Obat-obatan Terlarang di Masa Kini yang Dahulu Legal dan Biasa Digunakan sebagai Obat di Masa Lalu
Sejumlah obat yang pada saat ini dianggap terlarang, pada masa lalu sempat digunakan sebagai obat untuk mengatasi masalah kesehatan.
Sejumlah obat yang pada saat ini dianggap terlarang, pada masa lalu sempat digunakan sebagai obat untuk mengatasi masalah kesehatan.
-
Apa jenis narkoba yang diproduksi? Saat diringkus, polisi menemukan berbagai macam alat yang digunakan memproduksi ekstasi tersebut dan siap untuk diedarkan. Salah satunya yakni 416 gram serbuk warna biru (Methafetamine)
-
Bagaimana penyalahgunaan obat bisa membahayakan? Penyalahgunaan obat dapat berdampak serius pada kesehatan dan kehidupan seseorang.
-
Apa saja jenis obat yang sering disalahgunakan? Berikut beberapa jenis obat yang sering disalahgunakan beserta potensi bahayanya. 1. Tramadol 2. Triheksilfenidil 3. Amitriptilin 4. Klorpromazin 5. Haloperidol 6. Dekstrometorfan 7. Amfetamin 8. Antidepresan 9. Opioid 10. Benzodiazepin
-
Kenapa narkoba sangat berbahaya? Bukan hanya itu, narkoba bisa menimbulkan ketergantungan atau adiksi alias kecanduan yang berujung mengancam nyawa penggunanya.
-
Bagaimana narkoba bisa mengancam keberlanjutan negara? 'Kalau generasi muda kita sudah dihancurkan siapa yang akan melanjutkan keberlanjutan negara ini kalau kita tidak selesaikan dari generasi muda,' pungkasnya.
-
Mengapa orang menyalahgunakan obat? Hal ini menyebabkan obat digunakan bukan sebagai sarana kesehatan namun untuk pencarian sensasi, rekreasi, atau untuk menghindari masalah emosional.
Obat-obatan Terlarang di Masa Kini yang Dahulu Legal dan Biasa Digunakan sebagai Obat di Masa Lalu
Obat-obatan terlarang saat ini sering kali diidentikkan dengan bahaya dan penyalahgunaan. Namun, sejarah mencatat bahwa banyak dari zat-zat ini pernah digunakan secara luas dalam dunia medis sebelum peraturan dan regulasi ketat diberlakukan.
Dikumpulkan dari berbagai sumber, berikut sejumlah obat-obatan terlarang di masa kini yang pada masa lalu dimanfaatkan untuk kepentingan medis.
Kokain sebagai Anestesi
Pada akhir abad ke-19, kokain mulai dikenal di kalangan medis sebagai anestesi lokal yang efektif. Pada tahun 1884, dokter mata Carl Koller memperkenalkan kokain sebagai anestesi dalam operasi mata, yang segera diikuti oleh penggunaannya dalam berbagai prosedur medis lainnya. Kokain digunakan karena efeknya yang mampu menghilangkan rasa sakit tanpa perlu bius total.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, efek adiktif dan potensi penyalahgunaan kokain menjadi lebih dikenal. Pada awal abad ke-20, dampak buruk dari penggunaan kokain mulai terlihat, yang akhirnya mendorong para profesional medis dan pemerintah untuk mengatur penggunaannya secara ketat. Pada tahun 1914, Amerika Serikat mengesahkan Undang-Undang Narkotika Harrison yang membatasi penggunaan kokain hanya untuk keperluan medis tertentu di bawah pengawasan ketat.
Heroin sebagai Obat Batuk
Heroin pertama kali disintesis dari morfin pada tahun 1874 oleh ahli kimia Inggris, C.R. Alder Wright.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, perusahaan farmasi Bayer memasarkan heroin sebagai obat batuk yang efektif dan sebagai alternatif non-adiktif untuk morfin. Pada saat itu, heroin dianggap lebih aman dan tidak menimbulkan ketergantungan seperti morfin, yang pada waktu itu sudah dikenal memiliki potensi adiktif.
Namun, kenyataannya berbicara sebaliknya. Heroin ternyata jauh lebih adiktif daripada morfin, dan penggunaan yang meluas menyebabkan masalah penyalahgunaan dan ketergantungan yang parah. Pada tahun 1924, pemerintah Amerika Serikat melarang seluruh penggunaan heroin dengan mengesahkan Undang-Undang Anti-Narkotika Heroin.
