Saat Bung Hatta Takjub dengan Orang Kaya-kaya, Penduduk Asli Merauke Cerdas dalam Berhitung
Mohammad Hatta menjadi saksi bahwa suku asli Merauke kaya-kaya dan sangat pintar dan cerdas dalam berhitung.
Wakil Presiden Mohammad Hatta menjadi saksi bahwa suku asli Merauke kaya-kaya dan sangat pintar dan cerdas dalam berhitung.
Saat Bung Hatta Takjub dengan Orang Kaya-kaya, Penduduk Asli Merauke Cerdas dalam Berhitung
Bung Hatta Takjub dengan Penduduk Asli Merauke
Pemerataan kesejahteraan dan kemajuan sumber daya manusia masih menjadi tugas besar bagi pemerintah Indonesia. Warga Indonesia Timur, menjadi masyarakat yang kerap menghadapi kesulitan ketika ingin mendapatkan akses dasar, seperti pangan hingga pendidikan. Di satu sisi, Wakil Presiden Mohammad Hatta menjadi saksi bahwa suku asli Merauke kaya-kaya dan sangat pintar dan cerdas dalam berhitung.
Dalam buku Memoir: Bung Hatta, pemerintah kolonial Belanda mengasingkan Mohammad Hatta ke Boven Digoel, Papua. Saat itu, Hatta membawa banyak barang dan pakaian yang dia kemas di dalam beberapa peti.
Dari tumpukan peti, Hatta paling banyak mengisi peti tersebut dengan buku-buku. Setidaknya, ada 16 peti berisi buku-buku yang akan dibaca Hatta selama masa pengasingan.
Pada 28 Januari 1935, Hatta tiba di tanah Boven Digul, Merauke. Di sana, dia khawatir tentang nasib buku-buku yang dia bawa. Dia memikirkan bagaimana buku tersebut dapat diangkut ke tempat pengasingan. Dari kantor pemerintahan setempat ke kampung pembuangan tempat Hatta tinggal, jaraknya sekitar 1,5 Km jika ditempuh berjalan kaki. Dia tidak bisa membayangkan betapa melelahkannya jika itu dilakukan secara bolak-balik."Seorang anggota panitia penerimaan mengusulkan kepadaku supaya barang-barangku Itu diminta tolongkan mengusungnya oleh orang Kaya-kaya (penduduk asli) yang ada di situ yang sudah agak 'jinak' yang sebagian sudah bekerja pada orang buangan," ujar Hatta.
Hatta kemudian mendapatkan saran agar peti buku diangkut oleh orang Kaya-kaya dengan syarat pemberian upah. Hatta tidak keberatan dengan usulan itu. Dia kemudian bernegosiasi dengan seorang pemimpin orang Kaya-kaya dan sepakat ongkos angkut satu peti buku Hatta satu kelip atau setara 5 sen di tahun itu. Bentuk uangnya yaitu bundar dan berlubang di tengahnya. Hatta tiba di rumah pengungsian. Di sana dia sudah dinantikan oleh Sutan Said Ali bersama istrinya Uni Said Ali seorang Digulis asal Minangkabau yang dikenal Hatta sebagai guru sekolah Adabiah di Padang 1918. Hatta diberitahu, kebiasaan di Boven Digul orang Kaya-kaya bekerja pada orang-orang buangan dengan perjanjian tertentu. Kontrak kerja biasanya berlangsung selama 2 bulan selama bekerja mereka mendapat sehelai kemeja tangan pendek dan celana pendek, majikan juga harus memberi makan orang Kaya-kaya yang bekerja di rumahnya. Hatta kemudian mempekerjakan Orang Kaya-kaya sebagai asisten rumah tangga. Tugasnya hanya mencuci pakaian dan kadang membantu menanak nasi.'Gaji’ yang diberikan Hatta berupa separuh dari beras ransumnya, dan ikan asin yang tidak digoreng, sehelai baju dan celana pendek serta satu kapak.
"Selama aku di Digul, kubelikan juga untuk dia tiap kali mau pulang sekilo tembakau," ucap Bung Hatta.
Pada akhir tahun pemerintah kolonial berencana memindahkan Hatta ke tempat pengasingan orang lain Banda Neira. Lagi, orang Kaya-kaya berjasa menyelamatkan peti-peti buku Hatta untuk dibawa ke Banda Neira. Hatta meminta 20 orang Kaya-kaya untuk menggotong koper pakaian dan peti-peti bukunya. Ketika merundingkan biaya angkut, Hatta mendapati kemajuan yang signifikan dalam hitung-hitungan orang Kaya-kaya Saat pertama kali tiba di Digul, orang Kaya-kaya mematok ongkos sebesar 5 sen ketika Hatta akan pindah ke Banda Neira orang Kaya-kaya meminta tarif sebesar 10 sen. "Satu kemajuan dalam pikiran dalam waktu hampir satu tahun. Dengan segala senang hati, kubayar upah yang mereka minta itu," ucap Hatta.