Muhammadiyah Siap Tuntut The Wall Street Journal karena Berita soal Muslim Uighur
Dalam artikel berjudul How China Persuaded One Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps, ormas Islam seperti Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah dianggap berhasil dibungkam oleh pemerintah China setelah diajak berkunjung ke Xinjiang.
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah resmi menuntut media dan reporter harian asal Amerika Serikat the Wall Street Journal (WSJ) atas tulisannya tentang Uighur. Apabila tidak ada iktikad baik untuk klarifikasi, maka the Wall Street Journal berpotensi dibawa ke pengadilan.
Dalam artikel berjudul How China Persuaded One Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps, ormas Islam seperti Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah dianggap berhasil dibungkam oleh pemerintah China setelah diajak berkunjung ke Xinjiang.
-
Apa yang terjadi pada warga Uighur di China yang membuat mereka terpisah dari keluarga? Abdul mengaku mendapat telepon dari kerabat di Shanghai pada September 2017. Menurut Abdul, kerabatnya itu mengabarkan bahwa adiknya diambil dari kamp konsentrasi warga Uighur di China. "Dan kemudian mereka tidak tahu tentang orang tuaku. Itu terakhir kali aku mendengar kabar dari mereka," ujar Abdul ketika menjadi narasumber pada agenda konferensi pers dan dialog publik bertemakan 'Plight of Uyghur and Current Updates' diselenggarakan oleh OIC Youth Indonesia di Marrakesh Inn Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (19/12).
-
Mengapa warga Uighur merasa diperlakukan tidak adil di China? Abdul mengatakan, saat ini terdapat ratusan tempat pengungsian konsentrasi yang mengelilingi pemukiman warga Uighur. Kamp konsentrasi ini diperkenalkan kepada dunia internasional sebagai pusat pendidikan. Namun kenyataannya kamp konsentrasi tersebut ditujukan untuk menghapuskan identitas agama dan bangsa Uighur serta membuat mereka lupa seorang muslim."Penerintah komunis China mengkriminalisasi praktek Islam yang normal," kata Abdul.
-
Siapa yang menganggap pelanggaran HAM di China terhadap warga Uighur sebagai tindakan pelanggaran HAM? Presiden Organization of Islamic Conference (OIC) Youth Indonesia, Astrid Nadya Rizqita menilai banyak dugaan pelanggaran HAM dalam persoalan warga Uighur."Kalau merujuk pada HAM, kebebasan beragama, itu banyak sekali hal-hal yang melanggar HAM," kata Astrid saat menyampaikan pidato pembukaan di konferensi pers dan dialog publik bertemakan 'Plight of Uyghur and Current Updates' di Marrakesh Inn Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (19/12).
-
Apa arti dari Ukhuwah Islamiyah? Ukhuwah Islamiyah artinya persaudaraan sesama umat islam. Ukhuwah Islamiyah artinya persaudaraan sesama umat Islam yang menekankan pentingnya persatuan, kebersamaan, dan solidaritas antara sesama umat muslim.
-
Siapa saja yang terlibat dalam ukhuwah Islamiyah? Ukhuwah Islamiyah merupakan konsep persaudaraan dalam agama Islam yang mengajarkan umat Muslim untuk saling tolong menolong, saling menghormati, dan saling menyayangi satu sama lain tanpa memandang perbedaan suku, ras, atau status sosial.
-
Bagaimana cara Indonesia bisa membantu warga Uighur di China? Menurutnya, Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip non-intervensi juga bukan berarti hanya bisa diam, tetapi dapat menerapkan mekanisme dialog ataupun diplomasi untuk ikut bersuara dalam permasalahan dunia. "Ini bukan berarti kita diam atau memalingkan kepala. Namun, bukan berarti indonesia juga langsung lantas berangkat ke sana, tapi kita dapat menggunakan mekanisme dialog dan diskusi," ujar Astrid.
"Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendesak agar Wall Street Journal meralat berita tersebut dan meminta maaf kepada warga Muhammadiyah. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, Muhammadiyah akan mengambil langkah hukum sebagaimana mestinya," jelas Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti pada konferensi pers di Jakarta, Senin (16/12).
Artikel di WSJ menyebut pejabat senior Muhammadiyah berubah sikapnya setelah ikut melawat ke Xinjiang pada Februari lalu. WSJ mengutip pernyataan pejabat Muhammadiyah yang berkata kamp Xinjiang memiliki kondisi "excellent" dan bukan penjara. WSJ tak menyebut siapa pejabat itu.
