Info Terbaru dari Wamenaker: Sritex Tetap Beroperasi dan Tidak Lakukan PHK
Noel sapaan akrabnya menegaskan bahwa, meskipun Sritex sedang dalam proses restrukturisasi, nasib karyawan tetap menjadi perhatian utama pemerintah.

Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer Gerungan memastikan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) masih menjalankan proses produksi dan tidak akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya.
"Kalau kemarin kan manajemen memastikan tidak ada PHK. Ada jaminan dari manajemen. Kita juga minta ke kurator untuk memberi jaminan itu," kata Immanuel kepada media, Jakarta, Jumat (31/1).
Noel sapaan akrabnya menegaskan bahwa, meskipun Sritex sedang dalam proses restrukturisasi, nasib karyawan tetap menjadi perhatian utama pemerintah.
Lebih lanjut, Immanuel menekankan keputusan terkait kelangsungan usaha Sritex kini berada di tangan kurator, bukan lagi di manajemen perusahaan.
"Hari ini domennya itu sudah ada di kurator, bukan lagi di manajemen Sritex," tambahnya.
Artinya, peran kurator menjadi krusial dalam menentukan arah perusahaan ke depan, termasuk memastikan hak-hak pekerja tetap terlindungi. Meski begitu, dia juga menegaskan pihaknya akan terus mengawal proses ini agar tidak ada pekerja yang kehilangan mata pencaharian.
"kita harapkan adanya going concern keputusannya. Dia berjalan," imbuhnya .
Menurutnya, fokus utama tetap pada kesejahteraan para pekerja, dan pemerintah tidak akan tinggal diam jika ada indikasi PHK massal.
"Soal itu kan sekarang domainnya ada di kurator. Tapi tetap kita fokus pada kawan-kawan pekerjanya. Kita minta apakah pekerjanya di PHK atau tidak. Kalau kemarin kan manajemen memastikan tidak ada PHK. Ada jaminan dari manajemen. Kita juga minta ke kurator untuk memberi jaminan itu," lanjutnya.
Dia bahkan memberikan peringatan tegas kepada kurator agar tidak bertindak sewenang-wenang.
"Supaya tidak ada PHK. Ya harus ada dong. Artinya kawan-kawan kurator jangan abai, kurang ajar," tegasnya.
Total Tagihan Utang Sritex Ternyata Mencapai Rp32,6 Triliun, Keluarga Pemilik Malah Ikut Tagih Rp1,2 Triliun
Kurator pailit PT Sri Rejeki Isman (Sritex) mencatat adanya tagihan utang sekitar Rp1,2 triliun oleh sejumlah perusahaan yang dimiliki keluarga pemilik pabrik tekstil terbesar di Indonesia tersebut.
"Ada 11 perusahaan terafiliasi Sritex grup yang direkturnya adalah keluarga pemilik Sritex" kata salah satu Kurator Pailit PT Sritex, Denny Ardiansyah dikutip dari Antara Semarang, Selasa (14/1).
Bahkan, lanjut dia, salah satu perusahaan yang mendaftarkan tagihan utang tersebut pemiliknya yakni Iwan Kurniawan Lukminto, Direktur Utama PT Sritex.
Hingga saat ini, menurut dia, total tagihan utang PT Sritex yang telah diterima oleh kurator mencapai Rp32,6 triliun.
Tagihan utang terbesar, kata dia, berasal dari kreditor konkuren atau kreditor yang tidak memegang jaminan kebendaan apapun yang nilainya mencapai Rp24,7 triliun.
Kurator juga mencatat tagihan yang diajukan oleh empat bank pemerintah, yakni Bank BJB, BNI, Bank DKI, serta BRI. Dia menyebut total tagihan empat bank BUMN tersebut mencapai sekitar Rp4,8 triliun.
Data Kepemilikan Aset
Adapun jika dilihat dari data kepemilikan aset, kata dia, nilainya yang hanya sekitar Rp10 triliun tidak akan bisa menutup total utang yang mencapai Rp32,6 triliun.
Dia menyebut salah satu kendala yang dihadapi yakni adanya upaya menghalangi kerja kurator untuk mendapatkan data dan mengecek langsung kondisi perusahaan.
Kurator hingga saat ini belum pernah bertemu langsung dengan Direktur Utama Iwan Lukminto. Padahal, menurut dia, debitor pailit sudah tidak memilik hak apapun terhadap PT Sritex usai diputus pailit.
"Tim Kurator menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU.
Sebelumnya, Pengadilan Niaga Semarang memutus pailit PT Sri Rejeki Isman (Sritex) dan tiga anak perusahaannya setelah mengabulkan permohonan salah satu kreditor perusahaan tekstil tersebut.
Salah satu debitur PT Sritex, yakni PT Indo Bharat Rayon, mengajukan permohonan pembatalan perjanjian perdamaian atas kesepakatan penundaan kewajiban pembayaran utang pada 2022.