Kisah Pasien Covid-19 di China Jadi Korban Perundungan di Dunia Maya
Di Cina pendekatan tanpa toleransi masih diterapkan terhadap pasien Covid-19. Tertular virus corona tidak hanya berarti penderitaan fisik tetapi juga jadi siksaan mental.
Di China pendekatan tanpa toleransi masih diterapkan terhadap pasien Covid-19. Tertular virus corona tidak hanya berarti penderitaan fisik tetapi juga jadi siksaan mental.
Seorang ayah berusia 38 tahun bermarga Lin dan keluarganya termasuk di antara pasien pertama dalam wabah Covid-19 baru-baru ini di China tenggara menjadi sasaran pelecehan.
-
Apa yang ditemukan di China baru-baru ini? Spesies Baru Titanosaurus Ditemukan di China, Hidup di Zaman Kapur Ahli paleontologi di Tiongkok menemukan fragmen fosil dari genus dan spesies baru dinosaurus sauropoda titanosaurian yang hidup di Bumi selama periode Kapur.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Apa yang sedang dirancang oleh China di luar angkasa? China sedang Merancang Teleskop Luar Angkasa yang Tujuannya Bisa Kalahkan Hubble, Begini Spesifikasinya Demi menglahkan Hubble, China membuat teleskop yang punya spesifikasi tinggi.
-
Apa yang ditemukan di China selatan? Sebuah fosil buaya yang telah punah ditemukan dengan kondisi terpenggal di China selatan.
-
Bagaimana Pertempuran Wuhan berakhir? Pada 25 Oktober 1938, pasukan Jepang berhasil memasuki Wuhan setelah mengalahkan pertahanan Tiongkok.
-
Toilet viral di China ini seperti apa? Sebuah video viral memperlihatkan penampakan toilet di China yang sangat berbeda pada umumnya. Melansir dari unggahan akun Instagram @mksinfo.official, menyediakan bilik khusus. Jika pada umumnya, hanya dibagi dalam tiga kategori yaitu, wanita, pria dan difabel, toilet ini justru menyediakan bilik untuk couple. Artinya, di dalam satu bisa digunakan oleh dua gender dalam waktu bersamaan.
Pada bulan Agustus pria tersebut melakukan perjalanan kembali dari Singapura tempat dia bekerja dan diduga menjadi pasien nol dalam wabah terbaru di Provinsi Fujian pada bulan September. Dia harus memohon belas kasihan di media sosial setelah identitasnya dipublikasikan dan dia diintimidasi secara daring.
"Seluruh keluarga saya mengalami perundungan. Kami menerima pelecehan dan kecaman dari banyak orang, yang menyebabkan teror tak tertahankan dan kerusakan mental. Kami tidak bisa hidup seperti orang normal lagi," tulis Lin dalam unggahan Weibo pada 17 September, seminggu setelah dia dan putranya dinyatakan positif Covid-19.
Netizen mengatakan dia seharusnya tidak kembali ke China. Mereka juga mengklaim dia tidak mengisolasi dirinya secara ketat pada saat kedatangan, dan membawa wabah yang menyebabkan pemerintah harus menggelar tes skala besar dan pembatasan wilayah di provinsi tersebut, metode yang biasanya digunakan China untuk meredam virus.
Namun faktanya, setibanya di China, Lin menjalani isolasi institusional selama 21 hari, termasuk sembilan tes asam nukleat dan tiga tes antibodi dilakukan.
"Karena Anda, semua orang di Fujian menjalani tes setiap hari. Kami tidak bisa pergi bekerja atau pergi ke sekolah atau bahkan makan malam yang enak. Siapa yang harus kami salahkan jika bukan Anda?” jelas salah satu pengguna Weibo.
Dilansir dari lama South China Morning Post, Rabu (6/10), Lin hanyalah salah satu dari banyak pasien Covid-19 di China yang menjadi korban perundungan daring setelah bocornya data pribadi mereka selama penyelidikan epidemiologi pemerintah.
