Di Tengah Ketidakpastian Global, Ekonomi RI Diprediksi Masih Positif Tahun Ini
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi capai 5,1 persen tahun ini.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi capai 5,1 persen tahun ini.
Di Tengah Ketidakpastian Global, Ekonomi RI Diprediksi Masih Positif Tahun Ini
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi tetap positif di tengah ketidakpastian ekonomi global. Di mana pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal terakhir Indonesia diprediksi masih cukup menjanjikan.
Berdasarkan hasil riset Oxford Economics yang baru-baru ini digagas oleh Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW), perlambatan pada pertumbuhan akan semakin terlihat pada kuartal ketiga meskipun pertumbuhan PDB pada kuartal sebelumnya cukup baik.Pertumbuhan di ASEAN-6 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam) diperkirakan akan mencapai 3,6 persen pada paruh kedua 2023, turun dari 4,2 persen pada paruh pertama dan 5,7 persen pada 2022. Sedangkan Indonesia diprediksi akan tumbuh 5,1 persen di tahun ini, konsisten dengan tren historis pertumbuhan sebelumnya. Setelah itu, perlambatan ringan ke angka pertumbuhan 4,7 persen dapat terjadi di tahun depan jika meninjau adanya hambatan eksternal, yaitu dampak pengetatan moneter yang masih berlanjut.
"Jika melihat tingkat perlambatan ekonomi global, termasuk ASEAN, prospek akan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kuartal terakhir menunjukkan potensi yang cukup baik," kata ICAEW Director for China and Southeast Asia, Elaine Hong dalam keterangannya di Jakarta, Senin (9/10).
Pertumbuhan yang lebih lambat di kuartal III-2023 diperkirakan terjadi karena beberapa alasan. Didasari pada pemulihan ekonomi China pasca pandemi yang melambat, sehingga menyebabkan perkiraan pertumbuhan konsensus diturunkan dengan cepat. Selain itu, dampak penuh dari kenaikan suku bunga Federal Reserve AS (The Fed) sebesar 550bps, dan dampaknya terhadap suku bunga ASEAN, belum sepenuhnya dapat dirasakan. Harga semikonduktor yang lemah juga mempengaruhi negara-negara seperti Singapura dan Malaysia.
Di atas semua itu, hambatan utama terhadap pertumbuhan adalah sektor ekspor.
Setelah melonjak naik pada masa-masa awal pandemi, ekspor barang merosot turun pada tahun lalu dan masih dalam tren penurunan yang serius.
Sebagian besar perlambatan ini disebabkan oleh pergeseran permintaan global dari barang ke jasa. Sementara komposisi permintaan eksternal diperkirakan akan mulai normal pada paruh kedua tahun ini, permintaan secara keseluruhan cenderung cukup baik.
Di Indonesia, pertumbuhan ekonominya mengalami kenaikan menjadi 5,2 persen YoY di kuartal II dari 5 persen di kuartal I. Jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, PDB tumbuh 1,5 persen QoQ, sama dengan kuartal I. Perbedaan antara permintaan domestik yang kuat dan permintaan eksternal yang melemah menjadi sangat mencolok.
Indonesia saat ini memiliki salah satu suku bunga riil tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Pengetatan moneter yang masih berlanjut diharapkan akan memberikan tekanan lebih lanjut dalam beberapa kuartal mendatang.
Dampaknya tidak hanya akan terasa pada investasi, terutama di sektor konstruksi, tetapi juga pada pinjaman rumah tangga, yang dapat berdampak pada konsumsi swasta. Ini adalah tantangan utama yang perlu diatasi untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang stabil.
Perlambatan ekonomi global yang diperkirakan terjadi pada semester II-2023 dan awal 2024 dapat berdampak pada penurunan permintaan terhadap barang-barang Indonesia. China, sebagai salah satu tujuan utama ekspor Indonesia, menghadapi perlambatan pertumbuhan, yang dapat menjadi penghalang tambahan. Namun, sektor jasa, terutama pariwisata, diharapkan dapat membantu menopang total ekspor.
Ini memberikan ruang bagi Bank Indonesia untuk mempertimbangkan pemangkasan suku bunga acuan, yang dapat membantu mendukung pertumbuhan ekonomi. Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, pemerintah dan pelaku ekonomi di Indonesia harus tetap waspada dan responsif terhadap perubahan dalam dinamika global.
Di luar Indonesia, tren positif penurunan inflasi umum kemungkinan akan terus berlanjut di seluruh wilayah ASEAN, meskipun inflasi inti secara umum lebih tinggi. Inflasi IHK Asia Tenggara diperkirakan mencapai 3,5 persen tahun ini, turun dari 4,6 persen pada tahun 2022, sebelum turun menjadi 2,4 persen pada tahun 2024.
Dengan latar belakang ini, bank-bank sentral di kawasan ASEAN kemungkinan telah mencapai puncak siklus kenaikan suku bunga. Bank-bank sentral diperkirakan akan atau telah mulai memangkas suku bunga. Namun, penurunan suku bunga ini mungkin masih tertunda karena perlambatan ekonomi Tiongkok yang cepat.Pemangkasan suku bunga oleh People's Bank of China (PBoC) selama beberapa bulan terakhir mungkin tidak sepenuhnya efektif dalam menstimulasi permintaan di tengah tingginya penghindaran risiko, dan hal ini pada gilirannya dapat memberikan tekanan pada mata uang ASEAN.