Memahami Makna Sapaan 'Gus' dalam Budaya Jawa Islam, Ternyata Bukan untuk Orang Sembarangan
Belakangan ini, media sosial dihebohkan oleh video ceramah Gus Miftah yang dianggap mempermalukan seorang penjual es di hadapan jemaahnya.
Baru-baru ini, media sosial dihebohkan oleh cuplikan video ceramah Gus Miftah yang dianggap mempermalukan seorang penjual es di hadapan jemaahnya. Dalam video tersebut, bapak penjual es teh yang membawa dagangannya di atas kepala disebut "gobl*k" oleh Gus Miftah dan dijadikan bahan lelucon.
"Es teh mu masih banyak tidak? Ya dijual, gobl*k!" ucap Miftah yang disambut tawa dari orang-orang di sekelilingnya.
Banyak warganet menilai pernyataan Gus Miftah tersebut tidak pantas meskipun konteks ceramahnya mungkin berbeda. Oleh karena itu, banyak komentar negatif yang ditujukan kepada Gus Miftah, termasuk penilaian mengenai gelar 'Gus' yang disandangnya.
Warganet mulai mengungkapkan informasi mengenai latar belakang Gus Miftah, seperti "Miftah nama aslinya Ta'im, ayahnya orang Lampung bekerja serabutan. Ta'im dulu marbot di masjid Mergansang saat kuliah dan gak lulus," dan "Gus, tapi bukan anak kiai," tulis seorang pengguna media sosial.
Ada juga yang mengekspresikan kekecewaannya dengan menyatakan, "Cancel culture aja deh, plis sakit hati banget liatnya," menunjukkan bahwa pernyataan Gus Miftah telah menimbulkan reaksi yang cukup besar.
Namun, apa sebenarnya arti dari gelar 'Gus'?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 'gus' adalah julukan untuk laki-laki, sering kali merujuk pada 'bagus, tampan, atau pandai', dan biasanya diberikan kepada keturunan kiai yang belum layak disebut kiai.
Belakangan, penggunaan gelar 'Gus' semakin meluas, mencakup berbagai kalangan, mulai dari politisi hingga penceramah. Gelar ini kini telah menjadi sebuah merek yang memiliki nilai jual tinggi. Banyak orang yang ingin memanfaatkan gelar 'Gus' untuk menarik perhatian masyarakat.
Namun, seharusnya gelar ini mencerminkan sosok, keilmuan, dan tradisi pesantren, sehingga tidak sembarangan orang dapat menggunakannya.
Menurut HM Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans), pengasuh Pesantren Asrama Queen Darul Ulum Rejoso, orang yang bukan keturunan kiai tetapi dipanggil 'Gus' adalah 'Gus' naturalisasi.
"Definisi 'Gus' itu simpel. 'Gus' adalah sebutan untuk putra seorang kiai," ungkapnya.
Gus Hans menambahkan bahwa mereka yang menyandang gelar 'Gus' tidak harus ahli dalam agama, tetapi sangat disayangkan jika gelar tersebut digunakan untuk menipu atau mencari keuntungan.
"Saat ini, siapa saja bisa mengaku 'Gus' untuk mendapatkan privilege yang bisa dikapitalisasi," jelasnya.
Praktik pengobatan alternatif sering kali dibungkus dengan atribut agama atau gelar 'Gus' untuk meningkatkan daya tarik. Hal ini menciptakan peluang bisnis yang menggiurkan tanpa memerlukan uji kompetensi yang ketat.
"Penghasilan tinggi ini yang dibutuhkan hanyalah kemampuan komunikasi dan teaterikal dalam meyakinkan pasien," tambahnya.
Seharusnya, gelar 'Gus' diberikan kepada seseorang karena ia adalah putra kiai, yang membawa beban moral untuk menjaga nama baik orang tua.
"Ada beban mental ketika kemampuannya terkadang tidak dapat menjawab ekspektasi masyarakat," kata Gus Hans.
Hal serupa juga diungkapkan oleh KH Fahmi Amrullah Hadzik, pengasuh Pesantren Putri Tebuireng, yang menegaskan bahwa gelar 'Gus' tidak bisa sembarangan dipakai. Menurutnya, gelar tersebut menjadi penanda bahwa seseorang adalah putra ulama atau kiai dan harus diiringi dengan akhlak yang baik.
"Sekarang banyak yang latar belakangnya tidak jelas, tapi punya kemampuan sedikit sudah dipanggil 'Gus'," ujarnya, menyoroti bahaya manipulasi gelar 'Gus' bagi mereka yang benar-benar memenuhi syarat.
Gus Bernasab dan Bersanad Memberikan Sapaan yang Hangat
Mudir Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang, Kiai Ahmad Roziqi, menjelaskan gelar 'Gus' seharusnya memiliki nasab dan sanad. Sanad di sini berarti bahwa seseorang harus memiliki kapasitas keilmuan Islam yang memadai. Sementara itu, nasab berarti memiliki garis keturunan dari tokoh agama Islam. Penjelasan ini disampaikan dalam konteks penggunaan gelar 'Gus' kepada seorang pria asal Blitar bernama Samsudin. Dia diketahui membuka padepokan serta praktik pengobatan alternatif.
"Malah kalau standar Gus Baha (KH Ahmad Bahauddin Nursalim) lebih ekstrem lagi. Nama Gus tidak hanya bernasab, tapi juga ada syarat standar keilmuan," kata Fahmi, melansir NU Online.
Fahmi menambahkan meskipun seseorang dipanggil dengan sebutan 'Gus' atau 'kiai', sebaiknya mereka bersikap biasa saja. Sebab, panggilan 'Gus' terkadang hanya bermakna 'kakak', dan tidak semua anak kiai disebut 'Gus'. Hal ini juga berlaku untuk panggilan 'Kiai', di mana ada kiai yang mendapatkan gelar kehormatan karena penguasaan ilmu agama Islam, namun ada pula yang di segmen lain seperti dalam konteks hewan dan pusaka.
"Ada meme bagus, Gus harus bernasab dan kiai harus bersanad," imbuh pria yang juga merupakan anggota Komisi Fatwa MUI Jawa Timur ini.
Kiai Roziqi juga memperingatkan bahwa bagi mereka yang berencana memanfaatkan gelar 'Gus' tanpa hak, sebaiknya segera menyadari kesalahan tersebut. Ia mengingatkan agar tidak mencari keuntungan pribadi dengan mengorbankan orang lain. Selain itu, masyarakat umum diharapkan untuk tidak 'nggumunan' atau mudah terkesima dengan hal-hal yang tampaknya khariqul 'adah (tidak biasa). Sebab, syaitan pun mampu membantu kekasihnya untuk menampilkan hal-hal yang khariqul 'adah.