Kemenhub Soroti Monopoli Avtur Buat Tiket Pesawat Mahal, Pengamat Penerbangan Berikan Tanggapan Berbeda
Budi menegaskan pentingnya pengelolaan avtur yang dilakukan secara multi-provider, seperti yang diterapkan di negara lain.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi baru-baru ini mengungkap bahwa penurunan harga tiket pesawat sebesar 10 persen terhambat oleh adanya monopoli avtur yang dilakukan oleh PT Pertamina (Persero).
Budi menegaskan pentingnya pengelolaan avtur yang dilakukan secara multi-provider, seperti yang diterapkan di negara lain. Dalam pernyataannya, Budi menyatakan,
"Harga monopoli itu saya buka (peraturannya), dilindungi oleh BPH Migas. Tolong ditulis gede-gede. Besok datang ke BPH Migas, tanya sama mereka. Saya sudah rapat dengan Pak Luhut, tidak dilaksanakan," kata Budi beberapa waktu lalu.
Budi juga mengaku dirinya telah berulang kali meminta agar Pertamina mengubah cara pengelolaannya. Dia mengungkapkan kekesalan terhadap BPH Migas yang tidak menindaklanjuti pembicaraan tersebut, dan menyatakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kini mulai melakukan penyelidikan atas dugaan praktik monopoli oleh PT Pertamina Patra Niaga.
Penyelidikan ini dilatarbelakangi oleh tingginya harga avtur di Indonesia, yang tercatat sebagai yang tertinggi di Asia Tenggara, termasuk di Bandara Soekarno-Hatta.
Anggota KPPU, Gopprera Panggabean, menjelaskan bahwa indikasi monopoli terjadi melalui penolakan kerja sama dengan pelaku usaha baru dan penjualan terbatas kepada afiliasi. Hal ini mempersulit pihak lain untuk bersaing dalam penyediaan avtur.
Namun, pengamat penerbangan Alvin Lie memberikan tanggapan berbeda. Dia menilai Kementerian Perhubungan hanya mencari kambing hitam atas masalah tingginya harga tiket pesawat. Menurut Alvin, tidak ada peraturan yang melarang masuknya penyedia avtur lain.
"Sejak beberapa tahun yang lalu sudah ada provider selain Pertamina," tegas Alvin kepada Merdeka.com, Rabu (2/10).
Revisi Batas Tarif
Alvin menambahkan tarif batas atas (TBA) yang berlaku sejak 2019 tidak mengalami revisi, sementara biaya operasi maskapai terus meningkat, termasuk fluktuasi nilai tukar rupiah dan gaji pegawai. Situasi ini membuat maskapai, seperti Lion Group, terpaksa mengalihkan skadron ke Malaysia dan Thailand, di mana regulasi TBB dan TBA lebih fleksibel.
Maskapai lain, seperti Air Asia, juga mengurangi rute domestik dan lebih fokus pada rute internasional yang tidak terikat oleh batasan tarif tersebut. Alvin menyatakan banyak maskapai mengeluhkan rute domestik yang dianggap tidak menguntungkan.
Sementara itu, Alvin bilang harga tiket yang tinggi, khususnya pada rute Jawa-Sumatera, sering menjadi keluhan. Ia mencatat alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan tiket murah adalah dengan melakukan transfer flight di Kuala Lumpur, Malaysia.
Alvin juga menyoroti tantangan yang dihadapi penerbangan di bagian timur Indonesia, di mana harga avtur lebih mahal dan fasilitas perawatan pesawat terbatas. Tak hanya itu penerbangan menuju ke sana pun mayoritas menggunakan pesawat propeller/ ATR 72.
"Dilema perawatan pesawat ATR, Suku cadang langka, fasilitas MRO sangat terbatas, antrean," pungkas Alvin.