Polemik KPAI-PB Djarum, Begini Cara China Mencetak Atlet Kelas Dunia
Atlet-atlet China terkenal sering menjadi juara dunia dalam berbagai cabang olahraga, baik itu di tingkat Asia hingga Olimpiade.
Beberapa hari belakangan polemik Komisi Pelindungan Anak Indonesia (KPAI) dan PB Djarum menjadi perbincangan di tengah masyarakat karena KPAI menuding ada unsur eksploitasi anak dalam upaya PB Djarum mencetak atlet-atlet bulutangkis nasional.
Bicara soal olahraga, tidak salah jika kita juga menengok bagaimana negara raksasa China mencetak atlet-atlet kelas dunia mereka.
-
Kenapa cecak diekspor ke China? China adalah importir besar cecak, tokek, dan spesies kadal yang diyakini berkhasiat meringankan berbagai penyakit.
-
Apa itu olahraga kasti? Kasti adalah permainan yang mengutamakan kerja sama antarpemain, kekompakan, ketangkasan serta kesenangan.
-
Siapa yang menyebarkan pengetahuan dan praktik Kalaripayattu di China? Sebagai orang yang ahli dalam seni bela diri kalaripayattu, Bodhi Dharma menyebarkan pengetahuan dan praktik seni bela diri ini di China, yang kemudian berkembang menjadi kung fu dan kemudian karate.
-
Apa yang ditemukan di China selatan? Sebuah fosil buaya yang telah punah ditemukan dengan kondisi terpenggal di China selatan.
-
Apa yang ditemukan di gurun pasir China yang membuat para ahli bingung? Para ahli telah mempersempit asal usul mumi misterius yang ditemukan di gurun pasir Tiongkok, dan hasilnya cukup mengejutkan.
-
Apa yang dituduhkan oleh Kementerian Keamanan Negara China? Kementerian Keamanan Negara mengatakan beberapa negara telah menargetkan penduduk China karena “motif tersembunyi.”
Atlet-atlet China terkenal sering menjadi juara dunia dalam berbagai cabang olahraga, baik itu di tingkat Asia hingga Olimpiade.
Susan Brownell, antropolog dari Universitas Missouri-St Louis, Amerika Serikat, tertarik untuk mencari tahu seperti apa program pelatihan atlet-atlet China hingga mampu banyak berprestasi di kancah dunia.
Mata Brownell mengernyit ketika dia pertama kali masuk ke pusat latihan senam di Shanghai Yangpu Youth Amateur Athletic School di Beijing pada 2016 lalu.
"Ada anak kecil yang masih pakai popok dan sungguh menakjubkan melihat apa yang bisa mereka lakukan di usia sebelia itu," kata Brownell, seperti dilansir laman Business Insider, Agustus 2016. "Mereka bisa meliukkan tubuhnya seperti kue ketika sedang peregangan."
Shichahai adalah salah satu dari ribuan pusat olahraga di sekolah di seantero China. Dengan dana dari pemerintah, anak usia enam tahun yang sudah memperlihatkan bakatnya seperti dalam taekwondo, tenis meja, senam, dan badminton, berlatih bertahun-tahun dengan harapan bisa membawa pulang uang dan kehormatan bagi keluarga mereka.
Bagi sebagian anak, impian itu sudah pupus sejak awal. Tapi bagi sebagian yang lain, itu adalah langkah awal menuju kejayaan Olimpiade.
Semua bermula pada 1970-an ketika ada diplomasi Ping Pong antara Amerika Serikat dan China untuk mencairkan ketegangan akibat Perang Dingin. Lewat olahraga China ingin meraih kehormatan di mata dunia.
Ketika Beijing terpilih menjadi tuan rumah Olimpiade 2008, pemerintah meluncurkan Proyek 119--ambisi meraih 199 medali emas di Olimpiade.
Impian menjadi nomor satu di dunia itu masih menjadi cita-cita banyak sekolah olah raga di seluruh China. Anak-anak China kini tengah bersiap menghadapi Olimpiade 2020 di Tokyo dan seterusnya.
Siswa yang berambisi menjadi atlet nomor wahid itu kebanyakan berasal dari keluarga miskin yang memandang prestasi olahraga adalah jalan keluar dari jurang kemelaratan. Brownell mengatakan jika seorang siswa meraih prestasi di uji coba Olimpiade maka itu bisa meningkatkan taraf hidup dan status mereka di tengah masyarakat.
"Orangtua yang berpendidikan tinggi cenderung tidak mendukung anak mereka ikut sekolah olahraga karena di sana pendidikan kurang diutamakan," kata Brownell.
Di awal mula pelajaran sekolah umum, anak-anak dibagi menjadi lima kategori berdasarkan bakat: jago internasional, jago nasional, grade 1, grade 2, grade 3. Hanya anak-anak di tingkatan grade 1 atau lebih tinggi yang bisa masuk ke sekolah olahraga.
