkan. Lebih dari 2.000-3.000 warganet menonton tayangannya. Akun media sosialnya perlahan-lahan diikuti puluhan ribu pengikut.
Nama Dira kini dikenal sebagai juragan petai. Penjual tiga paket petai super, sedang, dan pendek tergantung jumlah biji per papan. Di musim panen, dia menjual petai super Rp 48 ribu untuk 16 keris. Untuk paket petai berisi 20 papan dijual seharga Rp 44 ribu. Paket termurah yaitu petai pendek dijual Rp 37 ribu berisi 22 keris petai. "Harganya kita mengikuti pasar," ujar dia.
Bermodal Rp 300 ribu untuk membeli petai, kini pesanannya melimpah. Pembelianya dari dalam negeri dan mancanegara. Dira membuktikan bisa naik kelas. Dari penjual petai di pasar menjadi eksportir petai ke pasar Hong Kong dan Taiwan.
Dira hanya satu contoh dari jutaan warga Indonesia yang sedang menikmati arus baru ekonomi di Tanah Air. Ekonomi digital atau digital Economy sebutan bekennya. Model ekonomi ini jadi primadona. Menjadi motor baru penggerak perekonomian dan memacu daya saing Indonesia di persaingan dunia.
Ekonomi digital Indonesia bukan baru sekarang terjadi. Sepuluh tahun lalu, atau pada 2014, deru mesin baru perekonomian ini semakin dinyalakan. Peta jalannya sudah dirancang sampai 2045. Memimpin IMD World Digital Competitiveness (WDC) Rangking di posisi 20 besar dunia. Target ambisius namun bukan tak mungkin bisa tercapai.
Bicara ekonomi digital bukan cuma e-Commerce. Masyarakat lazim menyebutnya online shop. Motor ekonomi baru ini bergerak sangat luas. Hampir di segala bidang dengan digitalisasi dan akses internet menjadi ruhnya.
Model ekonomi masa depan ini mengandalkan internet sebagai akses utamanya. Beruntung tingkat melek dunia maya warga Indonesia menggembirakan. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) punya datanya.
Hasil Survei Penetrasi Internet Indonesia 2024 menemukan jumlah pengguna internet Indonesia tahun ini mencapai 221.563.479 jiwa dari total populasi 278.696.200 jiwa penduduk Indonesia tahun 2023. Artinya hampir setiap warga Indonesia bisa mengakses internet.
Dengan jumlah tersebut, tingkat penetrasi internet Indonesia mencapai 79,5%. "Ini menandakan peningkatan konsisten grafik tren positif penetrasi internet Indonesia dalam lima tahun terakhir yang naik secara signifikan," ujar Ketua Umum APJII Muhammad Arif di akhir Januari 2024.
Bandingkan dengan kondisi di tahun 2018. Saat itu penetrasi internet Indonesia baru mencapai 64,8%. Pencapaian itu terus naik menjadi 73,7% pada 2020, 77,01% pada 2022, dan setahun lalu di angka 78,19%.
Banyaknya pengakses internet ini menjadi harta karun bagi ekonomi Indonesia. Coba saja lihat hasil riset terbaru eConomy SEA 2023. Pembuat riset bukan lembaga sembarang. Ada Google, Temasek, dan Bain & Company. Dari laporan setebal 124 halaman itu terpampang jelas pencapaian ekonomi digital Indonesia lewat perhitungan nilai penjualan bruto atau gross merchandise value (GMV).
Disebutkan nilai ekonomi digital pada tahun 2023 mencapai US$ 82 miliar. Angka ini naik 8% dari 2022 sebesar US$77 miliar, maupun tahun 2021 sebesar US$63 miliar. Kabar baiknya tak berhenti di situ saja.
Nilai ekonomi digital Indonesia di 2025 diproyeksikan menembus di atas US$100 miliar. Angka pastinya senilai US$109 miliar, atau tumbuh double digit sebesar 15% dari 2023. Pada 2030 lebih mencengangkan lagi. Angkanya mencapai kisaran US$210 miliar sampai US$360 miliar.
Sumber pertumbuhan ekonomi digital Indonesia di 2030 itu berasal dari bisnis e-Commerce sekitar US$160 miliar, transportasi dan makanan (US$20 miliar), online travel (US$15 miliar), dan online media (US$15 miliar).
Penikmat dari ekonomi digital yang makin menyala ini bukan saja korporasi besar. Ada ribuan perusahaan rintisan (startup) telah lahir. Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti pernah berucap Indonesia adalah negara keenam dunia yang punya startup terbanyak.
Indonesia punya 2.500 startup pada 2023. Jumlah itu lebih banyak dari negara-negara di Eropa. Jerman punya 2.410 startup, Prancis 1.620 startup, dan Spanyol melahirkan 1.464 startup. Sesama negara berkembang, Indonesia juga unggul dari Brasil dengan 1.177 startup yang berada di urutan kesepuluh.
Saat ini jumlah startup unicorn Indonesia berjumlah 15 perusahaan. Dari jumlah tersebut, 2 startup sudah naik kelas menjadi decacorn dan masuk kancah global. Unicorn dan decacorn adalah sebutan untuk startup yang memiliki valuasi senilai US$1 miliar dan US$10 miliar.
Startup di Indonesia bergerak di berbagai bidang dan dari beragam kelas usaha. Mulai dari skala raksasa sampai UMKM yang sudah Go Digital. Pertumbuhannya setiap tahun juga terus menjanjikan.
Data East Venture menyebutkan Jumlah UMKM Go Digital di Indonesia tahun 2020 sebanyak 12 juta. Angka itu naik menjadi 16,4 juta di 2021, lalu 20,9 juta di 2022, dan setahun kemarin menembus 27 juta. Di tahun ini, pemerintah menargetkan sebanyak 30 juta UMKM Go Digital.
Hadirnya ekonomi digital tidak melulu demi pemasukan negara. Manfaat ini juga dirasakan masyarakat yang ingin mengubah nasib hidupnya menjadi lebih baik. Dira dari Wonogiri sudah merasakannya. Dari kendala distribusi dan pembayaran saat berjualan konvensional, Dira kini punya pembeli yang lebih luas dari bayangannya. Semua berkat kemajuan teknologi digital di Indonesia.
Perubahan nasib itu pula yang dirasakan Dede Iskandar. Dia contoh pemuda yang naik kelas. Dede pernah jadi petugas kebersihan di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta, Bekerja 3 tahun mulai dari pukul 6 pagi sampai selesai di lokasi yang sudah ditentukan atasannya.
Dede kini jadi pengusaha. Ekonomi digital telah mengubah garis hidupnya. Tak lagi melanjutkan pekerjaan orang tua yang juga pernah bekerja sebagai petugas kebersihan di kebun binatang yang sama.
Bersama seorang temannya, pemuda berusia 35 tahun itu mengambil jalan nekat. Berhenti dari pekerjaan sebagai petugas kebersihan untuk menjadi founder usaha sendiri. Bermodal uang Rp300 ribu untuk promosi, dia mengadu nasib berjualan produk pembersih kendaraan Oxide Push Boundaries.
Pemuda lulusan SMK itu tak sepenuhnya nekat. Dia sudah membekali diri agar tak gagal membidani bisnis sendiri. Belajar marketing sampai riset pasar. Keputusan diambil Dede dengan menjual produknya di buah marketplace.
"Alhamdulillah sekarang rata-rata harian Rp700 ribu-800 ribu bersih. Kalau sebulan itu ada lah ratusan juta rupiah," ujar Dede sambil mengenang perjuangannya.