Cara Tukar Uang Lebaran Tanpa Terjerat Riba, Penting Diketahui
Dalam sebuah kajian, Buya Yahya pernah membahas mengenai jasa penukaran uang lebaran.

Lebaran Idul Fitri 2025 akan tiba dalam waktu sepekan. Banyak umat Muslim yang mulai mempersiapkan tunjangan hari raya (THR) dalam bentuk pecahan uang untuk dibagikan kepada keluarga dan kerabat. Beberapa hari terakhir, banyak orang yang menawarkan layanan tukar uang dari pecahan Rp100 ribu ke pecahan yang lebih kecil seperti Rp10.000, Rp20.000, atau bahkan Rp5.000. Mengingat ini adalah layanan penukaran uang, biasanya terdapat perbedaan antara jumlah uang yang ditukarkan dan yang diterima. Terkadang, ada juga yang meminta biaya tambahan untuk jasa tersebut.
Perbedaan nominal dalam penukaran uang ini menimbulkan pertanyaan yang penting untuk dijawab oleh umat Islam. Apakah penukaran uang lebaran dengan nilai yang berbeda itu termasuk dalam kategori riba? Ulama terkemuka KH Yahya Zainul Ma'arif atau yang lebih dikenal dengan sebutan Buya Yahya, pernah mengupas tuntas tentang jasa penukaran uang lebaran dalam sebuah kajian. Dalam penjelasannya, Buya Yahya juga memberikan alternatif agar penukaran uang lebaran tidak dianggap sebagai tindakan yang berdosa dan terhindar dari riba.
Riba Terjadi Apabila Terdapat Perbedaan Jumlah Uang

Buya Yahya menjelaskan layanan penukaran uang lebaran yang melibatkan selisih nilai uang termasuk dalam kategori riba. Dalam ajaran Islam, riba dianggap haram dan merupakan suatu tindakan yang berdosa.
"Jika dalam proses serah terima terdapat uang lama sebesar Rp1.000.000 yang ditukar dengan uang baru sebesar Rp900.000, maka hal ini termasuk riba karena terdapat selisih Rp100.000. Menukar uang baru dengan uang lama yang memiliki perbedaan nilai adalah riba," ujar Buya Yahya seperti yang dikutip dari YouTube Al Bahjah TV, pada Ahad (23/3/2025).
Buya Yahya menekankan masalah riba tidak bisa dianggap remeh. Setiap individu yang terlibat dalam praktik riba akan memikul dosa.
"Jika sudah terlibat riba, maka itu tetap riba dan merupakan dosa di hadapan Allah. Apakah kita rela atau tidak, itu tetap saja riba," tegasnya.
Solusi dari Buya Yahya

Apabila seseorang berniat untuk bertransaksi dalam bisnis di mana uang Rp1.000.000 tetap ditukar dengan Rp1.000.000, maka perlu ada akad untuk jasa yang diberikan.
"Tinggal berkata, 'Pak, uang jasanya dong. Saya kan nuker'. Jadi, selesai serah terima lalu ada transaksi lain karena memang dia mencari, harus ada akad uang jasa," ungkap Buya Yahya.
"Atau ini uang Rp1.000.000 tolong tukar dengan Rp1.000.000, nanti baru kita berikan uang lebih. Lebihnya adalah uang jasanya, jasa yang sesungguhnya," lanjutnya.
Jika prosedur ini diikuti, Buya Yahya berpendapat bahwa transaksi tersebut tidak termasuk dalam kategori riba. Namun, jika dalam proses penukaran langsung ada pengurangan jumlah, maka hal itu sudah dianggap riba.
Buya Yahya juga mengingatkan banyak amal baik yang dilakukan tanpa disadari bisa jatuh ke dalam maksiat, seperti yang sering terjadi saat perayaan lebaran.
"Maksudnya kan dia dengan uang baru (recehan) mau dikasih hadiah ke orang kan. Kasih hadiah anak kecil Rp5 ribuan bagus-bagus, nyenengin orang, tapi caranya dengan riba. Dapat dosanya, pahalanya belum tentu mampu menutup dosanya. Tak perlu seperti itu," jelasnya.
Dengan demikian, Buya Yahya menyimpulkan bahwa menukar uang dengan nominal yang lebih kecil termasuk dalam kategori riba. Sebaliknya, jika penukaran dilakukan dengan jumlah yang sama dan disertai akad jasa, maka transaksi tersebut tidak dianggap riba. Wallahu a'lam.