Sidang Harvey Moeis, Saksi Ungkap PT Timah 'Garap' Wilayah Abu-Abu Secara Masif
Hasil kerja sama itu pun membuat aktivitas penambangan makin masif hingga akhirnya membuat negara rugi hingga Rp300 triliun.
Hasil kerja sama antara PT Timah dengan pihak Smelter swasta rupanya memberikan dampak yang cukup siginifikan di lokasi penambangan timah yang terkejut di Bangka Belitung. Hasil kerja sama itu pun membuat aktivitas penambangan makin masif hingga akhirnya membuat negara rugi hingga Rp300 triliun.
Hal tersebut diungkapkan oleh mantan Kabid Pengawasan Tambang dan Pengangkutan PT Timah Tbk, Musda Anshori yang dihadirkan sebagai saksi dalam perkara korupsi komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah dalam sidang lanjutannya di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Jakarta Pusat, Senin (2/9).
Dia dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa Harvey Moeis, yang mewakili PT Refined Bangka Tin, Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin sejak tahun 2018, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin sejak tahun 2017.
Dikatakan Musda, aktivitas penambangan ilegal makin masif setelah PT Timah Tbk menjalin kerjasama dengan 5 smelter swasta.
"Ada pasokan bijih yang semakin melimpah di 2019. Saudara tahu apakah ini terkait dengan tadi, perjanjian dengan 5 smelter tadi Pak?" tanya jaksa.
"Itu ada efek besarnya Pak. Jadi dari situ kita, sangat keliatan signifikan penambahan produksinya dari sebelumnya," ujar Musda.
"Itu kan di 2019 ya. Saudara di lapangan apakah sepengetahuan Saudara, penambangan-penambangan yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang berbadan hukum dalam konteks tidak ada izin atau ilegal-lah. Ketika terjadinya kerja sama dengan smelter itu semakin marak atau semakin seperti apa Pak?" tanya jaksa.
"Ya semakin masif," jawab Musda.
Jaksa kemudian melanjutkan pertanyaannya perihal masif yang dimaksud.
Musda menjawab ada beberapa wilayah yang memang tidak bisa diterbitkan IUPnya oleh PT Timah. Wilayah tersebut disebutkan sebagai wilayah abu-abu.
Sementara hasil penambangan biji timah yang dilakukan secara ilegal tidak masuk ke PT Timah Tbk.
"Artinya kegiatan-kegiatan penambangan ilegal ini kan, PT Timah ini punya batasan Pak, ini saya jelaskan sedikit sebagai Kepala Bidang Pengawasan Tambang dan Pengangkutan. Kita punya IUP, di dalamnya tidak semuanya bisa kita terbitkan surat Pak. Jadi ada yang abu-abu lah, jadi ada kawasan hutan segala macam yang enggak bisa kita buatkan surat, jadi mungkin yang berasal dari situ ada yang dikerjakan masyarakat secara tradisional dan ada yang dikerjakan secara agak lebih modern Pak," Musda menjelaskan.
"Jadi di situlah sebenarnya produksi-produksi, sampai dengan saat ini, produksi yang masuk, dan itulah yang selama ini tidak masuk ke PT Timah. Jadi produksi kita di 2018 itu drop, produksi baloknya hanya sekitar 75 persen itu dari kompetitor kita, 25 persen dari PT Timah. Padahal wilayah IUP, perusahaan tambang kitalah yang memiliki paling luas sekitar sekitar 95 persen," tambah dia.
Sementara itu, untuk produksi timah hanya di wilayah IUP PT Timah Tbk hanya dikeluarkan untuk 5 smelter swasta saja. Diantaranya PT Refined Bangka Tin, PT Stanindo Inti Perkasa, CV Venus Inti Perkasa, PT Tinindo Internusa dan PT Sariwiguna Binasentosa.
"Sepengetahuan Saudara selaku Kepala Bidang Pengawasan, 75 persen kapasitas swasta ini yang tadi smelter swasta ini, perolehannya dari IUP Timah juga?" tanya jaksa.
"Ya kalau melihat kondisi itu, iya Pak. Saya yakinkan iya," ujar Musda.
"Kemudian kembali lagi tadi, penambangan kan semakin masif ya Pak, Saudara bisa menjelaskan penambangan yang dilakukan oleh para penambang ilegal ini menggunakan apa? menggunakan tradisional hanya mengkais atau ada yang menggunakan alat-alat berat?" tanya jaksa lagi
"Jadi juga ada dilakukan juga di lepas pantai yang menggunakan ponton isap jenis rajuk yang cukup modern. Jadi itu dilakukan," sebut saksi.
"Nah itu masif di 2019?" tanya jaksa.
"Iya, di kawasan-kawasan abu-abu," ujar Musda.