Sederet Bukti Lebaran 2025 Lesu
Jumlah warga Indonesia yang akan bepergian tahun ini untuk merayakan Idul Fitri akan menurun.

Indonesia saat ini tengah menghadapi kekhawatiran ekonomi yang meningkat, yang semakin melemahkan sentimen di kalangan konsumen, bisnis, dan investor menjelang salah satu hari libur terbesar.
Benedicta Alvinta, seorang ahli strategi pemasaran lepas yang tinggal di Yogyakarta, Jawa Tengah, mengungkapkan bahwa penurunan pasar saham Indonesia yang "menegangkan" telah merugikan portofolio investasinya. Portofolionya sebagian besar terfokus pada saham, obligasi ritel pemerintah, reksa dana, dan emas.
"Saya masih percaya bahwa indeks saham akan pulih, tetapi dalam jangka panjang, seperti banyak orang, saya kurang yakin dengan prospek ekonomi, sehingga saya lebih berhati-hati dalam berinvestasi," ungkapnya sebagaimana dilansir dari Bloomberg.
Wanita berusia 29 tahun ini memilih untuk menahan diri dalam pengeluaran, termasuk menunda rencana renovasi rumah dan mengganti perabotan.
Diperkirakan, jumlah warga Indonesia yang akan bepergian tahun ini untuk merayakan Idul Fitri akan menurun. Hal ini dipengaruhi oleh turunnya kepercayaan diri konsumen di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.
Pemangkasan anggaran, kebijakan belanja populis, dan ketidakpastian kebijakan di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto turut memperburuk situasi.
Performa IHSG
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Indonesia baru-baru ini mencatatkan penurunan terbesar dalam lebih dari satu dekade, dan merupakan salah satu yang berkinerja terburuk di dunia tahun ini.
Pada 25 Maret, nilai tukar rupiah bahkan terjun ke level terlemah sejak krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an.
Pasar-pasar lokal kini mendapat jeda, tutup lebih dari seminggu untuk menandai berakhirnya bulan puasa Ramadan.
Di tengah ketidakpastian ekonomi dan dompet yang semakin menipis, jalanan di sejumlah kota besar Indonesia tampak lebih sepi dari biasanya. Kementerian Perhubungan memperkirakan sekitar 146 juta orang akan bepergian tahun ini, turun lebih dari 45 juta dibandingkan tahun lalu.
Faktor-faktor seperti PHK di sektor tekstil besar, harga nikel yang melemah, dan penurunan nilai tukar rupiah turut membebani ekonomi rumah tangga.
Shinta Widjaja Kamdani, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, menyatakan bahwa kenaikan biaya bahan baku bulan lalu akibat depresiasi rupiah menambah beban pengusaha.
"Biaya input yang lebih tinggi akan mengikis margin dan dapat menyebabkan harga jual naik," ujarnya.
"Hal ini dapat menyebabkan penurunan daya beli masyarakat dan melemahnya pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan."
Disfiyant Glienmourinsie, yang menjalankan bisnis katering Dapur Makaro di Jakarta Selatan, mengatakan bahwa harga salmon, salah satu bahan utama dalam hidangannya, naik sekitar 15% bulan ini saja.
"Dua minggu lalu, saat saya membeli, mereka meminta maaf dan memberi tahu saya bahwa harga salmon sedang naik," ujarnya. Meskipun demikian, ia memilih untuk tetap mempertahankan kualitas meskipun margin keuntungan tidak lagi optimal.
"Saya masih bisa bertahan meskipun margin saya tidak 100%. Saya tidak ingin mengorbankan kualitas atau porsi makanan," tambahnya.
Namun, ada sedikit kabar baik di pasar saham Indonesia. Bank-bank besar mengumumkan pembayaran dividen yang lebih tinggi, memberikan sedikit kegembiraan bagi lebih dari 15 juta investor ritel Indonesia.
Rapat pemegang saham pun menarik perhatian, dengan beberapa di antaranya mengunggah siaran langsung di TikTok.
Pada hari Selasa, antrean panjang terlihat di depan kantor pusat PT Bank Mandiri di Jakarta. Beberapa pemegang saham bahkan datang lima jam sebelum rapat untuk mengamankan tempat duduk. Bank Mandiri mengumumkan rasio pembayaran dividen tertinggi sepanjang sejarahnya.
Stimulus Pemerintah yang Tak Kunjung Cukup
Meskipun ada sedikit kegembiraan di pasar saham, masalah lain yang menjadi perhatian adalah kepercayaan konsumen. Impor barang konsumsi tercatat menyusut 20% dalam dua bulan pertama tahun ini.
Selain itu, Bank Indonesia memperkirakan penurunan penjualan ritel pada Februari, yang akan menandai kontraksi pertama sejak April tahun lalu. Hal ini terjadi meskipun pemerintah telah mengumumkan kenaikan upah minimum dan hampir membatalkan kenaikan pajak penjualan.
Solihin, Ketua Asosiasi Pedagang Eceran Indonesia, mengungkapkan bahwa langkah-langkah stimulus pemerintah belum cukup signifikan untuk mendongkrak daya beli konsumen.
"Berbagai langkah stimulus pemerintah telah membantu, tetapi tampaknya tidak cukup signifikan," ujarnya.
Ia juga mencatat bahwa konsumen semakin beralih ke produk yang lebih murah, termasuk barang-barang konsumsi cepat habis, yang mencerminkan penurunan daya beli masyarakat.