Profil 3 Hakim MK Dissenting Opinion Putusan Tolak Gugatan Sengketa Pilpres 2024 Anies dan Ganjar, Semuanya Senior
MK putuskan tolak seluruh gugatan yang diajukan pihak pemohon, namun ada 3 hakim MK yang nyatakan beda pendapat terkait putusan tersebut.
MK putuskan tolak seluruh gugatan yang diajukan pihak pemohon, namun ada 3 hakim MK yang nyatakan beda pendapat terkait putusan tersebut.
Profil 3 Hakim MK Dissenting Opinion Putusan Tolak Gugatan Sengketa Pilpres 2024 Anies dan Ganjar, Semuanya Senior
Mahkamah Konstitusi (MK) bacakan putusan Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pada senin (22/4).
MK putuskan tolak seluruh gugatan yang diajukan pihak pemohon, namun ada 3 hakim MK yang nyatakan beda pendapat (dissenting opinion) terkait putusan tersebut.
Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat adalah 3 hakim yang nyatakan dissenting opinion dalam sidang sengketa pilpres 2024. Berikut profil ketiga Hakim MK nyatakan dissenting opinion yang dirangkum Merdeka.com dari berbagai sumber.
Saldi Isra
Sosok yang dipanggil dengan sebutan Sal saat kecil ini lahir di Paninggalan, Solok, Sumatera Barat pada 20 Agustus 1968.
Saldi menempuh pendidikan S1 di Universitas Andalas dengan mengambil jurusan Hukum Tata Negara.
Lalu melanjutkan studi S2 di Institute of Postgraduate Studies and Research, University of Malaya Kuala Lumpur, Malaysia.
Dan menempuh Pendidikan S3 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Saldi merupakan seorang ahli hukum Indonesia yang dilantik sebagai Hakim Konstitusi sejak tahun 2017 gantikan Patrialis Akbar untuk periode jabatan 2017-2022. Sebelumnya ia adalah profesor hukum tata negara di Universitas Andalas.
Sejumlah penghargaan telah diraih Saldi sepanjang karirnya sebagai seorang hakim sekaligus akademisi, seperti penghargaan Pahlawan Muda Bidang Pemberantasan Korupsi Megawati Soekarno Putri Award, dan penghargaan Mahaputera Adiprana.
Di dissenting Opinionnya, Saldi soroti pelaksanaan Pemilu saat Orba.
Ia menyebut pelaksanaan pemilu saat orba tidak curang dan sesuai dengan standar mekanisme pemilu, namun curang secara empiris.
"Pemilu di masa Orde Baru pun berjalan memenuhi standar mekanisme yang ditentukan dalam UU Pemilu saat itu. Namun, secara empirik, Pemilu Orba tetap dinilai curang,"
Ucap Saldi di Gedung MK, Jakarta.
merdeka.com
Enny Nurbaningsih
Enny lahir di Pangkal Pinang, 27 Juni 1962. Ia menempuh pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Kemudian, melanjutkan pendidikan S2 jurusan Hukum Tata Negara di Universitas Padjajaran, dan menempuh pendidikan S3 Ilmu Hukum di Universitas Gadjah Mada.
Enny merupakan sosok hakim konstitusi perempuan di Indonesia yang diajukan Presiden Joko Widodo dan dilantik pada 13 Agustus 2018 untuk periode jabatan 2018-2032.
Sebelum jadi Hakim konstitusi, Enny menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN).
Enny juga merupakan sosok yang aktif berorganisasi, seperti Parliament Watch yang ia bentuk bersama Mahfud MD.
Ia juga terlibat dalam proses penataan regulasi baik di tingkat daerah maupun nasional.
Dalam dissenting opinionnya, enny sebutkan pemerintah tidak netral dalam proses kontestasi pemilu 2024.
Ia juga menyebut perlu adanya pemilu ulang di beberapa daerah.
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, dalil Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian, tidak sebagaimana yang dimohonkan Pemohon dalam petitumnya. Oleh karena diyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah yang telah dipertimbangkan di atas, maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah tersebut di atas," tutur Enny di Gedung MK, Jakarta.
Arief Hidayat
Arief Hidayat lahir pada 3 februari 1956 di Semarang.
Arief tempuh Pendidikan S1 di di Fakultas Hukum Universitas diponegoro.
Kemudian, melanjutkan Pendidikan S2 di Ilmu Hukum di Universitas Airlangga, sementara Pendidikan S3 ia tempuh di Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
Sebelum menjadi hakim konstitusi ia merupakan seorang akademisi. Ia pernah mengajar di program Magister Ilmu Hukum. Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro. Ia juga menjadi pengajar untuk program Doktor IlMu Lingkungan Universitas Diponegoro.
Arief dilantik jadi hakim konstitusi pada 1 April 2013.
Setelah dua tahun menjabat, ia terpilih untuk menjabat sebagai ketua hakim MK periode jabatan 2015-2017 gantikan posisi Hamdan Zoelva.
Kemudian, kembali jadi hakim ketua MK pada 14 Juli 2017-1 April 2018.
Dalam dissenting opinionnya Arief menyebut keberpihakan Jokowi pada paslon tertentu telah cederai sistem pemilu di Indonesia yang beresiko pada tindakan abuse of power.
"Tindakan ini secara jelas telah mencederai sistem keadilan Pemilu (electoral justice) yang termuat tidak hanya di dalam berbagai instrumen hukum internasional, tetapi juga diadopsi di dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mensyaratkan bahwa penyelenggaraan Pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil," ungkap Arief di Gedung MK, Jakarta.
Reporter Magang: Antik Widaya Gita Asmara