5 Alasan Pemerintah Ajukan Revisi UU ITE yang Kedua Kali
Berikut alasan yang disampaikan pemerintah merevisi UU ITE yang kedua.
Berikut alasan yang disampaikan pemerintah merevisi UU ITE yang kedua.
5 Alasan Pemerintah Ajukan Revisi UU ITE yang Kedua Kali
Pemerintah mengajukan revisi UU ITE untuk perubahan kedua kepada DPR RI.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan, hampir 8 tahun sejak perubahan pertama dalam menerapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ternyata masih terdapat kebutuhan penyesuaian.
“Hal ini menunjukkan bahwa hukum perlu menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum baik secara nasional maupun global,”
Menkominfo Budi Arie Setiadi dalam pendapat akhir pemerintah atas revisi UU ITE perubahan kedua.
Terdapat 5 alasan pemerintah mengapa UU ITE harus disesuaikan kembali berdasarkan kebutuhannya. Berikut adalah 5 alasan tersebut:
PertamaPenerapan norma-norma pidana dalam UU ITE berbeda-beda di berbagai tempat. Oleh karena itu, banyak pihak yang menganggap normanorma UU ITE multitafsir, karet, memberangus kemerdekaan pers, hingga mengancam kebebasan berpendapat.
Kedua
UU ITE yang ada saat ini belum dapat memberikan pelindungan yang optimal bagi pengguna internet Indonesia, khususnya anak yang menggunakan produk atau layanan digital. Penggunaan produk atau layanan digital tersebut, jika digunakan secara tepat, dapat memberikan manfaat besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Akan tetapi, dalam berbagai situasi, anak belum memiliki kapasitas atau kemampuan untuk memahami berbagai risiko atau potensi pelanggaran hak anak yang mungkin terjadi dalam penggunaan produk atau layanan digital.
Oleh karena itu, Penyelenggara Sistem Elektronik yang menyelenggarakan produk atau layanan digital tersebut harus mengambil tanggung jawab untuk memenuhi hak-hak anak, sekaligus melindungi anak dari bahaya atau risiko fisik maupun psikis.
UU ITE yang ada saat ini perlu mengoptimalkan peran pemerintah dalam membangun ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif. Indonesia memiliki potensi ekonomi digital yang besar.
Pada tahun 2022, nilai dari ekonomi digital ASEAN mencapai USD 194 miliar, dan Indonesia berkontribusi sebanyak 40 persen dari nilai tersebut (Google, Temasek, & Bain, 2022).
Melihat besarnya potensi ekonomi digital Indonesia saat ini dan di masa depan, Pemerintah perlu memperkuat regulasi Indonesia dalam memberikan perlindungan bagi pengguna layanan digital Indonesia, dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah.
Keempat
Layanan sertifikasi elektronik juga merupakan salah satu aspek yang perlu diperkuat. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik telah memberikan berbagai layanan sertifikasi selain tanda tangan elektronik.
Misalnya, segel elektronik dan autentikasi situs web serta identitas digital. Indonesia membutuhkan landasan hukum yang lebih komprehensif dalam membangun kebijakan identitas digital serta layanan sertifikasi elektronik lainnya.
Kelima
Dalam melakukan penegakan hukum, UU ITE yang ada saat ini masih memerlukan penguatan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam melakukan penyidikan tindak pidana siber.
Para pelaku tindak pidana menggunakan rekening bank untuk menyimpan hasil kejahatan yang mereka lakukan.
Para pelaku kejahatan juga membeli atau memperdagangkan aset digital dalam skema kejahatan mereka.
Dalam hal ini, PPNS di sektor Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) memerlukan kewenangan untuk memerintahkan Penyelenggara Sistem Elektronik dalam melakukan pemutusan akses secara sementara terhadap rekening bank, uang elektronik, dan/atau aset digital.