Polemik Mahalnya Harga Tiket Pesawat Domestik dan Dugaan Monopoli Penjualan Avtur
Biaya penerbangan domestik jauh lebih mahal dibandingkan dengan biaya penerbangan internasional atau ke luar negeri.
Polemik mengenai tingginya harga tiket pesawat untuk penerbangan domestik kembali menjadi sorotan publik, memicu diskusi yang lebih luas mengenai harga jual avtur di Indonesia.
Hal ini muncul seiring dengan keluhan pengguna jasa penerbangan yang merasakan bahwa biaya penerbangan domestik jauh lebih mahal dibandingkan dengan biaya penerbangan internasional atau ke luar negeri.
Kementerian Perhubungan menyebut, penyebab utama tingginya harga tiket pesawat domestik adalah harga avtur yang lebih tinggi, yang diduga disebabkan oleh praktik monopoli. Oleh karena itu, kementerian ini mendorong agar pasar avtur di dalam negeri dikelola oleh multiprovider, sesuai dengan rekomendasi dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Namun, pandangan ini diperdebatkan oleh Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro. Menurutnya, berdasarkan teori ekonomi, pasar monopoli didefinisikan sebagai kondisi di mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar tanpa adanya pesaing.
Komaidi menjelaskan, jika merujuk pada ketentuan regulasi dan fakta di lapangan, pasar avtur di Indonesia tidak memenuhi syarat sebagai pasar monopoli.
Hal ini ditegaskan oleh Pasal 2 Peraturan BPH Migas No.13/P/BPH MIGAS/IV/2008, yang menyatakan bahwa kegiatan usaha penyediaan dan pendistribusian bahan bakar penerbangan terbuka untuk semua badan usaha yang memenuhi syarat, dengan tetap mempertahankan prinsip persaingan yang sehat, wajar, dan transparan.
Saat ini, terdapat empat pelaku usaha yang memiliki izin untuk niaga avtur, yaitu PT Pertamina Patra Niaga, PT AKR Corporindo, PT Dirgantara Petroindo Raya, dan PT Fajar Petro Indo.
"Jika mengacu pada ketentuan regulasi dan fakta bahwa telah terdapat sejumlah pelaku usaha dalam pasar avtur di Indoensia, tidak tepat jika pasar avtur di dalam negeri disebut sebagai monopoli," kata Komaidi dalam keterangannya, Jumat (11/10).
Komaidi menegaskan dengan adanya beberapa pelaku usaha di pasar avtur, tidak tepat untuk menyebut kondisi tersebut sebagai monopoli. Dia menyarankan agar para pemangku kepentingan berkumpul dan berkolaborasi untuk menemukan solusi atas permasalahan yang ada.
Penting untuk dicatat bahwa tingginya harga tiket pesawat tidak hanya dipengaruhi oleh biaya avtur, tetapi juga oleh 15 komponen biaya lain, seperti biaya jasa kebandarudaraan, biaya jasa navigasi, dan pajak. Beberapa dari biaya ini tetap sama untuk penerbangan jarak jauh dan dekat, yang berkontribusi pada tingginya harga tiket.
Lesunya Industri Pariwisata
Selain itu, Komaidi juga mengingatkan kondisi lesunya industri pariwisata di dalam negeri mungkin disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk keterbatasan infrastruktur di daerah wisata dan adanya pungutan tidak resmi, yang membuat biaya wisata menjadi lebih mahal.
Studi menunjukkan bahwa porsi biaya avtur dalam komponen harga tiket pesawat berkisar antara 20 hingga 40 persen, yang berarti bahwa sekitar 60 hingga 80 persen dari komponen biaya penerbangan berasal dari faktor lain.
Komaidi mengingatkan bahwa fokus hanya pada harga avtur dalam upaya menurunkan harga tiket dapat menghasilkan kebijakan yang tidak proporsional.
"Karena itu, upaya menurunkan harga tiket pesawat hanya dengan berfokus pada harga avtur, dapat menghasilkan kebijakan yang tidak proporsional," terang dia.
Data juga menunjukkan bahwa porsi biaya avtur terhadap total biaya penerbangan dari beberapa maskapai mengalami peningkatan dari tahun 2019 ke 2023. Peningkatan ini disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia, yang tercatat naik sekitar 30 persen dalam periode tersebut.
Komaidi berharap agar semua pemangku kepentingan dapat lebih bijaksana dan tidak saling menyalahkan di publik. Dia menekankan pentingnya duduk bersama untuk menyelesaikan masalah ini, dengan mengingat bahwa setiap tahap kebijakan publik, mulai dari perencanaan hingga evaluasi, harus dilakukan dengan cermat.
"Saya berharap semoga para stakeholder pengambil kebijakan lebih bijaksana, tidak saling menyalahkan di publik tetapi lebih mengutamakan duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan yang ada," ungkapnya.
"Dalam implementasi kebijakan publik, semua tahapan mulai dari perencanaan kebijakan, implementasi, dan evaluasi kebijakan perlu dilakukan dengan cermat untuk menghindari suatu kondisi di mana sedang sakit perut tetapi justru mengobati kepalanya kepalanya," sambung Komaidi.