Korea Utara Bantu Rusia Kirim Ribuan Tentara buat Perang di Ukraina, AS Panik Sampai Rayu China
Rusia menegaskan bahwa kolaborasi militernya dengan Korea Utara tidak bertentangan dengan hukum internasional.
Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan mendesak China untuk memanfaatkan pengaruhnya terhadap Rusia dan Korea Utara demi mencegah terjadinya eskalasi konflik. Permintaan ini muncul setelah laporan mengenai pengiriman ribuan tentara Korea Utara ke Rusia untuk membantu dalam pertempuran melawan Ukraina.
Seorang pejabat dari Kementerian Luar Negeri AS, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengungkapkan bahwa awal pekan ini, tiga diplomat senior AS telah melakukan pertemuan dengan duta besar China di Washington untuk menekankan hal ini.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, menyatakan pada hari Kamis (31/10/2024) bahwa mereka telah melakukan dialog yang substansial dengan China dan berharap China akan menggunakan pengaruh yang dimilikinya untuk membatasi aktivitas yang dimaksud.
"Saya rasa ini adalah sinyal permintaan yang datang bukan hanya dari kami, namun juga dari negara-negara di seluruh dunia," kata Blinken dalam konferensi pers di Washington, bersama dengan Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, serta rekan-rekan mereka dari Korea Selatan, seperti yang dilansir oleh AP pada Minggu (2/11).
Juru bicara Kedutaan Besar China di Washington, Liu Pengyu, menjelaskan bahwa posisi China terkait krisis Ukraina adalah konsisten dan jelas.
"China mengusahakan perundingan damai dan penyelesaian politik atas krisis Ukraina. Posisi ini tetap tidak berubah. China akan terus memainkan peran konstruktif untuk tujuan ini," katanya.
AS juga melaporkan bahwa sekitar 8.000 tentara Korea Utara berada di Rusia, siap untuk membantu Kremlin dalam pertempuran melawan pasukan Ukraina dalam waktu dekat.
Sementara itu, China belum memberikan komentar secara terbuka mengenai situasi ini. Beijing telah membangun kemitraan "tanpa batas" dengan Moskow dan meskipun menjadi sekutu utama bagi Pyongyang, para ahli berpendapat bahwa Beijing mungkin tidak setuju dengan peningkatan kemitraan militer antara Rusia dan Korea Utara, karena hal tersebut dapat menciptakan ketidakstabilan di kawasan.
"Kemitraan Rusia-Korea Utara bertentangan dengan tujuan Beijing untuk Semenanjung Korea yang damai," kata Shi Yinhong, seorang pakar hubungan internasional dari Universitas Renmin di China.
Dia menambahkan bahwa China menyadari kompleksitas dan bahaya situasi ini, dan fakta bahwa Beijing belum memberikan pernyataan mengenai perjanjian aliansi militer antara Korea Utara dan Rusia menunjukkan ketidaksetujuan yang kuat dari pihak Beijing.
Menurut Dennis Wilder, seorang peneliti senior di Universitas Georgetown, keheningan China mengenai langkah Korea Utara dianggap mengejutkan. Dia berpendapat bahwa China perlu menemukan keseimbangan antara mendukung Rusia tanpa memicu kemarahan Barat, dan Presiden Xi Jinping mungkin mengabaikan situasi ini demi kepentingan politiknya sendiri.
"Xi Jinping telah membangun hubungan pribadi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan dia tidak dapat melihat Putin gagal," kata Wilder.
Dia menambahkan bahwa pada saat yang sama, Xi Jinping tidak bisa membuat marah Eropa dan AS saat ekonomi negaranya sedang mengalami kesulitan.
"Jadi dia tidak akan mengatakan apa pun secara terbuka tentang ini," katanya.
Victor Cha dari CSIS mengemukakan bahwa bagi China, mungkin ada campuran antara sedikit kejengkelan, kepanikan, dan kebingungan tentang langkah selanjutnya yang harus diambil dalam situasi saat ini.
"Tidak jelas apakah Beijing diberi tahu tentang langkah Pyongyang sebelumnya," katanya.
Cha juga menekankan bahwa Beijing mungkin khawatir Rusia akan mendapatkan pengaruh lebih besar atas Korea Utara dibandingkan dengan China.Di sisi lain, Menteri Pertahanan Austin mengingatkan pada hari Kamis bahwa China perlu mengajukan beberapa pertanyaan kritis kepada Rusia mengenai niatnya untuk memperluas konflik ini dengan tindakan semacam ini.