Industri Peramal Makin Moncer di Gangnam, Kliennya dari Ekonomi Menengah hingga Pejabat
Meramal tentang masa depan yang berkaitan soal ekonomi sangat diminati warga Korea.
Menjadi kota modern nan metropolis tak mesti hal-hal spiritual dipinggirkan. Misalnya di Gangnam, Seoul, Korea Selatan, industri dukun masih memiliki tempat khusus bagi masyarakat.
Dilansir The Korea Times, pusat peramal berada di Nonhyeon-dong, Distrik Gangnam. Banyak lapak-lapak kecil atau toko onsultasi spiritual berkembang pesat di daerah tersebut, padahal kemakmuran daerah maupun masyarakatnya tergolong sangat tinggi.
Berdasarkan data yang diambil dari Naver per 1 Agustus, saat ini terdapat 15.853 peramal yang terdaftar. Mereka menyediakan layanan seperti pembacaan perdukunan, horoskop, dan tarot di seluruh Korea.
Stasiun Nonhyeon menjadi area paling padat di Seoul dengan 285 toko peramal terletak dalam radius 2,45 kilometer. Area ini melampaui tempat-tempat terkenal lainnya seperti Stasiun Yeokchon di Distrik Eunpyeong, yang memiliki 214 toko, dan area Sindang serta Dongmyo yang menampung 193 toko peramal.
Sementara itu, Stasiun Mia dengan sejarah panjang tradisi perdukunan, berada di posisi keempat dengan 182 toko. Selanjutnya, diikuti oleh area Hongdae yang berorientasi pada kaum muda dengan 148 toko.
Meski popularitas layanan ramalan online semakin meningkat, terutama di kalangan generasi muda melalui platform seperti YouTube, toko peramal tradisional tetap penting di wilayah tertentu. Pasalnya, hal tersebut didorong oleh campuran faktor historis, budaya, dan ekonomi.
Klien Makin Kaya, Tarif Peramal Makin Tinggi
Toko-toko ramalan di area Nonhyeon menonjol bukan hanya karena jumlahnya, tetapi juga karena kekayaan dari klien mereka. Daerah ini telah menjadi tujuan utama bagi klien ternama, termasuk politisi, entertainer, dan tokoh bisnis. Banyak dari mereka mencari nasihat tentang berbagai hal mulai dari karir dan kekayaan hingga hubungan.
Klien-klien tersebut cenderung lebih memilih layanan khusus yang bersifat rahasia. Ini menyebabkan sejumlah toko tidak menampilkan bendera merah atau putih tradisional sebagai simbol yang menunjukkan apakah dukun tersebut menawarkan ramalan atau ritual. Artinya, mereka hanya menerima klien berdasarkan janji temu.
Seorang peramal berusia 60 tahun dari Nonhyeon menyatakan bahwa di sisi utara Sungai Han, pasar perdukunan tersebar di berbagai wilayah, sedangkan di sisi selatan, Nonhyeon menjadi satu-satunya pusat utama bagi toko-toko peramal nasib. Dia menegaskan bahwa hanya menerima klien berdasarkan perjanjian, dan jika ada yang datang tanpa janji temu dia akan menolak.
Mengenai penghasilannya, peramal tersebut mengungkapkan bahwa dia mampu menghasilkan sekitar 150 juta won (sekitar Rp1,76 miliar) per tahun. Saat tidak melayani klien, waktu luangnya dihabiskan untuk berdoa.
Sementara itu, seorang peramal lainnya di wilayah yang sama mengungkapkan setiap sepuluh hari, dia bisa melayani sekitar 100 klien. Semua klien yang datang mengetahuinya melalui rekomendasi dari mulut ke mulut.
Bisnis peramal tersebut sepenuhnya bergantung pada reputasi yang dia bangun. Bahkan, papan nama yang dipasangnya dibuat secara gratis oleh salah satu klien setianya yang bekerja di bidang periklanan. Dia dengan percaya diri memasang tarif 100.000 won (sekitar Rp1,17 juta) per sesi, sehingga penghasilan tahunannya mencapai ratusan juta won.
Klien dari Kalangan Elit
Klien yang mendatangi peramal di Nonhyeon cenderung berasal dari kalangan elit Korea, meliputi politisi tingkat tinggi hingga selebriti terkenal. Menurut salah satu peramal, banyak dari mereka datang untuk meminta nasihat karir, meskipun beberapa hanya ingin berbagi cerita dan mencari pendengar.
Peramal tersebut juga menambahkan bahwa banyak wanita muda yang bekerja di industri hiburan dan kehidupan malam sering mengunjungi daerah itu. Kehidupan di Gangnam yang penuh tekanan mendorong mereka untuk mencari kenyamanan dan bimbingan spiritual.
Seorang peramal lain di wilayah tersebut mencatat bahwa klien yang datang dari Gangnam umumnya tidak menghadapi masalah keuangan dan cenderung memiliki nasib baik. Tidak seperti klien dari distrik lain, mereka tidak pernah menawar harga. Dia memasang tarif 200.000 won untuk ramalan pasangan, dan kliennya membayar tanpa ragu.
Tantangan Peramal
Industri peramalan nasib di Nonhyeon menghadapi tantangan serius akibat kenaikan harga properti di Gangnam. Banyak dukun mengalami kesulitan mempertahankan bisnis mereka di tengah tingginya biaya sewa.
Seorang agen real estat setempat mengungkapkan bahwa ada dua dukun yang sedang mencari tempat untuk disewa, tetapi mereka tidak berhasil menemukan lokasi yang tersedia. Pemilik properti cenderung menolak menyewakan ruang kepada bisnis peramalan, karena khawatir hal itu akan mempengaruhi citra bangunan.
Agen lain juga menyebutkan bahwa beberapa dukun dipaksa keluar dari properti sewaan mereka ketika bangunan lama dihancurkan dan digantikan dengan pembangunan baru.
Dalam banyak kasus, para dukun menjadi pihak pertama yang diusir saat renovasi dilakukan. Bahkan, beberapa peramal bersedia membayar hingga 20 persen lebih tinggi dari harga sewa standar demi mengamankan tempat.
Tren Peramal di Kalangan Anak Muda
Seiring berkembangnya industri ini, generasi baru dukun muda mulai menemukan cara untuk beradaptasi dengan dunia modern.
Di kawasan seperti Hongdae, yang populer di kalangan milenial dan Gen Z, cafe ramalan nasib menjadi tren baru.
Di tempat-tempat itulah layanan pembacaan tarot dan horoskop ditawarkan, dengan beberapa bahkan dikelola oleh dukun yang telah menerima panggilan spiritual.
Kafe-kafe tersebut membuat layanan ini lebih mudah diakses. Banyak siswa datang untuk mencari kecocokan dengan pasangan mereka melalui tarot atau horoskop. Dia mengakui bahwa para dukun pun harus mengikuti perkembangan zaman.
Meski ada modernisasi dalam beberapa praktik, makna budaya dari peramalan nasib di Korea tetap bertahan.
Seorang peneliti budaya, Yeom Eun-young, menjelaskan bahwa di tengah ketidakpastian dunia modern, meramal nasib memberikan kenyamanan psikologis dan membantu orang menyelesaikan masalah pribadi.
Menurutnya, fenomena ini tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga merupakan bagian dari dinamika sosial yang lebih luas.
Reporter Magang: Thalita Dewanty