Regulasi OTT Perlu Dipersiapkan
Layanan Over The Top (OTT) seperti Google dan Meta, masih menjadi permasalahan hingga hari ini.

Layanan Over The Top (OTT) seperti Google dan Meta, masih menjadi permasalahan hingga hari ini.

Regulasi OTT Perlu Dipersiapkan, Begini Dampaknya
Layanan Over The Top (OTT) seperti Google dan Meta, masih menjadi permasalahan hingga hari ini. Pasalnya belum ada regulasi yang mengatur terkait hal tersebut, sehingga sejumlah dampak dikhawatirkan dapat berpotensi merusak kestabilan industri seluler di Indonesia.Kekhawatiran tersebut muncul karena saat ini masyarakat Indonesia, semakin ketergantungan dengan layanan OTT asing, yang teknologi dan inovasinya sangat berkembang cepat. Akan tetapi, hal ini justru bukan menguntungkan, malah menjadi ancaman bagi penyedia layanan seluler di Indonesia.

Padahal dalam praktiknya, layanan OTT ini tidak dikenakan oleh PNBP seperti halnya yang dikenakan oleh para penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi pada umumnya.
Selama 3 tahun terakhir, pengguna layanan OTT semakin naik, bahkan munculnya aplikasi seperti berbagai sosial media, dan layanan streaming musik dan video akan menimbulkan beberapa dampak bagi industri seluler Indonesia dalam jangka beberapa waktu mendatang.

“Apa sih dampaknya? Kalau kita lihat dalam 5-7 tahun terakhir penurunan dari pendapatan sms. Kalo kita lihat secara global ancaman terhadap operator ini juga terjadi di seluruh dunia,”
Sigit PW Jarot, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel.

Sigit juga menambahkan terdapat setidaknya beberapa dampak yang akan dipengaruhi oleh ketidakadaan regulasi yang mengatur operasional OTT di Indonesia.
Efek Gunting kehadiran OTT ini pada satu sisi menaikan traffic penggunaan pada penyedia layanan seluler di Indonesia.Akan tetapi, pada sisi lainnya meskipun traffic dari pengguna akan naik, pendapatan yang dihasilkan akan datar dan sama saja. Sebab, nilai yang masuk itu diterima oleh OTT, bukan penyedia layanan seluler.
Selain itu, efek kanibalisasi juga akan terjadi pada revenue penyedia service.
Bahkan kinerja industri dan kualitas infrastruktur pada telekomunikasi di Indonesia, yang disebabkan oleh banyaknya pembangunan infrastruktur untuk menyediakan bandwith.
Oleh sebab itu, penyedia operator akan kesulitan untuk melakukan investasi pada teknologi terbaru seperti percepatan 5G, dan lainnya.
“Dari data SNS Insider, OTT secara global mampu meraup 295,24 miliar USD pada tahun 2021 dan kemungkinan akan tumbuh hingga 1,951 triliun USD pada tahun 2030,” ujar Sigit dalam diskusi Selular Business Forum di Jakarta.

Dilanjutkannya, pendapatan operator telekomunikasi pada tahun 2010 memang bisa mencapai 458 miliar USD dari SMS dan voice, sedangkan OTT dulu hanya USD 41 miliar.
Tetapi, kini pada tahun 2021 terbalik, perusahaan telekomunikasi hanya mendapat USD 702 miliar sedangkan OTT USD 753 miliar. Prediksinya pendapatan OTT akan terus naik ke depannya.

“Indonesia bisa belajar dengan sejumlah negara yang telah menerapkan digital services tax (DTS) seperti Austria, Prancis, Hungaria, Italia, Polandia, Portugal, Spanyol, Turki dan Inggris, meskipun strukturalnya berbeda-beda,” kata Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi.