Ramai-Ramai Eksodus ke Luar Negeri: Jurnalis Tidak Merasa Aman di Afghanistan
Eksodus para jurnalis ini memicu pertanyaan serius terkait masa depan media di Afghanistan, di mana pers yang bebas adalah salah satu dari beberapa tujuan nyata selama 20 tahun pendudukan Barat.
Shabir Ahmadi mulai bekerja di TOLO TV, penyiaran swasta terbesar di Afghanistan, selama masa paling gelap bagi media di negara yang direnggut perang itu: 21 Januari 2016.
Malam sebelumnya, seorang pengebom bunuh diri Taliban membunuh seorang desainer grafis, editor video, dekorator set, tiga pengisi suara, dan seorang sopir yang bekerja di bagian hiburan TOLO.
-
Apa isi dari surat kabar *Bataviasche Nouvelles*? Mengutip dari berbagai sumber, isi konten tulisan yang ada di surat kabar Bataviasceh Nouvelles ini mayoritas adalah iklan. Ada pula beberapa terbitannya juga memuat aneka berita kapal dagang milik VOC.
-
Kenapa Tajikistan melarang penggunaan jilbab dan pakaian tradisional Islam? Undang-undang tersebut mencuri perhatian dunia Islam. Sebab, negara pecahan Uni Soviet itu penduduknya mayoritas adalah muslim. Presiden Tajikistan Emomali Rahmon baru saja menandatangani undang-undang yang melarang warga negaranya mengenakan hijab dan pakaian tradisional Islam lainnya.
-
Apa saja yang dilarang di Tajikistan terkait jilbab dan perayaan Lebaran? Majelis tinggi parlemen Tajikistan, Majlisi Milli, mengesahkan undang-undang yang melarang "pakaian asing" dan perayaan untuk dua hari raya besar Islam, yaitu Idulfitri dan Iduladha.
-
Kapan Ani Idrus memulai kariernya sebagai jurnalis? Ani Idrus pertama kali terjun di dunia wartawan tepat pada tahun 1930.
-
Siapa yang menjadi jurnalis perempuan pertama di Indonesia? Sebagai jurnalis perempuan pertama di Indonesia, Rohana Kudus mendirikan surat kabar khusus perempuan yang ia pimpin sendiri, bernama Soenting Melajoe pada 10 Juli 1912.
-
Kenapa TNI AU memberikan penghargaan KASAU Award kepada para jurnalis? Penghargaan diberikan kepada para jurnalis sebagai bentuk apresiasi terhadap karya jurnalistik yang telah berkontribusi untuk kemajuan TNI AU.
Ketika dia tiba di kantor TOLO keesokan paginya, penjaga di pintu ragu dan masih berduka. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan Ahmadi. Mereka memandang Ahmadi yang saat itu berusia 24 tahun, yang baru saja keluar dari televisi pesaing utama TOLO, 1TV, dan bertanya apakah Ahmadi “gila” mulai bekerja di stasiun televisi tersebut yang menjadi target serangan hanya beberapa jam yang lalu.
Karena berita tidak pernah berhenti, tidak juga ketika kantor Anda menjadi berita, Ahmadi memulai pekerjaannya kurang dari sepekan kemudian.
Setelah itu, meliput kematian koleganya karena pengebom bunuh diri, pria bersenjata tak dikenal, dan bahan peledak rakitan (IED) menjadi sebuah rutinitas ketika Taliban, ISIS-Khorasan, dan kelompok bersenjata tak dikenal terus menerus menargetkan jurnalis selama lima tahun ke selanjutnya.
Namun, Ahmadi dan ribuan pekerja media lain di seluruh Afghanistan, sebagian besar dari mereka berusia 20-an dan 30-an tahun, melanjutkan pekerjaannya tanpa terpengaruh. Newsroom dan rumah-rumah produksi penuh pria dan perempuan muda yang bekerja bersama untuk membuat media di negara itu menjadi paling bebas di wilayah tersebut, menurut Reporter Lintas Batas atau Reporters Without Borders (RSF).
Tetapi semua berubah pada 15 Agustus 2021.
Pertama muncul kabar mantan Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani dan pejabat tinggi kabinetnya melarikan diri dari negara tersebut. Lalu muncul laporan Taliban, baru saja memasuki distrik di Provinsi Kabul pada pagi itu, menuju ke pusat ibu kota.