LSD untuk Psikiatri
Lysergic acid diethylamide (LSD) pertama kali disintesis oleh Albert Hofmann pada tahun 1938.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, LSD digunakan secara eksperimental dalam psikoterapi untuk mengobati berbagai kondisi mental, termasuk depresi, kecanduan alkohol, dan kecemasan. Psikiater dan peneliti menganggap LSD sebagai alat potensial untuk memperdalam pemahaman tentang pikiran manusia dan meningkatkan terapi.
Namun, penggunaan non-medis LSD yang meluas di kalangan budaya counter-culture pada 1960-an memicu kekhawatiran tentang efek samping dan penyalahgunaan. Pada tahun 1968, LSD dilarang di Amerika Serikat dan diikuti oleh larangan di berbagai negara di seluruh dunia. Hingga saat ini, LSD tetap ilegal, meskipun penelitian terbaru menunjukkan minat baru dalam penggunaannya untuk pengobatan kesehatan mental.
Amfetamin sebagai Stimulan
Amfetamin pertama kali disintesis pada akhir abad ke-19 dan mulai digunakan secara medis pada tahun 1930-an.
Obat ini digunakan untuk mengobati berbagai kondisi, termasuk narkolepsi, depresi, dan obesitas. Amfetamin dikenal karena efek stimulasinya yang meningkatkan kewaspadaan dan energi, yang juga menjadikannya populer di kalangan tentara selama Perang Dunia II untuk meningkatkan stamina dan kinerja.
Namun, efek adiktif dan potensi penyalahgunaan amfetamin menjadi masalah serius. Pada tahun 1970, Amerika Serikat mengklasifikasikan amfetamin sebagai zat yang dikontrol ketat di bawah Undang-Undang Zat Terkontrol. Meskipun masih digunakan untuk beberapa kondisi medis seperti ADHD dan narkolepsi, penggunaannya diawasi dengan ketat dan penyalahgunaannya dapat dihukum berat.
Ekstasi untuk Psikoterapi
Ekstasi atau MDMA pertama kali disintesis pada awal abad ke-20, tetapi penggunaannya baru populer pada tahun 1970-an sebagai alat bantu psikoterapi. Para terapis menggunakan MDMA untuk membantu pasien membuka diri dan memperbaiki hubungan interpersonal selama sesi terapi.
Namun, pada 1980-an, MDMA mulai digunakan secara rekreasional, terutama dalam budaya rave dan klub malam. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan jangka panjang MDMA dapat menyebabkan kerusakan otak dan masalah kesehatan mental. Pada tahun 1985, Amerika Serikat mengklasifikasikan MDMA sebagai zat ilegal tanpa penggunaan medis yang diakui.
Ganja sebagai Pereda Nyeri
Ganja, tanaman yang dijuluki "ramuan ajaib" oleh para leluhur, memiliki sejarah panjang dan kompleks dalam peradaban manusia. J
ejak penggunaannya sebagai obat telah terukir dalam budaya dan catatan sejarah selama berabad-abad. Di berbagai belahan dunia, ganja dimanfaatkan untuk meredakan berbagai penyakit, seperti nyeri, peradangan, insomnia, dan depresi.
Efektifitas ganja sebagai obat diakui oleh berbagai kalangan, termasuk para ilmuwan dan dokter. Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, ganja banyak diresepkan untuk berbagai kondisi medis. Bahkan, Ratu Victoria sendiri dikabarkan menggunakan ganja untuk meredakan kram menstruasi.
Namun, seiring waktu, persepsi terhadap ganja mulai berubah. Kekhawatiran akan efek psikoaktifnya, potensi penyalahgunaan, dan stigma sosial yang berkembang, mendorong berbagai negara untuk mengklasifikasikan ganja sebagai obat terlarang. Di Indonesia sendiri, ganja dikategorikan sebagai narkotika golongan I, yang berarti memiliki potensi kecanduan tinggi dan peredarannya ilegal.
Zat-zat ini dulunya dianggap sebagai obat mujarab yang mampu mengatasi berbagai masalah medis, tetapi pengetahuan lebih lanjut tentang efek samping dan potensi penyalahgunaannya mengubah cara kita memandang dan mengatur penggunaannya.