Pertusis yang Tak Segera Diobati Bisa Berdampak Bahaya, Ketahui Tiga Tahap Perkembangannya
Pertusis atau batuk rejan yang tak segera diobati bisa berdampak parah sehingga perlu dipahami dengan tepat.
Pertusis, atau yang sering dikenal sebagai batuk rejan, adalah infeksi serius yang dapat menimbulkan dampak berbahaya jika tidak segera diobati. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis, yang menghasilkan toksin yang dapat melumpuhkan saluran pernapasan, membuat dahak tidak dapat dikeluarkan, dan menyebabkan infeksi bertahan dalam tubuh. Dr. Anggraini Alam, Ketua Unit Kerja Koordinasi Infeksi Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), mengingatkan bahwa pertusis bukanlah batuk biasa yang bisa sembuh dengan sendirinya.
“Bakteri ini punya 5 toksin yang bisa menyebabkan saluran nafas kita seperti lumpuh oleh toksin yang dikeluarkan oleh bakteri tersebut sehingga nggak bisa mengeluarkan dahak,” kata Anggraini dilansir dari Antara.
-
Kapan batuk menjadi berbahaya? Namun, batuk juga dapat menjadi tanda adanya masalah kesehatan yang lebih serius.
-
Kapan batuk berdahak pada bayi perlu diwaspadai? Batuk adalah masalah yang wajar apabila terjadi sesekali, namun perlu diwaspadai jika terjadi secara terus-menerus.
-
Kapan batuk dibilang kronis? Jika batuk berlangsung lebih dari dua minggu, ini dapat dikategorikan sebagai batuk kronis.
-
Apa saja gejala batuk rejan selain batuk? Gejala batuk rejan dapat berupa panas, demam, adanya ingus di dalam hidung.
-
Apa penyebab batuk jangka panjang? Dokter Patriotika Ismail, Sp.PD, dokter spesialis penyakit dalam di RS St. Elisabeth Bekasi, menjelaskan bahwa batuk yang berlangsung lama biasanya merupakan gejala dari masalah kesehatan tertentu.
-
Batuk seperti apa yang harus diwaspadai? Beberapa penyakit dapat diidentifikasi melalui karakteristik batuk yang dialami seseorang.
Pertusis biasanya dimulai dengan gejala batuk yang ringan, tetapi seiring berjalannya waktu, batuk ini bisa berlangsung selama berbulan-bulan, yang sering disebut sebagai "batuk 100 hari."
Pada bayi, terutama yang berusia di bawah satu tahun, gejala dapat menjadi sangat parah, termasuk batuk yang menyebabkan wajah memerah, berhentinya pernapasan, pendarahan di mata, infeksi paru-paru, hingga kejang akibat tekanan batuk yang terus-menerus. Yang lebih mengkhawatirkan adalah sering kali diagnosis pertusis baru ditegakkan setelah batuk berlangsung selama tiga minggu atau lebih, saat penyakit sudah mencapai stadium lanjut.
Dr. Anggraini menjelaskan bahwa pertusis berkembang melalui tiga tahap yang harus diwaspadai oleh orang tua. Tahap pertama, yang sering kali dianggap sepele, ditandai dengan batuk ringan yang disertai pilek, mirip dengan gejala flu biasa. Namun, jika batuk berlanjut dan semakin parah, penyakit memasuki tahap kedua.
Pada tahap ini, batuk menjadi sangat parah, sering disertai muntah, dan bisa berlangsung selama berbulan-bulan. Pada anak-anak, gejala yang muncul pada tahap ini sering keliru didiagnosis sebagai TBC atau alergi, yang berpotensi menghambat perkembangan paru-paru dan menimbulkan komplikasi serius lainnya. Batuk yang terus-menerus bisa menyebabkan tulang patah, hernia menjadi lebih parah, dan anak-anak mengalami kekurangan gizi karena tidak mau makan atau minum.
“Kalau ada batuk-batuk begini, demam nggak tinggi, kemungkinan bisa disertai juga dengan pilek. Paling bahaya kalau batuk berlama-lama dan biasanya di antara batuk dengan batuk bisa ada muntah,” kata Anggraini.
Tahap ketiga adalah fase penyembuhan, yang meskipun batuk mulai mereda, bisa berlangsung cukup lama sebelum pasien benar-benar pulih. Pada tahap ini, anak-anak yang terkena pertusis sering kali sudah mengalami berbagai komplikasi, seperti perdarahan otak, kekurangan oksigen, kejang, hingga kerusakan otak yang bisa berujung pada kematian. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengenali gejala pertusis sejak dini dan segera mendapatkan perawatan medis yang tepat.
Penanganan terbaik untuk pertusis adalah dengan segera membawa anak ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan pengobatan yang dapat mengurangi racun dari bakteri serta mengatasi batuk yang parah. Dr. Anggraini juga menekankan pentingnya minum banyak air untuk membantu proses pemulihan.
“Kita bisa mendapatkan anak yang tidak mau makan, tidak mau minum, jadinya kurang gizi, perdarahan otak, kekurangan oksigen, bisa mengalami kejang-kejang kerusakan otak dan kematian bisa terjadi,” tegasnya.
Selain itu, ia mengingatkan bahwa jika anak mengalami batuk yang tidak kunjung sembuh, orang tua harus segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis secara dini, sehingga pengobatan dapat dilakukan sebelum penyakit mencapai tahap yang lebih serius.