Tiba-tiba, ingatan pengeboman dan pembunuhan berserakan kembali. Ahmadi, yang menjadi wakil kepala pemberitaan di TOLO, bertemu para petinggi manajemen TOLO dan segera mengambil dua keputusan.
“Hal pertama yang kami lakukan memulangkan seluruh pegawai perempuan,” ujarnya kepada Al Jazeera melalui telepon dari Eropa, dikutip Jumat (22/10).
Keputusan lainnya yang mereka buat kontroversial tapi perlu, kata Ahmadi. Mereka langsung menghentikan program tayangan musik dan hiburan. Serial Turki, acara permainan, kompetisi nyanyi, talk show, da komedi sketsa yang ditonton jutaan orang setiap malam tiba-tiba dihentikan.
Walaupun Taliban tidak mengumumkan secara resmi terkait program televisi saat itu, Ahmadi mengatakan keputusan itu untuk pencegahan.
“Jika Anda memahami ketakutan malam itu, Anda akan tahu mengapa kami mengambil keputusan itu,” jelasnya.
Ahmadi mengaku sekarang dia menyesali keputusan itu, tapi saat itu, itu Nampak seperti salah satu yang perlu dilakukan.
“Kami ingin menjadi orang yang menghentikannya, bukan Taliban,” ujarnya.
Ahmadi mengatakan dia berusaha bekerja sebagai jurnalis di bawah kekuasaan Taliban, tapi segera menjadi jelas hal itu akan sangat sulit. Ada laporan penyiksaan jurnalis oleh Taliban, menyita peralatan mereka, memukul mereka di jalan kota-kota besar, memenjarakan mereka selama berminggu-minggu dan membentuk UU media baru yang sangat ketat.
Pada September, Ahmadi di antara ratusan jurnalis Afghanistan lainnya dan pekerja media, termasuk rekan TOLO-nya, yang melarikan diri dari negaranya.
Eksodus para jurnalis ini memicu pertanyaan serius terkait masa depan media di Afghanistan, di mana kebebasan pers adalah salah satu dari beberapa tujuan nyata selama 20 tahun pendudukan Barat.
Situasi seperti Myanmar
Koordinator program Asia Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), Steven Butler, mengatakan situasi media saat ini di Afghanistan seperti Myanmar.
Seperti Afghanistan, Myanmar juga mengalami pergolakan politik yang menyebabkan berakhirnya pemerintahan semi demokratis yang didukung Barat dan menyebabkan para jurnalis di negara itu melarikan diri.
Butler takut, seperti Myanmar, masa depan Afghanistan suram, tapi dia memahami mengapa banyak jurnalis meninggalkan kedua negara itu, beroperasi melalui tempat pengasingan.
“Tidak ideal, tapi lebik baik daripada ditangkap atau dibunuh,” ujarnya kepada Al Jazeera melalui telepon.
Walaupun beberapa orang Afghanistan mulai bekerja lagi dari luar negeri, Butler mengatakan orang Afghanistan akan menghadapi masa yang lebih sulit daripada orang Myanmar ketika mulai bekerja lagi dari pengasingan.
“Di Myanmar, telah ada lebih banyak preseden dan infrastruktur bagi jurnalis untuk beroperasi dalam pengasingan,” ujarnya.
Butler mengatakan CPJ berusaha membangun kontak dengan Taliban untuk mengadvokasi hak-hak wartawan Afghanistan, tapi hal ini sulit. Dia mengatakan, Taliban berjanji akan menyelidiki persoalan ini, tapi belum menunjukkan temuan aktual apapun.
Mantan direktur berita 1TV yang merupakan televisi swasta terbesar di Afghanistan, Abdullah Khenjani mengatakan, jika Taliban benar-benar meyakini kebebasan pers, seperti yang disampaikan saat baru mengambil alih kekuasaan, mereka harus membuktikannya dengan tindakan.
Pemukulan dan penyiksaan jurnalis
CPJ melaporkan Taliban memukul tiga jurnalis yang meliput demo sekelompok kecil perempuan di salah satu kawasan tersibuk di Kabul.
CJP mengatakan Taliban tidak menanggapi permintaan mereka saat dikonfirmasi terkait insiden itu, yang berlangsung hanya sebulan setelah kelompok itu menangkap, memukul, dan mencambuk jurnalis yang meliput demo lainnya.
