Cegah Gangguan Mental Akibat Perang, Warga Afghanistan Tulis Surat
Ratusan warga Afghanistan, lelah dengan perang dan masa depan tak menentu, bergabung dengan sebuah kampanye menulis surat untuk membagi perasaan mereka. Surat kemudian dikirimkan ke penguasa, diplomat, dan pimpinan Taliban. Proyek ini juga bertujuan untuk mencegah gangguan mental masyarakat yang lelah didera perang.
Ratusan warga Afghanistan, lelah dengan perang dan masa depan tak menentu, bergabung dengan sebuah kampanye menulis surat untuk membagi perasaan mereka dengan penguasa yang akan memutuskan berdamai dengan Taliban, yang juga berkaitan dengan nasib negara mereka.
Surat-surat dari berbagai wilayah Afghanistan mengungkapkan perpaduan perasaan bingung, rasa menyerah dan ketakutan.
-
Apa yang diresmikan oleh Jokowi di Jakarta? Presiden Joko Widodo atau Jokowi meresmikan kantor tetap Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) Asia di Menara Mandiri 2, Jakarta, Jumat (10/11).
-
Bagaimana prajurit Mataram akhirnya berjualan di Jakarta? Meskipun kalah perang, para prajurit yang kalah justru mulai berjualan di Jakarta dengan dua menu yaitu telur asin dan orek tempe.
-
Siapa saja yang diarak di Jakarta? Pawai Emas Timnas Indonesia Diarak Keliling Jakarta Lautan suporter mulai dari Kemenpora hingga Bundaran Hotel Indonesia. Mereka antusias mengikuti arak-arakan pemain Timnas
-
Apa yang terjadi pada kasus Covid-19 di Jakarta menjelang Nataru? Kasus Covid-19 meningkat di Ibu Kota menjelang Natal 2023 dan Tahun Baru 2024.
-
Bagaimana Adrian Maulana mengatasi kemacetan di Jakarta? Adrian Maulana lebih prefer jalan kaki dan naik transportasi umum, dari ojol sampe kereta.
-
Kapan kemacetan di Jakarta terjadi? Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Rani Mauliani menerangkan, kemacetan parah di beberapa titik di Jakarta kerap terjadi pada jam berangkat dan pulang kerja.
"Saya hidup dalam duka tapi saya tersenyum. Orang-orang berpikir saya berani tapi saya tak punya pilihan," tulis salah seorang warga.
Surat-surat tersebut, bagian dari kegiatan proyek Dard-e-Dil atau lara hati ditujukan kepada diplomat Amerika Serikat, Taliban, dan pejabat pemerintah. Surat-surat ditulis ketika berlangsung perundingan tingkat tinggi untuk mencapai kesepakatan mengakhiri perang 18 tahun.
"Saya menulis dengan setitik harapan bahwa kami bisa memiliki kehidupan lebih baik di Kabul, kami hidup di tengah banyaknya ketegangan, saya tak bisa apa-apa untuk mengubah situasi tapi saya tetap menulis," tulis salah seorang warga dari Kabul.
Proyek Dard-e-Dil bertujuan memberi warga biasa medium untuk mengungkapkan perasaan mereka ketika perundingan damai para pejabat tinggi, kendati perang belum surut.
"Ketidakpastian politik yang berlaku jelas merupakan fase paling menegangkan bagi rakyat Afghanistan, kebanyakan dari kami sudah berjuang melawan depresi dan masalah kesehatan mental," kata seniman Omaid Sharifi, yang mengorganisir proyek ini, dilansir dari Reuters, Rabu (24/7).
Ketertarikan Sharifi dalam mengekspresikan perasaan yang disebabkan konflik dituangkan dalam karya bersama ArtLords, sebuah kelompok seni yang ia dirikan yang terkenal karena mural dramatis yang dilukisnya pada dinding ledakan beton suram di sekitar Kabul.
Timnya telah memasang kotak surat khusus di kafe-kafe, pusat pendidikan, rumah sakit dan kantor pemerintah, mendorong orang-orang mencoba berdamai dengan kegelisahan dan menyuarakan pendapat mereka terkait perundingan damai dalam surat.
Surat-surat tersebut kemudian dipilah di studio ArtLords dan dikirim ke pemerintah, diplomat dan pemimpin pemberontak. Terpenting, adalah kebutuhan untuk membantu orang menceritakan kisah mereka, persyaratan dasar untuk kesehatan mental, kata Sharifi, yang berjuang dengan kecemasan selama bertahun-tahun.
"Setiap orang memiliki hak untuk menarasikan cerita mereka. Beberapa dari cerita-cerita ini akan menyoroti dan mengungkapkan pelanggaran HAM dan beberapa akan menawarkan harapan dan solidaritas," jelasnya.
Afghanistan dihancurkan perang berkepanjangan selama beberapa dekade, diawali konflik dengan bekas Uni Soviet dari akhir 1979. Kekerasan, instabilitas, dan kemiskinan mendera setiap keluarga dan banyak warga Afghanistan menderita masalah gangguan mental. Sementara, fasilitas untuk mengobati penyakit tersebut masih langka.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Masyarakat, Wahid Mayar, memperkirakan sekitar setengah populasi mengalami tekanan mental selama hidupnya, konsekuensi perang kerap membayangi kehidupan sehari-hari.
“Penderitaan penyakit mental di Afghanistan adalah perang sunyi. Jika perdamaian datang maka kita harus menerima kehidupan normal yang baru, tetapi saat ini kita berada dalam fase ketidakpastian yang luar biasa," kata Mayar.
“Prospek perdamaian membawa harapan dan kecemasan. Kami bertanya-tanya dapatkah kedamaian datang untuk merangkul kami, menenangkan pikiran kami," lanjutnya.
Data akurat kesehatan mental tak tersedia di Afghanistan tapi WHO memperkirakan lebih dari 1 juta warga Afghanistan menderita depresi dan lebih dari 1,2 juta menderita kecemasan. WHO mengatakan angka aktual bisa jauh lebih tinggi.
Tak ada yang berharap kampanye menulis surat ini dapat menyembuhkan luka konflik lebih dari empat dekade namun kampanye itu setidaknya diharapkan orang-orang bisa mulai melewati rasa takutnya dan bersiap menghadapi masa depan yang tak pasti.
"Ada masa ketika saya ingin kabur dari negaraku dan kemudian saya berpikir saya seharusnya menunggu perdamaian dan merencanakan kehidupanku di sini. Kabul selalu menjadi tempat terbaik," tulis seseorang.
Baca juga:false
Bertempur dengan Taliban, Puluhan Pasukan Komando Elit Afghanistan Tewas
Badan PBB Puji Cara Indonesia Tangani Pengungsi Internasional
Perjuangan Bus Perpustakaan Keliling Cerdaskan Anak-anak Afghanistan di Tengah Teror
Pencari Suaka Afghanistan Dipindah ke Kantor Eks Kodim di Jakarta Barat
Tanda-tanda Memudarnya Kekuatan Amerika di Berbagai Belahan Dunia