Pemerintah daerah berbeda dalam hal penanganan dan jumlah detail kasus yang dipublikasikan untuk melacak kasus lebih lanjut, biasanya jenis kelamin, usia, profesi, dan tempat yang mereka kunjungi dalam dua minggu terakhir akan diumumkan.
Dalam beberapa kasus seperti Lin, lebih banyak informasi pasien, seperti alamat dan nomor teleponnya, dipublikasikan secara daring baik karena pegawai pemerintah membagikannya di media sosial atau pengguna web membocorkannya menggunakan informasi yang diterbitkan oleh pihak berwenang.
Salah satu pasien kasus awal dalam wabah yang sedang berlangsung di kota Harbin, China timur laut saat ini juga diserang karena keputusannya untuk kembali ke rumah setelah pihak berwenang setempat mengatakan dia baru saja kembali dari Filipina.
Pada bulan Agustus, seorang pasien di Beijing, dan seorang profesor dari Akademi Seni Rupa Pusat, dibuat pusing dan mendapati dirinya menjadi subjek desas-desus dia berselingkuh dalam perjalanan ketika dia tertular virus corona.
Di balik perundungan siber yang merajalela terhadap pasien ini adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan hukum dan meningkatnya kebencian di komunitas daring China, jelas Profesor Zhu Wei, pakar tata kelola internet di Universitas Ilmu Politik dan Hukum China.
"Beberapa orang mungkin tampak jahat ketika membuat pernyataan palsu dan berbahaya itu, tetapi kebanyakan dari mereka, saya yakin, mengatakan kata-kata kasar atau menyebarkan data pribadi pasien dengan niat baik yang salah tempat," katanya. “Mereka pikir itu membantu mengendalikan pandemi, atau hanya ingin pamer bahwa mereka memiliki akses ke data pelacakan kontak."
Undang-undang yang ada di China sudah mencakup serangkaian hukuman perdata dan pidana untuk pelanggaran privasi. Orang yang dinyatakan bersalah karena merilis data pribadi - misalnya, alamat atau catatan kredit seseorang - dapat didenda atau dipenjara hingga tiga tahun.
Undang-undang yang dirancang untuk melindungi privasi data pengguna daring juga akan berlaku mulai November. Undang-undang Perlindungan Informasi Pribadi mengatur penanganan informasi pribadi harus memiliki tujuan yang jelas dan masuk akal.
Namun sejauh ini, hanya sedikit yang benar-benar dihukum karena melanggar privasi pasien Covid-19 atau melecehkan mereka secara verbal.
"Kenyataannya sekarang adalah kami tidak menghukum siapa pun karena terlalu banyak orang yang melakukannya. Ini salah. Siapa pun harus bertanggung jawab ketika dia melanggar hak orang lain," jelas Zhu.
Huang Jing, seorang psikoterapis veteran yang berbasis di Shanghai, mengatakan kekerasan daring yang meluas terhadap pasien Covid-19 dapat menyebabkan masalah psikologis yang signifikan.
“Dua hasil yang paling mungkin adalah depresi dan kecemasan. Kemungkinan terburuk adalah beberapa orang mungkin bunuh diri, karena mereka merasa dikucilkan oleh masyarakat,” jelasnya.
Reporter magang: Ramel Maulynda Rachma
Baca juga:
Warga Singapura Ramai-Ramai Pilih Sinovac dan Sinopharm untuk Vaksin Booster
Pil Covid-19 Buatan Merck Bikin Saham Moderna, Pfizer Tumbang
India akan Bayar Kompensasi Kematian karena Covid-19 Sebesar Rp 9,6 Juta
Virus Corona Ada di Sini Selamanya & Begini Cara Hidup Berdampingan dengan Covid-19
Tinggalkan Strategi Hapus Virus Corona, Selandia Baru akan Hidup dengan Covid-19
Mungkinkah Kecerdasan Buatan Bisa Bantu Memprediksi Pandemi Berikutnya di Masa Depan?