Sejumlah jurnalis lainnya yang diwawancarai Al Jazeera sepakat dengan penilaian Khenjani, mengatakan mereka ditekan saat berusaha melaporkan beberapa isu dalam dua bulan terakhir.
Jurnalis korban pemukulan dan penyiksaan karena meliput demo di Kabul bulan lalu mengatakan kepada Al Jazeera, mereka diperingati pejabat Taliban jangan meliput agenda seperti itu.
Jurnalis juga diminta berhenti meliput dari Provinsi Panjshir di mana kelompok pertahanan bersenjata menentang Taliban setelah mengambil alih Kabul.
“Mereka sering memukul para jurnalis. Mereka tidak mengizinkan jurnalis meliput demo para perempuan. Mereka tidak mengizinkan jurnalis pergi ke Panjshir ketika itu tidak berada di bawah kendali mereka. Kami punya banyak contoh Taliban tidak dan masih tidak ingin jurnalis bekerja dengan bebas,” jelas mantan Wakil Direktur Operasi TOLO News, Abdul Farid Ahmad kepada Al Jazeera.
Dalam laporan terbaru, Komite Keamanan Jurnalis Afghanistan (AJSC) menyebut pembunuhan seorang jurnalis oleh sekelompok pria bersenjata tak dikenal dan penyitaan dua kantor media di wilayah timur dan utara Afghanistan sebagai contoh Taliban gagal memastikan keamanan media.
AJSC juga mengatakan Taliban gagal memberikan rincian penyelidikan yang dijanjikan terkait penyiksaan jurnalis.
"Saya tidak tahu ada jurnalis yang ingin bekerja dengan Taliban, tapi saya sangat tahu banyak jurnalis yang meninggalkan negara ini dan banyak lagi yang lainnya yang ingin meninggalkan negara ini. Jurnalis tidak merasa aman di Afghanistan,” kata Ahmad.
Eksodus jurnalis sangat berdampak pada kualitas pemberitaan di negara itu.
“Kualitas laporan media mencapai level paling rendahnya dalam 20 tahun terakhir,” kata AJSC.
Wartawan Al Jazeera berbicara selama dua bulan terakhir mengatakan mereka telah menghadapi kesulitan besar dalam mendapatkan sumber mulai dari pejabat rumah sakit hingga pekerja media lainnya dan bahkan rata-rata warga di daerah terpencil.
Khenjani mengatakan ketakutan itu disebabkan oleh “struktur pemerintahan yang belum sempurna” Taliban yang sangat kekurangan profesional yang berkualitas dan “kebijakan tidak koheren” yang bervariasi dari satu provinsi ke provinsi lainnya. Hal ini mempengaruhi hubungan antara media dan bahkan sumber mereka yang paling terkenal.
70 persen media tutup
AJSC mengatakan 70 persen media di seluruh Afghanistan tutup dalam dua bulan sejak Taliban berkuasa.
Penyebab penutupan bukan hanya bahaya fisik. Pemerintah asing dan organisasi donor telah menghentikan pendanaan ke Afghanistan sejak Taliban mengambil alih kekuasaan. Media salah satu organisasi yang sangat bergantung pada bantuan asing.
Media besar seperti TOLO mengklaim bisa hidup dari iklan, Ahmadi mengakui hal ini merupakan privilese yang hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Ahmadi mengatakan sumber daya itu bisa membantu TOLO menghadapi krisis keuangan terbaru, tapi media yang lebih kecil tidak bisa bertahan dengan situasi saat ini.
“Ketika ekonomi runtuh, begitu juga pasar untuk iklan,” kata Butler.
Butler menambahkan, hal ini sangat menyulitkan banyak media untuk terus beroperasi karena masalah keuangan.
Khenjani meratapi kemunduran media Afghanistan.
“Di Afghanistan, media bekerja paling baik ketika dapat mencoba untuk menyampaikan kebenaran kepada kekuasaan dan meminta pertanggungjawaban yang kuat,” jelasnya.
Saat pemerintahan sebelumnya, media memiliki kesempatan "untuk mencoba dan menantang narasi pemerintah". Dan menurutnya hari ini hal itu menjadi mustahil.
“Taliban tidak akan pernah menerima jenis pengawasan dan investigasi yang dilakukan selama (pemerintahan) republik.”
(mdk/pan)