Donald Trump Bakal Kerahkan Militer Untuk Deportasi Massal Imigran Gelap
Donald Trump akan dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-47 pada 20 Januari 2025.
Donald Trump menyampaikan melalui media sosial, dia berencana untuk memanfaatkan militer Amerika Serikat (AS) dalam upaya deportasi massal para imigran tanpa dokumen. Pada Senin, Trump memberikan tanggapan "BENAR!!!" terhadap seorang komentator konservatif yang menyatakan dia akan mengumumkan keadaan darurat nasional dan menggunakan kekuatan militer untuk memimpin "program deportasi massal".
Dalam kampanyenya, presiden terpilih AS tersebut berulang kali menyatakan niatnya untuk memobilisasi Garda Nasional untuk membantu Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai (ICE), lembaga federal yang bertanggung jawab atas pelaksanaan deportasi, seperti dilansir BBC, Selasa (19/11).
- Sosok Ini Seorang Antivaksin dan Kerap Sebar Hoaks Soal Vaksin, Tapi Malah Dipilih Donald Trump Jadi Menteri Kesehatan
- Sempat Mau Diblokir, Bagaimana Nasib TikTok setelah Donald Trump Jadi Presiden?
- Kemenangan Donald Trump Dianggap Mimpi Buruk Bagi Jerman, Ini Alasannya
- Donald Trump Terpilih Kembali Menjadi Presiden Amerika, Ekonomi Indonesia Terancam
Pernyataan terbaru Trump muncul di tengah pertanyaan mengenai cara dia akan memenuhi janjinya untuk melaksanakan deportasi massal terbesar dalam sejarah AS. Dia telah menyatakan akan memulai deportasi pada hari pertamanya menjabat, yaitu 20 Januari 2025.
Namun, meskipun pemerintahan AS dapat secara hukum melanjutkan rencana ini, pihak berwenang harus menghadapi tantangan logistik yang sangat besar. Para ahli meragukan 20.000 agen dan personel pendukung ICE akan cukup untuk menemukan dan melacak jutaan imigran tanpa dokumen. Selain itu, ada biaya finansial yang signifikan, tetapi Trump baru-baru ini menyatakan kepada NBC News bahwa hal ini tidak akan menghalangi upaya pemerintahannya.
Darurat Nasional
Unggahan terbaru Trump di jejaring sosial Truth Social pada Senin (18/11) pagi juga mencakup pengumuman mengenai nominasi-nominasi untuk jabatan-jabatan penting dalam pemerintahannya. Dia telah memilih beberapa sekutu setia untuk posisi kunci yang mengawasi kebijakan imigrasi dan deportasi, termasuk Kristi Noem yang dinominasi untuk memimpin Kementerian Keamanan Dalam Negeri dan mantan kepala ICE, Tom Homan, yang oleh Trump disebut sebagai "raja perbatasan".
Namun, tim Trump masih belum memberikan banyak rincian mengenai pelaksanaan rencana tersebut. Sebelumnya, Trump menyebutkan rencananya untuk mengumumkan keadaan darurat nasional, yang akan memberinya wewenang untuk mengerahkan pasukan di wilayah AS.
Homan mengungkapkan kepada Fox News pada Senin, dia akan mengunjungi rumah Trump di Florida minggu ini "untuk memberikan sentuhan akhir pada rencana tersebut", termasuk menentukan peran Kementerian Pertahanan AS (DOD).
"Dapatkah DOD membantu? Karena DOD dapat meringankan banyak beban kita," ungkap Homan, menambahkan bahwa kecepatan deportasi bergantung pada sumber daya yang dialokasikan kepada lembaga-lembaga tersebut.
Pada hari yang sama, American Civil Liberties Union (ACLU) menggugat ICE untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai bagaimana rencana deportasi akan dilaksanakan. Organisasi ini berencana untuk terus mengajukan gugatan hukum demi memblokir deportasi massal tersebut.
Selama periode pertama pemerintahan Trump, sekitar 1,5 juta orang dideportasi, baik dari perbatasan maupun dari dalam AS. Sementara itu, menurut statistik, pemerintahan Joe Biden telah mendeportasi sekitar 1,1 juta orang hingga Februari 2024. Dengan demikian, tantangan yang dihadapi oleh Trump dalam melaksanakan rencana deportasi massal ini sangat besar dan kompleks, baik dari segi hukum maupun logistik.