Selama beberapa dekade, pernah ada 'sekolah olahraga paruh waktu' yang melatih anak-anak di grade 2 dan grade 3. Tapi kemudian pemerintah menghentikan dana kepada sekolah-sekolah itu dan memberi perhatian lebih kepada sekolah atlet berprestasi.
Jangan Lewatkan:
Ikuti Polling Adakah Unsur Eksploitasi Anak dalam Audisi Bulutangkis PB Djarum? Klik disini
Baca juga:
VIDEO: Menteri Yohana Nilai Ada Pelanggaran Hak Anak di Audisi PB Djarum
Menteri Yohana Ajak Menpora & Mendikbud Selesaikan Polemik PB Djarum-KPAI
DPR Sayangkan Kementerian Terkait Tak Responsif Tangani Polemik PD DJarum-KPAI
YLKI: KPAI Minta Audisi Tidak Melibatkan Merek Rokok, Bukan Penghentian
Sutiyoso Sayangkan Polemik PB Djarum dan KPAI Berujung Penghentian Audisi
Diplomasi Ping Pong
Semua bermula pada 1970-an ketika ada diplomasi Ping Pong antara Amerika Serikat dan China untuk mencairkan ketegangan akibat Perang Dingin. Lewat olahraga China ingin meraih kehormatan di mata dunia.
Ketika Beijing terpilih menjadi tuan rumah Olimpiade 2008, pemerintah meluncurkan Proyek 119--ambisi meraih 199 medali emas di Olimpiade.
Impian menjadi nomor satu di dunia itu masih menjadi cita-cita banyak sekolah olah raga di seluruh China. Anak-anak China kini tengah bersiap menghadapi Olimpiade 2020 di Tokyo dan seterusnya.
Siswa yang berambisi menjadi atlet nomor wahid itu kebanyakan berasal dari keluarga miskin yang memandang prestasi olahraga adalah jalan keluar dari jurang kemelaratan. Brownell mengatakan jika seorang siswa meraih prestasi di uji coba Olimpiade maka itu bisa meningkatkan taraf hidup dan status mereka di tengah masyarakat.
"Orangtua yang berpendidikan tinggi cenderung tidak mendukung anak mereka ikut sekolah olahraga karena di sana pendidikan kurang diutamakan," kata Brownell.
Di awal mula pelajaran sekolah umum, anak-anak dibagi menjadi lima kategori berdasarkan bakat: jago internasional, jago nasional, grade 1, grade 2, grade 3. Hanya anak-anak di tingkatan grade 1 atau lebih tinggi yang bisa masuk ke skolah olahraga.
Selama beberapa dekade, pernah ada 'sekolah olahraga paruh waktu' yang melatih anak-anak di grade 2 dan grade 3. Tapi kemudian pemerintah menghentikan dana kepada sekolah-sekolah itu dan memberi perhatian lebih kepada sekolah atlet berprestasi.
Latihan menjadi rutinitas
Menurut data 2013 (tahun terakhir tersedianya data), dari 51 ribu atlet yang masuk ke tim nasional atau tim provinsi, sekitar 11 ribu anak masuk kategori jago atau grade 1 dan mereka inilah yang bisa berkompetisi untuk memperebutkan jatah ke Olimpiade.
Pada 2013, laporan Badan Olahraga Umum Negara mengatakan, cabang atletik yang jadi andalan China menghabiskan USD 600 juta untuk olahraga dan pelatihan.
"Pembangunan ekonomi China membuat olahraga kami berkembang," ujar pelatih senam Zhao Genbo, kepada CBS News pada 2012, ketika Olimpiade London baru dimulai. "Pelatih dan atlet-atlet kami sudah bekerja keras banting tulang untuk mencapai kemenangan."
Shichahai dan berbagai sekolah lainnya berlomba membangun fasilitas latihan bagi siswa mereka untuk menyalurkan bakat olahraga.
Namun usaha untuk meraih kesuksesan Olimpiade itu kerap membuat hidup para siswa menjadi rutinitas belaka.
"Mereka makan, latihan, lalu masuk kelas, tapi tidak selalu wajib. Kebanyakan dari mereka melakukannya karena alasan pragmatis, untuk meraih kehidupan lebih baik bagi mereka dan keluarga."
Tapi bagi sebagian yang lain, mereka yang sudah mengorbankan segalanya dan masih gagal, membuat mereka tidak siap menghadapi kehidupan nyata, kata Brownell.
"Sebagian besar dari atlet ini tidak akan meraih medali di Olimpiade," kata dia. Tapi sistemlah yang membuat mereka menjalani itu. "Mereka memang ditugaskan untuk mendapat medali."
Sejauh ini sistem itu sudah relatif sukses. Pada Olimpiade London, China membawa pulang 87 medali atau 10 medali lebih banyak ketimbang Amerika Serikat yang biasanya mendominasi.