Tidak Ada yang Berjilbab di Xinjiang
Salah satu tokoh yang ikut ke Xinjiang adalah Muhyiddin Junaidi, Ketua Biro Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah. Dia berkata melihat banyak hal mencurigakan saat ikut ke mengecek kondisi Uighur seperti tulisan penunjuk kiblat di hotel yang tampaknya baru saja dipasang dan delegasi yang datang juga diawasi ketat.
"Di jalanan (Xinjiang) tidak ada orang menggunakan jilbab. Tidak ada, karena itu namanya radikal tidak boleh," ujar Muhyiddin Junaidi.
"Kami jarang menemukan ada restoran itu halal. Tidak ada. Karena Halal itu bahasa agama. Agama tak boleh berada di ruang umum," lanjutnya.
Muhyiddin menyebut konstitusi China memang dasarnya anti setiap agama. Kamp Xinjiang pun dianggap bukan deradikalisasi, melainkan de-agamisasi.
Muhammadiyah juga membantah sikapnya berubah terkait Uighur. Selama ini mereka mengaku tak ingin membuat pro dan kontra terkait kasus ini sehingga memilih menyampaikan dahulu ke pemerintah lewat Kementerian Luar Negeri.
Minta Klarifikasi
Sementara, Bendahara Umum PP Muhammadiyah Suyatno berkata akan menunggu iktikad baik dari Wall Street Journal. Bila tidak, pihaknya siap mengambil langkah hukum ke Wall Street Journal dan Amerika Serikat.
"Nanti setelah dia enggak ada respons, kita akan tunggu dulu, kita minta tuntut salah satunya kepada Journal dan pemerintah Amerika," ujarnya.
Meski siap melaporkan Wall Street Journal, Muhammadiyah menegaskan tak akan langsung membawa kasus ini ke meja hukum. Muhyiddin masih berprasangka baik bahwa niat reporter WSJ itu positif, yakni mengekspos HAM Uighur.
"Kami minta klarifikasi dari wartawan tersebut dari mana sumbernya agar beliau menjelaskan, karena tanpa memberikan sumbernya itu namanya provokasi dan tuduhan. Jangan-jangan dengan adanya berita itu maka kita mengadakan preskon, masalah Uighur terangkat kembali," jelasnya.
Sudah Melapor kepada Pemerintah soal Kejanggalan di Xinjiang
Laporan di Wall Street Journal menyebut diplomat-diplomat AS sempat turun tangan untuk bertemu para ulama Indonesia. Tujuannya untuk meyakinkan terkait pelanggaran HAM di Uighur.
Ketika ditanya apakah sudah ada diplomat AS yang bertemu Muhammadiyah, Muhyiddin berkata Kedutaan Besar AS sudah mengundang Muhammadiyah untuk membahas Uighur, namun belum dapat dipenuhi atas dasar netralitas.
"Kami belum tahu. Belum ada. Kami memang diundang. saya ketua delegasi atas nama MUI diundang kedutaan ebsar AS membahas masalah Ughur. Tapi kantornya di kantor kedutaan saya tolak. Saya minta di ruang terbuka dan netral," ujarnya.
Sebagai catatan, Oktober lalu Duta Besar AS untuk Republik Indonesia Joseph Donovan sempat berkunjung ke kantor Muhammadiyah untuk membahas Uighur.
"Kami membahas sejumlah isu internasional. Dan saya mendorong Muhammadiyah untuk tetap menyuarakan keprihatinan guna melawan opresi dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap Uighur minoritas di China," jelas Donovan selepas lawatan ke Kantor PP Muhammadiyah.
Lebih lanjut, Muhyiddin juga menegaskan sudah melaporkan kepada pemerintah terkait kejanggalan di kamp Xinjiang tempat "pendidikan" warga Uighur. Laporan dibuat sepulangnya delegasi kembali dari China.
Pihaknya pun tak paham mengapa Kemenlu belum mengambil tindakan. Meski demikian, dia menyebut sikap Muhammadiyah konsisten mengecam pelanggaran HAM di Uighur.
"Saya enggak tahu (kenapa tak ada tindak lanjut). Tanyalah Bu Menlu, tanya pemerintah. Kami dari ormas, dari NGO, sama tidak berubah," tegasnya.
Reporter: Tommy Kurnia
Sumber: Liputan6.com
(mdk/pan)