Kejadian Pertusis atau Batuk Rejan di Indonesia Meningkat Pesat, Begini Saran IDAI untuk Mencegah Anak Tertular
Permasalahan pertusis atau batuk rejan ternyata banyak yang tidak terdata sehingga perlu dicegah.
Pertusis, atau dikenal juga sebagai batuk rejan, merupakan penyakit menular yang semakin meningkat di Indonesia. Ketua Unit Kerja Koordinasi Infeksi Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. dr. Anggraini Alam, Sp.A(K), mengungkapkan bahwa banyak kasus pertusis di Indonesia yang tidak terdata dengan baik. Hal ini berdampak pada lonjakan signifikan kasus pertusis pada tahun 2022, yang sebelumnya kurang terpantau.
Menurut Anggraini, sebelum tahun 2022, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat hanya 4 kasus pertusis per seratus ribu populasi di Indonesia. Namun, ini bukanlah indikasi keberhasilan pengendalian penyakit.
-
Apa saja penyebab batuk anak? Berikut lima penyebab umum batuk terus-menerus pada anak: 1. Infeksi Saluran Pernapasan 2. Asma 3. Alergi 4.Sinusitis 5. Refluks Asam (GERD)
-
Apa penyebab umum batuk pilek anak? Sekitar 80 persen dari kasus batuk pilek pada anak disebabkan oleh infeksi virus.
-
Apa penyebab batuk anak menurut penelitian? Menurut beberapa penelitian, pendapat ini sebenarnya lebih merupakan mitos daripada fakta ilmiah. Sebuah studi dari American Academy of Pediatrics menyatakan bahwa minuman dingin seperti es tidak secara langsung menyebabkan batuk, melainkan faktor lain yang memengaruhi sistem pernapasan anak lebih berperan dalam munculnya batuk.
-
Kenapa batuk berdahak pada bayi perlu diwaspadai? Batuk sendiri merupakan respons alami tubuh untuk melindungi saluran udara dari kotoran agar tidak tersumbat.
-
Kenapa anak-anak sering batuk pilek? Anak lebih rentan terhadap batuk pilek karena sistem kekebalan tubuh mereka masih berkembang. Mereka belum memiliki kekebalan terhadap banyak kuman yang ada di lingkungan sekitar mereka.
-
Mengapa anak batuk berdahak? Saat anak mengalami flu, pilek, atau infeksi saluran pernapasan, tubuhnya akan memproduksi lebih banyak lendir dan membuatnya lebih kental untuk memerangkap bakteri penyebab masalah.
“Sebelum 2022 WHO mendata hanya 4 per seratus ribu populasi di Indonesia yang katanya mengalami pertusis, ini bukan berhasil, tetapi ini karena ada kurang update Indonesia sebelum adanya surveillance, kewaspadaan kita kurang,” jelas Anggraini dilansir dari Antara.
Anggraini juga menyoroti bahwa rendahnya pelaporan kasus pertusis di negara berkembang, termasuk Indonesia, disebabkan oleh infrastruktur pemantauan yang belum optimal serta diagnosis yang sering terlambat. Pertusis sering kali tidak terdeteksi hingga pasien mengalami batuk selama dua minggu yang disertai muntah, yang menandakan bahwa penyakit sudah memasuki stadium kedua.
Pada tahun 2022, Kementerian Kesehatan Indonesia mulai meningkatkan upaya pemantauan pertusis dengan meluncurkan buku petunjuk teknis surveilans. Hasilnya, pada tahun 2023 terjadi lonjakan kasus pertusis sebesar 5,5 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Dari 38 provinsi yang diperiksa, 30 di antaranya menunjukkan hasil laboratorium positif pertusis, yang akhirnya memicu terjadinya wabah (outbreak).
Data ini juga menunjukkan bahwa hampir 40 persen dari penderita pertusis adalah bayi di bawah satu tahun, dan dari jumlah tersebut, sekitar 80 persen tidak mendapatkan imunisasi. Wabah pertusis paling banyak terjadi di daerah padat penduduk, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera.
Dr. Anggraini menekankan pentingnya pencegahan dan pengendalian pertusis, terutama pada bayi, mengingat tingginya tingkat penularan penyakit ini.
“Pertusis harus dicegah dan diminimalisasi terutama pada bayi, karena satu saja pertusis yang dilaporkan maka sudah bisa disebut Kejadian Luar Biasa (KLB) karena 90 persen sekitarnya pasti tertular,” jelasnya.
Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan pedoman untuk mencegah pertusis dengan cara meningkatkan cakupan imunisasi. Meski angka imunisasi di Indonesia mulai meningkat, cakupan vaksinasi masih belum mencapai angka ideal.
“Imunisasi kita mulai naik namun angka ini tidak bisa dikatakan baik karena pertusis bisa menularkan 17 orang lainnya makanya cakupannya harus 95 persen yang divaksin, karena di sanalah terjadi sumber KLB,” ujar Anggraini.
Imunisasi yang dimaksud termasuk vaksin DTP (Difteri, Tetanus, Pertusis), yang meliputi DTP-1 hingga DTP-4. Pada tahun 2023, cakupan imunisasi DTP-1 baru mencapai 91,4 persen, sementara DTP-2, DTP-3, dan DTP-4 masih belum mencapai target 95 persen.
Anggraini berharap pada tahun 2024, bayi dan anak-anak di Indonesia dapat melengkapi imunisasi DTP sesuai dengan program pemerintah. Imunisasi ini penting diberikan pada usia 2, 3, 4 hingga 18 bulan, serta pada usia lima hingga tujuh tahun dan usia sekolah dasar hingga remaja untuk mencegah pertusis.
Ia juga mengingatkan masyarakat agar lebih waspada terhadap gejala pertusis. “Kita juga harus memperkenalkan pertusis dengan batuk terus-menerus minimal dua minggu lebih dengan tanda muntah tanpa sebab, henti nafas, maka mohon segera ke faskes terdekat untuk dilakukan pemeriksaan,” tambahnya.