Cerita Mereka yang Terpaksa Ganti Nama Demi Hindari Diskriminasi Berbasis Agama
Banyak perempuan Muslim di India yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) terpaksa mengganti nama mereka agar tidak mengalami diskriminasi.
Munni Begum berusia 10 tahun ketika ibunya menghapus nama terakhirnya. Saat itu dia tidak paham alasannya. Dia kerap menemani ibu dan neneknya saat mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga di New Delhi, India.
Ibu dan neneknya harus menggunakan nama yang terdengar Hindu agar mereka tetap bisa bekerja. Munni akhirnya paham mengapa hal itu dilakukan ibu dan neneknya ketika dia juga bekerja sebagai PRT puluhan tahun kemudian.
-
Bagaimana Heatwave bisa terjadi? Gerakan semu Matahari pada akhir April dan awal Mei berada di atas lintang 10 derajat Lintang Utara yang bertepatan dengan wilayah-wilayah Asia Tenggara daratan. Hal ini menyebabkan penyinaran Matahari sangat terik dan memberikan latar belakang kondisi yang panas.
-
Apa itu Heatwave? Gelombang panas atau heatwave di Asia Tenggara dan Asia Selatan menjadi sorotan karena suhu yang mencapai tingkat ekstrem. Beberapa negara mengalami suhu di atas 40 derajat Celsius, bahkan mencapai rekor tertinggi sepanjang masa.
-
Mengapa heatstroke berbahaya? Heatstroke adalah kondisi yang mengancam jiwa karena berpotensi menyebabkan disfungsi multi-organ.
-
Kapan Belva Ugraha lahir? Dengan cepat, pria yang lahir pada tahun 2001 ini telah tumbuh menjadi dewasa dan terlihat seperti kakak-adik dengan Abimana.
-
Kapan Heatwave terjadi di Asia Tenggara? Baru-baru ini, beberapa negara di Asia Tenggara dilanda gelombang panas atau heatwave yang menyebabkan suhu ekstrem. Beberapa negara yang terdampak termasuk Filipina, Thailand, dan negara-negara lain di Asia Tenggara.
-
Siapa yang berisiko terkena heatstroke? Heatstroke dapat berakibat fatal jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat.
"Mereka tidak akan mempekerjakan kami," ujar Munni kepada Al Jazeera.
"Mereka membenci kami orang Muslim. Beberapa dari mereka bilang di depan kami kalau kami orang yang enggak baik. Jadi, Munni itu nama yang bisa diterima masyarakat (Hindu dan Muslim)," lanjutnya, dikutip dari laman Al Jazeera, Kamis (8/9).
Munni mengenang ketika ibunya berangkat kerja memakai sari dan bindi, yang lekat dengan budaya Hindu.
"Dan kakak saya biasanya bekerja pada hari Idulfitri agar tidak dicurigai," ujarnya.
Bekerja sebagai PRT selama lebih dari 40 tahun, Munni mengaku mengalami diskriminasi dan cercaaan di sejumlah rumah orang Hindu dan Jain di mana dia bekerja sebagai tukang cuci dan bersih-bersih. Dia juga kerap ditolak bekerja karena identitas Muslimnya.
"Saya harus membesarkan anak-anak saya sendiri karena suami saya tidak membantu sama sekali. Sangat sulit," kata Munni.
Organisasi Buruh Internasional PBB (ILO) mengatakan, walaupun data statistik resmi menyebut ada 5 juta PRT di India, jumlah itu sebenarnya jauh lebih tinggi, antara 20 juta sampai 80 juta.
Laporan lainnya menyebutkan, sembilan dari 10 buruh Muslim di India menggantungkan mata pencaharian mereka dari sektor informal. Penelitian 2020 oleh Initiative for What Works to Advance Women and Girls in the Economy (IWWAGE) dan Institute of Social Studies Trust (ISST) menemukan, lebih banyak perempuan Muslim yang bekerja di sektor informal daripada perempuan dari agama lainnya di India.
Para pekerja domestik ini kerap mengalami diskriminasi berbasis kasta dan kekerasan. Para majikan mereka kerap membatasi akses para pekerja di dapur, ruang cuci, lift, dan tempat ibadah. Alat makan untuk para PRT juga dibedakan.
Namun menurut aktivis dan Sekjen Shehri Mahila Kamgar (Serikat PRT Perkotaan) New Delhi, Anita Kapoor, marginalisasi yang dihadapi PRT Muslim jauh lebih parah karena identitas agama mereka.
