Dirut Pupuk Indonesia Curhat Rumitnya Aturan Penagihan Subsidi Pupuk
Penagihan biaya pupuk subsidi ini melibatkan banyak pihak. Mulai dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan.
Direktur Utama PT Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi mengeluhkan berbelitnya regulasi atau aturan terkait penagihan subsidi pupuk ke pemerintah. Kondisi ini mengakibatkan biaya bunga yang tidak sedikit, mencapai triliunan rupiah per tahun.
Rahmad menjelaskan, penagihan biaya pupuk subsidi ini melibatkan banyak pihak. Mulai dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, hingga Kementerian Perdagangan. Belum lagi jika menghitung dari tingkat klaim pupuk subsidi di wilayah sasaran.
"Karena over regulated ini banyak sekali regulatory cost, mohon maaf, misalnya contohnya dari sisi rumitnya penagihan pupuk subsidi, itu mengakibatkan biaya bunga yang tidak kecil," kata Rahmad dalam diskusi soal pupuk subsidi, di Langham Hotel, Jakarta, Rabu (17/7).
Dalam paparannya, dia mencatat setidaknya ada 13 tahapan yang harus dilalui. Mulai dari penyediaan dokumen awal, penyiapan dokumen kelengkapan pembayaran oleh Pupuk Indonesia, hingga penerbitan surat perintah pencairan dana dari pemerintah ke Pupuk Indonesia.
"Kalau kita hitung secara harian saja, ini berbicara bukan yang kurang tagih, artinya HPP yang lebih tinggi dibandingkan yang diberikan, ini yang reguler saja. Maka dari proses pertama penyaluran hingga terbitnya Surat Perintah pencairan dana itu kira-kira 5 bulan, nah kita sudah hitung dari sisi ini saja bunganya itu triliunan per tahun," bebernya.
Rahmad menjelaskan, ada biaya yang harus ditanggung lebih besar mengingat keharusan penyediaan stok di titik-titik usaha Pupuk Indonesia. Ini mengacu pada titik pabrik milik Pupuk Indonesia Group.
"Belum lagi misalnya ketentuan di permendag yang mewajibkan kita memiliki stok di setiap Kabupaten. Di Kabupaten Karawang itu ada pabrik kita, pupuk kujang Cikampek tapi kita harus punya stok, sama halnya dengan di Gresik di Kabupaten Gresik Lamongan, Tuban kemudian Sidoarjo," ucapnya.
"Kita punya pabrik di Gresik yang besar sekali kita harus punya gudang di sana akibatnya kita ini me-maintain stok sebesar 1,7 juta ton untuk memenuhi regulatory complience tadi, biayanya itu Rp9 triliun," tambah Rahmad.
Contoh lainnya, ketika Pupuk Iskandar Muda (PIM) diminta untuk menyediakan dan menyalurkan pupuk subsidi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Namun, hal ini terganjal akibat kurangnya bahan baku gas yang diatur melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM.
Sebetulnya, kekurangan bahan baku itu bisa disuplai oleh Pupuk Sriwidjaja Palembang atau Pupuk Kaltim. Tapi, lagi-lagi hal itu terganjal aturan yang dibentuk Kementerian Perdagangan.
"Ternyata pada saat diperlukan produsen yang tersebut dalam Kepmen itu tidak bisa memproduksi. Nah, karena PIM tidak bisa memproduksi, kami kan sebenarnya produksi besar sekali di seluruh Indonesia, sebetulnya bisa kita suplai dari (Pupuk) Kaltim atau dari Pusri, tapi tidak bisa, karena rayonisasi diatur oleh Permendag," tuturnya.
Pada akhirnya, ini menimbulkan persoalan baru lagi karena Pupuk Indonesia mengambil gas dengan harga komersial untuk memproduksi pupuk subsidi.
Sementara, dalam aturan klaim penagihan, tidak diperbolehkan menggunakan gas dengan harga komersial.
"Pada akhirnya kita mencari gas di harga komersil untuk memproduksi pupuk bersubsidi dan kemudian itu menjadi persoalan karena ternyata saat menagih itu harusnya gasnya tidak boleh menggunakan harga komersil ketika kita memproduksi pupuk bersubsidi," jelasnya.
Sebagai solusinya, kata dia, tahapan-tahapan ini bisa disederhanakan melalui digitalisasi. Dengan demikian, beban keuangan negara untuk membayar subsidi pupuk itu bisa lebih rendah.
"Ini sebenarnya kalau ini bisa disederhanakan tentu ini akan menghemat uang negara," tegasnya.
Setidaknya, dia menyarankan ada 5 tahapan dalam pengaturan tadi. Mulai dari persiapan di sektor hulu meliputi perencanaan, bahan baku, proses produksi.
Misalnya terkait sasaran pupuk subsidi, penentuan nilai subsidi, jaminan pasokan gas untuk produksi hingga kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) jangka panjang.
Serta di sektor hilir meliputi distribusi dan penyaluran, serta penagihan. Seperti skema penyaluran, pengaturan gudang yang efisien, audit HPP, volume, dan kebutuhan pupuk per tiga bulan, sampai ketentuan pembayaran piutang subsidi paling lambat satu tahun anggaran.
"Jadi menurut saya sangat komplicated dan saya sangat mendukung pemerintah yang sekarang terus-menerus untuk melakukan kebijakan pupuk pembaharuan pupuk bersubsidi," pungkasnya.