Ekonomi terseok karena sanksi PBB, Korea Utara larang warga berpesta
Sayang kabar itu cuma datang dari satu sumber, Badan Intelijen Nasional (NIS) Korea Selatan, dan sulit dikonfirmasi kepada pemerintah Korea Utara. Menurut laporan NIS, larangan itu bertujuan buat menekan penduduk Korea Utara supaya diam dan tidak bergolak, meski situasi ekonomi semakin sulit.
Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, dikabarkan menerbitkan peringatan melarang rakyatnya berpesta. Konon hal itu lantaran daya beli masyarakat menurun lantaran dan ekonomi mereka terdampak akibat sanksi baru dijatuhkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sayang kabar itu cuma datang dari satu sumber, Badan Intelijen Nasional (NIS) Korea Selatan, dan sulit dikonfirmasi kepada pemerintah Korea Utara. Menurut laporan NIS, larangan itu bertujuan buat menekan penduduk Korea Utara supaya diam dan tidak bergolak, meski situasi ekonomi semakin sulit, seperti dilansir dari laman Telegraph, Selasa (21/11).
"Badan Partai Komunis melaporkan kalau kondisi ekonomi sehari-hari masyarakat semakin sulit, maka dari itu segala bentuk acara mulai dari minum-minum, bernyanyi, atau hiburan lain dilarang. Mereka juga semakin memperketat penyaringan informasi dari luar Korea Utara," demikian seperti dikutip dari laporan intelijen NIS.
Soal perkiraan uji coba lanjutan hulu ledak dan rudal nuklir Korea Utara, NIS menyatakan belum melihat ada gelagat ke arah sana. Mereka pun tidak bisa memperkirakan kapan hal itu terjadi.
"Kami memperkirakan hal itu bergantung kepada keinginan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un. Uji nuklir bisa terjadi kapanpun," lanjut pernyataan di dalam laporan NIS.
Menurut NIS, Kim Jong Un menghukum salah satu pejabatnya, yakni kepala Politbiro militer Korea Utara. Namun, lagi-lagi kabar itu sulit dipastikan karena tidak ada konfirmasi dari Korea Utara.
Amerika Serikat secara sepihak juga kembali mencantumkan Korea Utara ke dalam daftar negara teroris. Mereka menyatakan hal itu didasarkan atas ulah Korea Utara yang berkeras melanjutkan pengembangan senjata nuklir.
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang juga musuh bebuyutan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, menyampaikan langsung hal itu. Padahal, AS sudah mencoret Korea Utara dari daftar negara teroris sejak sembilan tahun lalu. Tepatnya pada 2008 pada masa pemerintahan George Walter Bush, sebagai bagian dari kesepakatan dalam perundingan penghentian pengembangan senjata nuklir. Namun, kini Korea Utara kembali bergabung dengan sejumlah negara dituding ikut melakukan aksi teror seperti Iran, Sudan, dan Suriah.
"Seharusnya ini dilakukan sejak lama," kata Trump.
Trump mengklaim di depan kabinetnya menyatakan kembalinya Korea Utara ke dalam daftar negara teroris berdampak terhadap bakal bertambahnya berbagai macam sanksi. Namun, Menteri Luar Negeri AS, Rex Tillerson, justru bertentangan dengan Trump dengan mengatakan jika ada tambahan sanksi terhadap Korea Utara pun terbatas dalam beberapa hal.
Sikap Trump memasukkan kembali Korea Utara ke dalam daftar negara teroris didukung oleh Korea Selatan dan Jepang. Kedua negara itu yang juga sekutu AS memang sangat menentang pengembangan senjata nuklir Korea Utara.
"Saya menerima dan mendukung supaya meningkatkan tekanan terhadap Korea Utara," kata Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe.
Walau demikian, China tidak sepakat dengan langkah AS. Menurut Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS, Lu Kang, kebijakan memasukkan kembali Korea Utara ke dalam daftar negara teroris bukan keputusan yang tepat. Sebab, situasi di Semenanjung Korea menurut dia sangat rumit. Padahal, China selama ini merupakan salah satu mitra dagang terbesar Korea Utara, walau mereka dijatuhi sanksi ekonomi.
"Kami berharap semua pihak bisa lebih bijak memahami situasi, dan kembali berunding supaya kondisinya lebih kondusif. Yakni dengan dialog dan konsultasi buat mencari jalan keluar krisis di Semenanjung Korea," kata Lu kang.