"Banyak pekerja yang harus menyembunyikan nama dan identitas mereka demi mendapatkan pekerjaan dan menghindari diskriminasi," jelasnya kepada Al Jazeera.
"Dan tidak hanya pekerja yang harus mengubah nama mereka tapi juga anak-anak mereka yang kerap menemani mereka bekerja, dan suami mereka yang kadang-kadang ikut bekerja sebagai sopir di rumah yang sama. Jadi seluruh keluarga mereka harus bergelut menghadapi ini," paparnya.
Anita mengatakan, banyak pekerja Muslim yang mulai menamakan anak-anak mereka dengan nama Hindu agar mereka tidak menghadapi diskriminasi sebagaimana yang mereka alami.
Kadang-kadang, lanjut Anita, para majikan itu yang mengubah nama PRT mereka dengan nama-nama konyol yang bertujuan menghina.
Putri Munni Begum, Shahana Parveen juga seorang PRT. Dia mengenang pengalaman buruknya saat masih kecil. Saat itu tidak tidak sengaja mengucap salam "Assalamu'alaikum" saat datang ke rumah tempat bibinya bekerja.
"Bibi saya tiba-tiba menegur saya dan mengatakan, 'Diam! Pakai Namaste (ucapan salam umat Hindu)," ujar perempuan 35 tahun itu sembari tertawa.
Shahana mengganti namanya menjadi Seema setelah menikah dengan pria Hindu.
"Secara pribadi saya tidak pernah menghadapi masalah seperti yang pernah dihadapi ibu dan bibi-bibi saya. Bahkan sebelum saya menikah, saya tidak pernah menyembunyikan identitas saya. (Untungnya) saya bekerja di banyak keluarga yang baik, Hindu juga Muslim."
Berhenti bekerja
Diskriminasi karena identitas ini juga dialami Shabana Raeel (28). Baru-baru ini dia terpaksa berhenti bekerja karena menerima perlakukan diskriminatif.
"Kemanapun saya pergi, mereka menanyakan identitas saya. Saya bisa memasak tapi mereka tidak memberikan saya tugas memasak karena saya seorang Muslim. Baru-baru ini saja, seseorang bilang ke saya, 'Kami tidak mempekerjakan Muslim. Dan kalangan Brahmin (kasta tertinggi dalam Hindu) bahkan tidak mengizinkan kami memasuki rumah-rumah mereka."
Madina Akhtar juga terpaksa ganti nama selama bertahun-tahun saat bekerja setelah suaminya meninggal. Tapi dia mengatakan dia tidak akan lagi menyembunyikan identitasnya.
"Saya hanya capai menyembunyikan identitas saya. Di salah satu rumah tangga, saya saat itu mau menggunakan kamar mandi. Dan mereka menyuruh saya keluar ke jalan saat tengah malam karena mereka tidak mengizinkan saya menggunakan kamar mandi mereka. Jadi apa pentingnya 'menjadi' seorang Hindu kalau Anda bahkan tidak bisa memakai kamar mandi mereka?"
Riset baru-baru ini oleh Led By Foundation yang bertujuan untuk meningkatkan representasi perempuan Muslim dalam angkatan kerja di India menyatakan perempuan Hindu lebih mendapatkan respons positif daripada perempuan
"Dari semua klien saya, hanya satu yang mempekerjakan PRT Muslim," jelas biro penyedia jasa PRT di New Delhi, Shashi Chaudhary.
"Begitu banyak anak perempuan dan anak laki-laki Muslim yang menghubungi saya meminta pekerjaan. Tapi apa yang bisa saya lakukan? Tidak ada orang yang mau mempekerjakan mereka. Saya merasa tidak bisa apa-apa. Kadang-kadang saya menangis dengan keadaan ini," lanjutnya.
Seorang warga di New Delhi, Parijat Pande mengatakan dia menolak mempekerjakan orang Muslim karena tidak ingin mereka berada di sekitar tempat ibadah di rumahnya.
"Ini tentang kesakralan tempat itu. Seseorang dari agama lain mungkin tidak tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sesuai dengan apa yang kami percayai," ujarnya.
Seorang perempuan muda yang meminta namanya tidak disebutkan mengaku terpaksa mempekerjakan PRT yang berasal dari komunitasnya karena tekanan orang tua.
"Saya tidak punya preferensi apapun tapi orang tua dan keluarga saya sering berpandangan seperti itu terkait mempekerjakan orang dari agama atau komunitas tertentu," ujarnya.
(mdk/pan)