Calon tunggal dalam Pilkada dinilai lahirkan anomali
Merdeka.com - Tahun ini akan kembali diselenggarakan Pilkada serentak di ratusan daerah, baik skala provinsi, kabupaten dan kota. Pesta demokrasi ini merupakan salah satu babak prakondisi sebelum menuju Pilkada serentak nasional pada 2024 mendatang.
Dalam pelaksanaan Pilkada serentak pada tahun 2015 maupun 2017 lalu, muncul calon tunggal yang melawan kotak kosong. Pada Pilkada serentak 2015, ada tiga daerah yang memiliki calon tunggal di antaranya Blitar dan Tasikmalaya dari 269 daerah yang menyelenggarakan Pilkada serentak. Sedangkan pada 2017 jumlahnya calon tunggal meningkat di sembilan daerah dari 101 daerah yang mengikuti Pilkada serentak.
Menurut Direktur Perludem Titi Anggraeni, calon tunggal muncul karena keterdesakan, dan hal ini akan melahirkan anomali. Apalagi semakin kecil jumlah daerah yang mengikuti Pilkada serentak, tapi jumlah calon tunggalnya meningkat.
-
Apa itu Pilkada? Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah adalah proses demokratisasi di Indonesia yang memungkinkan rakyat untuk memilih kepala daerah mereka secara langsung.
-
Apa arti dari Pilkada? Pilkada artinya Pemilihan Kepala Daerah, Berikut Tahapannya Pilkada artinya proses pemilihan umum di Indonesia yang dilakukan untuk memilih kepala daerah.
-
Apa arti Pilkada? Pilkada adalah singkatan dari Pemilihan Kepala Daerah.
-
Mengapa Pilkada penting? Pilkada sangat penting dalam menjaga kestabilan dan keseimbangan kekuasaan di tingkat daerah.
-
Mengapa Pilkada diadakan? Tujuan utama dari Pilkada adalah untuk mewujudkan prinsip demokrasi di tingkat daerah.
-
Kenapa Pilkada penting? Pemilihan melalui Pilkada juga penting untuk menjaga kedaulatan rakyat. Dengan memberikan kekuasaan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin mereka sendiri, Pilkada mendorong partisipasi aktif masyarakat dan menghindari kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan segelintir orang atau kelompok.
Titi mengatakan, calon tunggal di Indonesia tak sejalan dengan fenomena calon tunggal di catur perpolitikan global. Dia mencontohkan di Inggris ada calon tunggal dalam pemilihan tapi terjadi di daerah yang skala daerah pemilihan dan jumlah pemilihannya kecil. Pengaruh eksistensi parpol dalam wilayah seperti itu tak terlalu signifikan.
"Calon tunggal di Indonesia terjadi di daerah-daerah yang jumlah pemilihnya besar dan parpol punya kekuatan yang cukup terdistribusi. Kita multi partai, bukan yang mengarah pada dua kekuatan partai besar," paparnya dalam diskusi 'Pilkada Bersih dan Kotak Kosong' yang diselenggarakan Rumah Media Institute di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (2/1).
Dia mencontohkan daerah dengan pemilih besar seperti Tulang Bawang Barat (Lampung) dan Kabupaten Landak (Kalimantan Barat) justru memiliki calon tunggal pada Pilkada tahun lalu. "Fenomena calon tunggal di kita anomalinya adalah dapilnya besar, pemilihnya banyak di tengah sistem multipartai dan kita tidak kekurangan kader dan institusi politik untuk berkompetisi," jelasnya. Dengan keadaan ini seharusnya partai merasa terganggu eksistensinya.
Selain itu muncul juga fenomena relasi yang kuat calon tunggal karena pengaruh calon petahana. Dalam beberapa Pilkada pada 2015 dan 2017 calon tunggal berkaitan erat dengan petahana.
"Hampir semua melibatkan petahana, 90 persen petahana. Sisanya bukan petahana tapi terhubung dengan kekuatan yang sedang menjabat," ujarnya.
Kemunculan calon tunggal seharusnya alamiah, tak perlu campur tangan petahana demi mempertahankan atau memperpanjang kekuasaan. "Pencalonan di Pilkada bukan ruang untuk merebut kekuasaan atau memenangkan kontestasi. Mestinya Pilkada dilihat sebagai medium uji kemampuan, uji ketangguhan partai di dalam mengukur daya tarung kelembagaan partai, kekuatan partai untuk merebut pengaruh pemilih. Kalau Pilkada ditempatkan seperti itu maka menang-kalah jadi target kedua," papar Titi.
Kekalahan dalam Pilkada harus dilihat sebagai batu uji untuk melihat kekuatan partai. Dari sana partai akan terus bertransformasi dengan jangkauan pemilih yang lebih luas dan Pilkada dijadikan arena menguji daya tarung partai sebagai institusi.
"Kenapa itu tak terjadi? Karena Pilkada hanya dilihat dengan pendekatan pragmatis menang atau kalah. Pilkada disimplifikasi hanya sebagai panggung transaksi kepentingan politik kepala daerah yang ujung-ujungnya hanya soal tukar menukar modal dan akses kekuasaan," jelasnya.
(mdk/fik)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Calon tunggal di Pilkada hanya satu kali kalah selama Pilkada berlangsung sejak 2015
Baca SelengkapnyaTerdapat 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah atau calon tunggal pada Pilkada Serentak 2024 berdasarkan data per Rabu (4/9).
Baca SelengkapnyaPoses kandidasi yang telah terjadi dalam Pilkada 2024 dinilai sangat jauh dari prinsip-prinsip demokrasi.
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi menyebut hal tersebut merupakan kenyataan demokrasi yang terjadi di daerah.
Baca SelengkapnyaRidwan Kamil-Suswono yang diusung koalisi gemuk, kemudian Pramono Anung dan Rano Karno calon dari PDIP.
Baca SelengkapnyaMuzani tetap berharap internal KIM tetap solid dalam Pilkada 2024 demi meraih kemenangan yang maksimal.
Baca SelengkapnyaSebanyak 37 daerah hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah atau biasa disebut calon tunggal melawan kotak kosong pada Pilkada Serentak 2024.
Baca SelengkapnyaKesempatan itu diberikan karena KPU berkomitmen mendorong daerah-daerah agar tidak ada calon tunggal selama proses pencalonan pada Pilkada 2024.
Baca SelengkapnyaSalah satu alasan DPR mewacana hal tersebut karena melihat pertarungan dalam Pilkades lebih keras bahkan banyak korban jiwa.
Baca Selengkapnya"Tapi hati-hati tentang calon tunggal, itu lebih bahaya dari calon tidak tunggal," kata OSO
Baca SelengkapnyaPilkada menjadi ajang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin lokal yang terbaik.
Baca SelengkapnyaPakar hukum menilai putusan MK ini baik bagi demokrasi dan bisa mencegah monopoli pencalonan kepala daerah.
Baca Selengkapnya