Menengok Keindahan Pinto Aceh, Perhiasan Tradisional yang Menarik Perhatian Kolektor
Mahakarya dari kota Serambi Mekkah ini memang menjadi primadona di masa lampau, bahkan pihak kolonial pun tergoda untuk meminangnya.
Sudah sejak zaman dahulu kala cinderamata dan perhiasan menjadi aset yang begitu berharga dan diburu oleh banyak orang kelas atas. Selain harganya yang tinggi, siapapun yang memilikinya akan merasa bangga dan terlihat mewah.
Indonesia khususnya beberapa daerah memiliki cinderamata yang terbuat dari perak bahkan emas yang dulunya begitu terkenal. Tak tanggung-tanggung, orang-orang kolonial pun juga ikut dalam memburu cinderamata atau perhiasan tersebut. Di Aceh, terdapat perhiasan tradisional yang cukup menarik perhatian orang khususnya wanita yaitu Pinto Aceh.
-
Apa ikon wisata di Aceh Tengah? Danau dengan panjang 17 kilometer dengan lebar 3,219 kilometer ini sudah menjadi ikon destinasi wisata Aceh Tengah.
-
Kenapa pantun di Aceh jadi warisan berharga? Pantun di Aceh menjadi salah satu identitas budaya yang kuat dan menjadi warisan berharga yang harus dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa.
-
Apa yang dicerminkan perhiasan klasik? Perempuan yang menggemari perhiasan klasik biasanya memiliki kesan yang elegan, simpel, dan memukau. Mereka sering menunjukkan kasih sayang yang mendalam terhadap keluarga serta orang-orang terdekatnya.
-
Atraksi apa yang ditampilkan? Personel grup sirkus asal Rusia, The Nikolaevs melakukan atraksi akrobatik Flying Trapeze di Atrium Utama Mal Pondok Indah 2, Jakarta, Minggu (30/6/2024).
-
Kenapa Batu apung Purwakarta menarik? Keindahannya turut membuat siapapun betah untuk berlama-lama.
-
Apa ciri khas pantun bahasa Aceh? Pantun Aceh juga dikenal dengan bahasanya yang khas, menggunakan bahasa Aceh dengan ciri khasnya yang unik.
Perhiasan asli dari Kota Serambi Mekkah ini sampai sekarang masih banyak dicari oleh orang-orang dari luar Aceh yang sedang berkunjung atau berwisata. Selain koleksi, perhiasan ini menjadi juga menjadi oleh-oleh yang bermotif Pinto Aceh.
Penasaran dengan asal-usul dari perhiasan yang satu ini? Simak informasinya yang dirangkum merdeka.com dari berbagai sumber berikut.
Desain Awal
Dilansir dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, Pinto Aceh ini sebuah nama motif yang tersemat pada perhiasan yang desain awalnya diambil dari sebuah monumen peninggalan Sultan Iskandar Muda. Ketika Belanda sudah berhasil menguasai Aceh, maka diselenggarakan event Pasar Malam atau Sateling di Kutaraja.
Salah satu rangkaian dalam event tersebut adalah pameran perhiasan yang diikuti oleh para pengrajin emas dan perak dari seluruh wilayah Aceh. Bagi yang dianggap sebagai penampil terbaik, maka dirinya akan diberikan semacam penghargaan berupa sertifikat.
Saat penilaian, muncullah nama Mahmud Ibrahim berasal dari Blang Oi. Ia keluar sebagai pemenang dan menyingkirkan seluruh perajin yang ada di pameran tersebut. Berkat kemenangannya ini, namanya pun terkenal dan kehidupannya seketika berubah total. Ia pun dicari-cari oleh para pejabat, pembesar, dan orang-orang kaya pada saat itu.
Permintaan Orang Belanda
Pada tahun 1935, Mahmud Ibrahim mendapatkan pesan dari petinggi Belanda untuk dibuatkan bros dengan contoh berasal dari bentuk pintu khop. Perhiasan ini nantinya akan menjadi hadiah istimewa yang akan diberikan kepada istrinya.
Pintu khop adalah peninggalan kerajaan Aceh yang masih tersisa ketika diserang oleh Belanda. Pintu tersebut merupakan gerbang yang berada di kompleks Taman Sari Keraton yang khusus dibuat oleh Sultan Iskandar Muda bagi permaisurinya yang berasal dari Pahang, Malaysia.
Dari sinilah referensi Mahmud dalam membuat perhiasan tersebut. Sejak saat itulah bros Pintu Aceh mulai dikenal masyarakat luas dan seketika mencuri perhatian para pencinta perhiasan terutama wanita.
Dikembangkan Lebih Bagus
Mahmud Ibrahim yang sudah tau jika karyanya mulai terkenal, ia tidak cepat puas. Seiring berjalannya waktu, dirinya terus mengembangkan mahakaryanya itu dengan mengubah desain dan motif Pinto Aceh ini ke dalam beberapa jenis perhiasan lainnya dan tidak terbatas pada bros saja.
Mahmud pun memadukan motif Pinto Aceh ini dengan kalung, gelang, subang, dan lain sebagainya. Tak sampai situ, ia juga meneruskan mahakaryanya ini kepada generasi selanjutnya melalui muridnya bernama Cut Nu. Setelah sang guru wafat, Cut Nu masih terus mengembangkan motif-motif perhiasan tersebut menjadi semakin indah dan estetik.
Upaya ini ditunjang oleh Keuchik Leumiek selaku pemilik toko emas tempat Cut Nu bekerja, yang ingin mempertahankan reputasi dan ketinggian mutu produknya. Meski keberadaan Pinto Aceh ini masih tergolong muda dibanding perhiasan lainnya, namun kedudukannya sudah jauh lebih tinggi dan pantas tergolong dalam perhiasan tradisional Aceh.
Seiring berkembangnya zaman, desain Pinto Aceh ini tak melulu soal perhiasan, kini sudah merambah ke hiasan bangunan, pagar, teralis, tugu, dan juga daun pintu.
Hal ini menjadi bukti jika motif Pinto Aceh ini selalu dikenal dan motifnya tidak lekang oleh waktu. Selain itu, Pinto Aceh turut menjadi ikon serta identitas daerah yang dibanggakan oleh masyarakat.