5 Pembedahan ilmiah 'kepo' dan 'stalking media sosial', mengapa rasanya menyenan
Merdeka.com - Ternyata, kepo adalah hal yang menyenangkan. Untuk melihat seluruh post IG dari mantan pacar, teman kantor yang baru, atau teman SD yang sudah belasan tahun tak bertemu, kita bisa habiskan waktu berjam-jam lamanya.
Tak bisa dipungkiri bahwa sepertinya, kepo atau stalking media sosial adalah insting biologis. Dengan makin banyaknya orang yang terknoneksi media sosial, hal ini justru tak akan hilang.
Namun mengapa ketertarikan ini ada? Semua itu sebenarnya bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan.
-
Mengapa orang melakukan stalking? Motivasi pelaku stalking bervariasi; beberapa mungkin didorong oleh obsesi terhadap korban, sementara yang lain mungkin mempunyai niat untuk mengendalikan atau memanipulasi kehidupan korban.
-
Apa itu Stalking? Stalking adalah perilaku yang melibatkan penganiayaan, pemantauan, atau penguntitan yang terus-menerus terhadap seseorang tanpa izin atau persetujuan mereka.
-
Kenapa berteman dengan mantan? Berteman dengan mantan mungkin diperlukan, karena alasan berikut: Anda memiliki teman yang sama: Jika Anda dan mantan Anda memiliki banyak teman yang sama, perselisihan dapat membuat segalanya menjadi canggung dan sulit bagi semua orang. Berusaha berteman satu sama lain dapat membantu Anda menjaga ikatan sosial.
-
Bagaimana stalking terjadi? Stalking dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari penguntitan fisik hingga pengawasan online melalui media sosial dan pesan teks.
-
Kenapa orang suka pakai kata-kata keren di status media sosial? Biasanya kata-kata keren ini diunggah bersama foto maupun video di Instagram, Twitter, Facebook hingga media sosial lainnya. Bukan hanya itu saja, kata-kata keren ini juga diunggah pada aplikasi berkirim pesan seperti WhatsApp.
-
Apa yang pasangan bahagia rasakan tentang medsos? Perbandingan sosial adalah salah satu aspek yang paling merugikan dari penggunaan media sosial. Orang-orang cenderung merasa tidak aman dengan diri mereka sendiri ketika mereka terus-menerus dibombardir dengan gambar-gambar kehidupan 'sempurna' orang lain. Namun, pasangan yang bahagia dengan hubungan mereka tidak tergoda untuk membandingkan diri mereka dengan orang lain.
Berikut berbagai pembedahan ilmiahnya.
Informasi memberi kita kekuatan
Dalam sebuah jurnal dari para ilmuwan yang meneliti kepuasan pengguna media sosial, disebut bahwa melihat kehidupan seseorang tanpa memberi apapun sebagai gantinya, itu memberi kita tingkat kepuasan tertentu.Â
Tentu kita melakukan hal ini dengan melihat satu-persatu isi feed Instagram seseorang. Namun sejak lama, hal ini pun sudah ada. Itulah mengapa di era sebelum media sosial, kita suka nonton acara reality di televisi, serta acara gosip. Hal ini membuktikan bahwa informasi memberi kekuatan.
Evaluasi diri
Proses evaluasi diri adalah hal yang selalu harus kita lakukan. Masalahnya, seringkali hal ini memicu kegiatan kita untuk 'mencari perbandingan.' Karena tentu kita tidak bisa mengenali bagaimana diri kita kalau tidak mencari perbandingan terhadap seseorang.
Bahkan dalam jurnal penelitian tentang hirarki kebutuhan dan motivasi dalam kepuasan media sosial dari Rochester Institute of Technology, disebut bahwa otak kita secara insting ingin mengkategorikan dan memberi peringkat pada sifat kita sendiri, dibandingkan dengan sifat orang lain. Cara paling mudah melakukan itu? Tentu dengan melihat bagaimana orang berperilaku dan bersikap lewat caption Instagram dan Tweetnya.
Neotony
Manusia adalah makhluk yang spesial. Tidak seperti mamalia lainnya, otak manusia akan selamanya muda. Jadi, otak manusia sudah berevolusi dan 'sudah dari sananya' selalu beradaptasi dan berubah agar siap menerima berbagai tantangan baru. Hal ini disebut Neotony, yang dijelaskan lengkap dalam ilmu Zoologi.
Neotony adalah retensi fitur remaja pada makhluk hidup, dan pada manusia, ini terjadi pada otak kita. Dengan ini, kita akan selalu ingin tahu lebih, dan di satu titik, informasi tak akan pernah cukup dan kita akan selalu mencarinya. Tentu, media sosial memberi semua informasi ini dengan baik, dan dengan kepo, Anda bisa mendapatkannya dengan mudah.
Norma sosial yang telah berubah
Sebuah studi menyebut bahwa koneksi sosial juga sangat berpengaruh untuk kesehatan. Orang yang kurang bersosialisasi lebih cenderung obesitas, perokok, serta tekanan darah yang tak normal. Namun studi ini menyebut bahwa penyebab intinya bukan soal sosialisasi, namun soal memahami cara seseorang berinteraksi.
Pada akhirnya, bukan tatap muka yang penting untuk sosialisasi, namun keramahan, empati, atau bahkan kesamaan sifat. Tentu, hal ini bisa kita dapatkan di media sosial, tanpa perlu bersosialisasi secara nyata.Â
Dengan kepo pun, kita bisa mendapat semua itu: orang yang berempati dengan hal yang juga kita empatikan, orang yang berbuat baik pada orang lain tanpa pamrih, bahkan kita bisa bertemu orang yang kita tatap sebagai orang tercinta kita di masa depan. Semua itu bisa kita dapat tanpa bersosialisasi.
Adiktif
Berdasarkan penelitian yang dimuat di Buffer Social, kita seakan-akan disuntik dengan hormon dopamin jika ada orang yang menyukai kiriman ki di media sosial. Sedikit perasaan bahagia tersebut ternyata adiktif, dan hal ini akan membuat kita jadi berlama-lama di media sosial.
Sebagai bagian dari itu, tentunya, kita akan mengonsumsi konten dari orang lain, dan dinamika kepo tak bisa terbendung. (mdk/idc)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ia membagikan beberapa momen kenangan kala dirinya bersama para sahabat mengerjakan skripsi bareng di kosnya.
Baca SelengkapnyaStalking dapat terjadi secara fisik atau melibatkan penggunaan teknologi.
Baca SelengkapnyaFOMO termasuk istilah populer yang sering diucapkan dalam keseharian.
Baca SelengkapnyaDalam unggahannya, ia menceritakan bagaimana kisahnya bertemu jodohnya yang ternyata adalah temannya saat SD.
Baca Selengkapnya